SUARA USU
Opini

Magang Tanpa Dibayar, Menguntungkan atau Merugikan?

Oleh: Wildatul Mutiah

Suara USU, Medan. Magang adalah salah satu cara efektif bagi mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman di dunia kerja. Bagi banyak mahasiswa, ini menjadi pintu gerbang untuk menerapkan teori yang mereka pelajari di kampus dalam situasi nyata. Namun, salah satu isu yang kerap muncul dalam program magang adalah magang tanpa bayaran atau unpaid internship. Topik ini sering memicu perdebatan terkait keadilan dan manfaat dari program tersebut, terutama dari sudut pandang legalitas, kesejahteraan mahasiswa, serta hak-hak mereka.

Di satu sisi, magang tanpa bayaran sering dianggap sebagai kesempatan berharga bagi mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan, memperluas jaringan, dan memahami lebih dalam dunia industri. Banyak mahasiswa yang berharap pengalaman ini akan membuka pintu peluang karier di masa depan, mengingat pengalaman magang sering kali menjadi nilai tambah bagi perusahaan saat merekrut karyawan. Dalam dunia kerja yang semakin kompetitif, pengalaman magang bisa menjadi langkah penting untuk meningkatkan daya saing.

Namun, di sisi lain praktik magang tanpa bayaran juga sering memunculkan kekhawatiran akan potensi eksploitasi terhadap tenaga kerja muda. Dengan dalih memberikan pelatihan dan pengalaman sebagai kompensasi non-materiil, Ada kasus ketika peserta magang diminta melakukan pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab karyawan tetap, tanpa imbalan yang sepadan. Beberapa berpendapat bahwa magang tanpa bayaran masih bisa diterima jika peserta benar-benar mendapatkan manfaat seperti pelatihan intensif, pengalaman berharga, serta sertifikat yang memperkuat resume mereka. Di sini, pengembangan karier menjadi alasan utama bagi mahasiswa untuk tetap mempertimbangkan magang tanpa bayaran.

Jika merujuk pada UU Ketenagakerjaan Pasal 22, magang harus dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis yang memuat hak dan kewajiban peserta magang maupun pengusaha. Salah satu hak utama yang harus diberikan kepada peserta magang adalah uang saku atau uang transportasi, serta jaminan sosial tenaga kerja dan sertifikat setelah menyelesaikan program. Pengusaha berhak memanfaatkan hasil kerja peserta magang dan merekrut mereka bila memenuhi syarat. Apabila tidak ada perjanjian tertulis, peserta magang dianggap sebagai pekerja biasa, bukan peserta magang. Selain itu, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor PER.22/MEN/IX/2009 juga menyatakan bahwa peserta magang harus mendapatkan jaminan kecelakaan kerja dan kematian.

Dari sudut pandang hukum, magang tanpa bayaran yang tidak memberikan uang saku atau kompensasi transportasi bisa dikatakan tidak sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Hak-hak dasar peserta magang, seperti kompensasi minimal dan jaminan sosial, adalah elemen penting yang menjamin keadilan dalam program magang.

Kesimpulannya, meskipun magang tanpa bayaran bisa memberikan pengalaman berharga, mahasiswa harus mempertimbangkan secara matang manfaat dan konsekuensinya. Sangat penting bagi mahasiswa untuk lebih selektif dalam memilih program magang, memastikan bahwa program tersebut mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. Mencari magang yang memberikan hak-hak dasar, seperti uang saku, jaminan sosial, dan sertifikat. Tidak hanya memastikan perlindungan hukum tetapi juga memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi mereka. Dengan demikian, mahasiswa dapat meraih pengalaman kerja yang berharga sambil tetap menerima hak-hak mereka sesuai dengan aturan yang berlaku.

Redaktur: Duwi Cahya


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

Nilai Akademis yang Tinggi atau Pengalaman yang Banyak, Mana yang Lebih Menentukan Karier?

redaksi

Olimpiade Akademik Online Berbayar: Sertifikat atau Bisnis?

redaksi

Minat Gen Z Terhadap Budaya Lokal, Tergerus atau Berkembang di Tengah Arus Globalisasi

redaksi