Penulis: Nikolas Supriyanto
Suara USU, Medan. Dalam kehidupan berpolitik di negara demokrasi, salah satu indikator yang menunjukkan bahwa demokrasi di negara tersebut berjalan dengan baik adalah kebebasan berpendapat dan jaminan keamanan saat menyampaikan pendapat diruang publik. Hal ini cukup penting karena sikap yang kritis dapat membantu setiap elemen negara dalam mengevaluasi kebijakan dan tindakan mereka.
Hak berpendapat ini pula yang menjadi salah satu kontrol dari masyarakat kepada pemerintah. Namun tidak selamanya kontrol ini dapat terbebas dari pengaruh elit politik, baik dari pihak yang duduk dalam pemerintah maupun oposisi. Kerap kali ditemukan upaya untuk mempengaruhi opini publik dengan menyebarkan buzzer didalam ruang publik. Kehadiran mereka bukan muncul baru-baru ini, tetapi cara mereka beroperasi semakin halus seiring perkembangan zaman.
Buzzer politik pada dasarnya adalah sekelompok individu yang memiliki kepentingan tertentu dalam membentuk opini publik, tak hanya itu buzzer juga bisa beralih fungsi menjadi penggalang suara, mencari simpatisan, dan hebatnya bisa menjadi juru bicara secara suka rela ketika pemerintah salah dalam mengambil kebijakan. Perkembangan media sosial yang masif membantu pergerakan mereka dengan cara memenuhi kolom komentar atau membuat video langsung dengan narasi halus namun dengan tujuan tertentu di platform media sosial, seolah-olah pendapat yang diajukan oleh para buzzer politik bersumber dari individu yang bebas.
Mengapa tren buzzer semakin meningkat?
Dikutip dari Kompas.com, Survey Litbang Kompas menunjukkan adanya peningkatan aktivitas buzzer setiap menjelang pemilu. Polarisasi politik semakin tajam dengan munculnya jargon dan istilah-istilah tertentu, bahkan tak jarang bersifat provokatif. Contoh kasus istilah yang familiar dalam politik adalah kemunculan istilah politik ‘Cebong’ dan ‘Kampret’ di pemilu 2019 untuk menyebutkan masing-masing pendukung Capres 01 dan 02. Yang mana dalam survey tersebut dijelaskan bahwa sebanyak 87,8% responden menyebut kondisi masyarakat semakin meruncing karena istilah tersebut yang disebabkan oleh buzzer. Istilah ini memperuncing suasana menjelang pemilu karena kata-kata yang digunakan cenderung kasar.
Dalam program “Narasi Buka Mata” yang menjadi salah satu program Narasi Newsroom, terdapat satu video berjudul ‘Membongkar Jaringan Buzzer Penebar Kebencian Rohingya’ menjelaskan bagaimana keterlibatan buzzer dalam membentuk opini masyarakat yang menyasar terhadap pengungsi Rohingya di Aceh pada tahun 2023-2024. Narasi menganalisis data mereka dengan menelusuri akun-akun yang diduga bot dan menebar narasi negatif terhadap Rohingya. Analisis tersebut menunjukkan adanya pola keterlibatan akun-akun bot dalam menyebarkan propaganda negatif, yang mengarah pada tendensi politik tertentu.
Lantas apakah kehadiran buzzer dalam ruang publik terlebih dimedia sosial berbahaya bagi media pers?
Tentu tidak dapat disangkal, karena buzzer dengan kepentingannya dan pergerakan yang massif dapat menenggelamkan wacana atau narasi yang dikeluarkan oleh media pers. Sejauh mana bahayanya? Tergantung sebesar apa pengaruh buzzer terhadap opini publik apalagi jika narasi yang dibangun oleh buzzer tidak berdasarkan fakta.
Menurut kajian Anugerah (2020), buzzer politik tidak segan menyebarkan hoax demi kepentingan yang membayar mereka. Jika hoax yang disebar berhasil mempengaruhi masyarakat, tentu media pers akan mendapat serangan komentar buruk akibat perbedaan informasi yang disajikan oleh media pers dengan informasi yang disebarkan oleh buzzer politik, Akibatnya publik akan mulai kehilangan kepercayaan terhadap media, yang berdampak pada berkurangnya sikap kritis masyarakat karena tidak lagi menerima informasi dengan validitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, pemberitaan media yang sejalan dengan kepentingan buzzer politik cenderung mendapat dukungan dan komentar posisitf. Sebaliknya, jika suatu media memberitakan hal yang bertentangan dengan kepentingan mereka, kolom komentar akan dipenuhi dengan narasi yang mendiskreditkan media tersebut tanpa argumen berbasis data dan fakta. Strategi ini bertujuan untuk melemahkan kredibilitas media dan menyesatkan opini publik.
Buzzer politik dapat dengan mudah diidentifikasi dalam kolom komentar media pers. Pada umumnya akun yang digunakan bersifat anonim, cenderung tertutup, bahkan dapat diindikasikan akun palsu.
Zaman sekarang dengan pesatnya kemajuan teknologi, bahaya yang semakin meluas adalah perkembangan bot atau pembuatan akun palsu dengan bantuan AI sehingga akun-akun palsu dapat bekerja secara massif tanpa harus dikerjakan manual. Dengan jumlah besar akun tersebut dapat bekerja otomatis dan dapat dengan mudah membentuk opini publik sesuai keinginan buzzer. Kondisi ini cukup memprihatinkan mengingat media pers sendiri bekerja dibawah regulasi yang ketat, baik secara internal maupun eksternal ditambah tetap harus menghadapi narasi-narasi kepentingan dari buzzer politik yang semakin besar dan cepat meluas, juga dituntut untuk menyajikan informasi yang faktual, sehingga keberadaan buzzer politik yang menyebarkan disinformasi menjadi tantangan besar bagi jurnalisme yang bertanggung jawab
Melihat situasi ini, rasanya perlu ada ketegasan dari berbagai pihak terkait kebebasan pers dan penyampaian fakta tetap terjamin. Jangan sampai buzzer politik dengan wacana dan agenda kepentingannya menutupi informasi berisi fakta yang seharusnya perlu diketahui oleh masyarakat. Media pers juga perlu memanfaatkan hak jawab sebagai strategi untuk melawan serangan dari buzzer politik.
Hak jawab ini penting karena dapat membuktikan ketidakmampuan buzzer dalam menyediakan jawaban berbasis fakta. Selain itu, solusi yang paling efektif adalah meningkatkan literasi digital masyarakat agar mereka lebih kritis dalam menerima informasi dan tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang menyesatkan. Masyarakat juga harus lebih selektif dalam memilih sumber berita yang kredibel agar tidak terjebak dalam penyebaran hoaks yang dapat merugikan demokrasi dan kebebasan pers.
Redaktur: Muhammad Halim