Reporter: Grace Nathania dan Nanda Sohibul
Suara USU, Medan. Jaringan Komunal Se-Danau Toba & Sumatera Utara kembali menggelar diskusi terbuka yang membahas isu krusial terkait keberlanjutan Danau Toba. Bertempat di ruang publik Teras RKI, diskusi ini menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang untuk mengupas kondisi Danau Toba dari sisi ekologi dan sosial budaya.
Diskusi ini berangkat dari peringatan “kartu kuning” yang diberikan UNESCO, yang menandakan adanya ancaman serius terhadap keberlanjutan Danau Toba. Permasalahan utama yang disoroti meliputi pencemaran lingkungan, pengelolaan wisata, hingga dampak sosial bagi masyarakat sekitar. Jika tidak segera ditangani, bukan tidak mungkin Danau Toba akan kehilangan statusnya sebagai geopark global dan mengalami kerusakan yang semakin parah.
Hengky Manalu dari Biro Organisasi Aman Tano Batak membuka diskusi dengan pernyataan tegas bahwa Danau Toba kini ibarat tong sampah raksasa. Ia menyoroti tingginya pencemaran akibat sampah dan limbah yang mencemari perairan.
“Peringatan ini bukan sekadar formalitas, tetapi pesan serius bahwa kita sebagai masyarakat harus sadar. Jangan hanya ingin menikmati keindahan dan sumber daya Danau Toba, sementara kita sendiri yang merusaknya,” tegas Hengky.
Selain masalah pencemaran, ia juga menyoroti pembangunan pariwisata yang semakin meningkat tetapi belum tentu berdampak positif bagi masyarakat lokal. “Danau Toba itu kompleks, bukan sekadar objek wisata. Ada kehidupan, ada ekologi, ada budaya yang harus kita jaga,” tambahnya.
Sementara itu, Gomgom Lumbantoruan, pengelola Geosite Desa Bakara Tipang dan pegiat budaya Batak, menjelaskan bahwa peringatan UNESCO harus menjadi momentum refleksi, bukan sekadar perdebatan administratif.
“Kita duduk di forum ini bukan sekadar untuk mendengar, tetapi untuk memahami akar permasalahan. Jika kita tidak menyadari urgensi peringatan ini, maka kita hanya mengulangi kesalahan yang sama,” ujarnya.
Menurut Gomgom, konsep geopark muncul sebagai bentuk kegelisahan terhadap dampak lingkungan di masa depan. Oleh karena itu, solusi yang diusulkan harus berbasis pada tiga pilar utama, yaitu: edukasi, konservasi, dan pemberdayaan masyarakat.
“Memuliakan bumi dan mensejahterakan manusia harus menjadi visi utama yang kita pegang erat. Jika kita tidak menyadari urgensi ini, maka kita akan kehilangan Danau Toba secara perlahan,” tegasnya.
Ia juga mengkritik pihak-pihak yang menggampangkan atau menggeneralisasi masalah di Danau Toba. Menurutnya, tidak ada solusi tunggal untuk permasalahan yang kompleks ini. Diperlukan kerja sama berbagai pihak agar langkah-langkah yang diambil benar-benar menyentuh akar masalah.
Diskusi ini hadir untuk kembali menegaskan bahwa masa depan Danau Toba bergantung pada semua pihak yang terlibat, baik pemerintah, masyarakat, hingga pegiat lingkungan dan budaya. Peringatan “kartu kuning” dari UNESCO menjadi alarm keras bahwa tindakan nyata harus segera dilakukan. Kesadaran, kepedulian, dan aksi nyata dari semua elemen menjadi kunci utama dalam menentukan nasib Danau Toba ke depan.
Redaktur: Jesika Yusnita Laoly