Oleh: Reinhard Halomoan
Suara USU, Medan. Menciptakan suatu karya seni yang dapat dinikmati, baik dari segi makna maupun unsur seni di dalamnya merupakan suatu hal yang memerlukan pelibatan antara perasaan yang ingin diekspresikan dan teknik tertentu yang dinilai melalui kepekaan panca indra. Tidak terkecuali dalam sebuah lagu. Dalam membuat lagu, seorang musisi berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan sinkronisasi antara pesan maupun pemikiran yang ingin disampaikan dengan unsur estetika dalam bermusik, sehingga memungkinkan lagu tersebut dapat dinikmati dari dua sisi, baik unsur seninya maupun maknanya.
Hal tersebut juga terjadi pada Iwan Fals. Penyanyi yang lahir pada tanggal 3 September 1961 dengan nama asli Virgiawan Liestanto ini sudah mengasah bakat bermusiknya sejak masih duduk di bangku SMP. Dilansir dari situs INews.ID, Iwan sudah terbiasa berkeliling Kota Bandung untuk mengamen. Bukan membawakan lagu orang lain, Iwan justru menciptakan lagunya sendiri. Lagu ciptaan Iwan yang dianggap easy listening dan memiliki selera humor yang menyenangkan, membuat para pendengarnya saat itu justru merasa terhibur, alih-alih terganggu dengan kehadirannya. Hal ini pula yang membuat Bambang Bule, seorang produser dari Jakarta, rela datang ke Bandung untuk mengajak Iwan berkecimpung lebih dalam di dunia musik melalui label rekaman miliknya.
Masa Orde Baru merupakan masa ketika kebebasan menyampaikan aspirasi seringkali mendapat pencekalan, tidak terkecuali dalam karir Iwan Fals sebagai musisi. Acapkali karya-karya Iwan Fals mendapat tindakan represif dari pemerintah dan konsernya tidak mendapat izin karena dianggap mengganggu stabilitas sosial.
Lagu Tikus-tikus Kantor dirilis dalam album Ethiopia pada tahun 1993. Lagu ini berisi banyak metafora sederhana yang membuat pendengarnya langsung memahami makna yang ingin disampaikan. Berdasarkan kajian semantik yang dipublikasikan oleh Kompasiana.com, frasa Tikus Kantor sendiri merupakan metafora terhadap para pejabat korup yang marak ditemukan pada masa Orde Baru, sedangkan kucing merupakan aparat penegak hukum yang lalai dan tidak bertanggung jawab. Selain itu, terdapat pula beberapa metafora lain dalam lirik-lirik lagu tersebut. Contohnya pada lirik “Di dalam lemari dari baja”, yang merupakan metafora untuk menggambarkan pejabat-pejabat korup yang kebal hukum. Hal yang sama terdapat pula pada lirik “Tikus tahu sang kucing lapar, kasih roti jalan pun lancar”, yang menunjukkan bahwa aparat hukum saat itu mudah disuap.
Ada pula lirik “Otak tikus memang bukan otak udang”, yang menyiratkan bahwa para koruptor memiliki berbagai cara untuk memuluskan jalannya. Masih banyak lagi metafora yang menyiratkan maraknya birokrat birokrat kotor yang ada pada masa itu.
Rilisnya lagu ini memberikan angin segar pada aktivisme sosial dan perlawanan masyarakat. Setelah sekian lama tertekan oleh situasi yang ada, munculnya lagu Tikus-tikus Kantor membuat musisi dan pegiat sosial lainnya mulai berani bersuara. Masyarakat mulai melepaskan tali tambang yang ketat, yang selama ini menghalangi mereka untuk berekspresi secara bebas dan melakukan kritik terhadap penguasa. Bahkan, jika kita berbicara tentang dampak, kita tentu tidak asing dengan masifnya pergerakan pada tahun 1993 sampai 1997, yang mana lagu ini merupakan salah satu variabel independen terhadap inisiasi terjadinya hal tersebut.
Lagu Tikus-tikus Kantor karya Iwan Fals bukan hanya sekadar karya musik, tetapi juga simbol perlawanan terhadap korupsi dan ketidakadilan yang marak terjadi pada masa Orde Baru. Melalui lirik penuh metafora yang menyentil dan mudah dipahami, Iwan Fals menyampaikan kritik tajam kepada birokrasi korup yang sering diselubungi kekuasaan dan kebal hukum. Lagu ini menginspirasi masyarakat untuk bersuara dan mendorong perubahan sosial, menjadi bagian dari pergerakan besar yang menciptakan momentum menuju reformasi.
Seiring berjalannya waktu, Tikus-tikus Kantor tetap relevan dan mengingatkan generasi saat ini tentang pentingnya melawan korupsi dan menjaga integritas di tengah kompleksitas birokrasi modern. Lagu ini membuktikan bahwa musik dapat menjadi alat yang kuat dalam menyuarakan aspirasi rakyat dan mempengaruhi perubahan sosial secara luas.
Redaktur: Fatih Fathan Mubina