Menelusuri Kehidupan Diaspora Batak di Jakarta: Dari Perantauan hingga Kekerabatan

Oleh: Reinhard Halomoan

Suara USU, Medan. Suku Batak merupakan suku yang hanya memiliki populasi kurang dari 4% dari total jumlah penduduk di Indonesia (BPS 2010). Angka tersebut terkesan sedikit, tetapi bukan berarti suku Batak jarang terdengar diantero Nusantara. Meskipun jumlahnya sedikit, tidak jarang kita menjumpai diaspora Batak yang sudah beranak pinak di daerah perantauan. Tentu saja, alasan merantau pada awalnya adalah demi mendapatkan penghidupan yang lebih layak dan lingkungan yang lebih suportif. Namun, karena merasa lebih nyaman di daerah yang baru, beberapa orang Batak yang merantau justru memilih untuk menetap dan membuka pemukiman baru di tempat perantauan mereka.

Sama seperti suku-suku lain di Indonesia, Kota Jakarta menjadi salah satu kota terfavorit bagi masyarakat suku Batak untuk menggantung harapannya. Tidak kurang dari 300.000 orang diaspora Batak berdiam di tengah hiruk pikuknya ibukota Indonesia ini. Seperti yang telah dijelaskan di paragraf pertama, diaspora Batak di Kota Jakarta kerap membuka pemukimannya sendiri. Tingginya rasa kekerabatan antar sesama diaspora Batak yang berada di perantauan membuat mereka membangun kampung atau pemukiman yang isinya adalah sesama orang Batak.

Di Jakarta, suku Batak ini tersebar di beberapa titik salah satunya di Jakarta Timur, tepatnya di kecamatan Cawang dan Cililitan. Jika kita sedang berada di Jakarta dan sedang menyusuri Jalan Mayjen Sutoyo, Cililitan, maka kita akan menemukan suasana yang tidak jauh berbeda dengan suasana di Kota Medan. Sepanjang jalan tersebut, tepatnya di seberang kantor Badan Kepegawaian Negara (BKN), kita akan melihat lapo-lapo khas Batak berderet memanjang. Tempat ini seringkali dianggap sebagai lokasi perkumpulan sesama masyarakat Batak yang berada di Jakarta. Tidak heran jika pada akhir pekan pukul 19:00 WIB keatas, daerah Cililitan seketika menjadi padat. Hal ini disebabkan oleh karena banyaknya kendaraan pengunjung yang terparkir di bahu jalan.

Pada jam-jam tersebut, akan banyak anak muda Batak yang berdatangan dan bersenda gurau dengan para kerabatnya. Bukan hal yang asing jika kita mendengar alunan musik Batak di sepanjang jalan Mayjen Sutoyo sehingga terkadang akan membuat kita lupa bahwa kita berada di Ibukota. Tepat di belakang deretan lapo tersebut, terdapat sebuah perkampungan bernama Kampung Mayasari.

Dikutip dari Kompas.com, mayoritas penduduk di kampung ini adalah orang Batak yang sudah berdiam sejak tahun 1960-an. “Warga di RW 008 (Kampung Mayasari) ini 99,9% adalah orang Batak,” ujar Marpaung, salah satu penduduk di Kampung Mayasari yang telah tinggal disana sejak 1969.

Sebagai tambahan informasi, sebenarnya Cawang-Cililitan bukan merupakan titik 0 peradaban diaspora Batak di Jakarta. Simon Hasibuan, yang merupakan orang Batak pertama yang menginjakkan kakinya di Jakarta pada tahun 1907 silam bukan datang ke Cawang-Cililitan, melainkan ke Jalan Kernolong, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Bukti sejarah tersebut adalah berdiri tegaknya Gereja HKBP Kernolong, yang merupakan gereja Batak pertama di Jakarta. Yang artinya, seluruh gereja Batak, terkhususnya HKBP di Jakarta adalah hasil pemekaran dari Gereja HKBP Kernolong. Setelah meningkatnya populasi masyarakat Batak di Jakarta, barulah kemudian mereka membuka beberapa kampung di titik-titik lain di Jakarta, salah satunya di Cawang-Cililitan.

Puncak migrasi orang Batak ke Ibukota adalah pada tahun 1960an sampai 1970an. Pada masa itu, Ali Sadikin yang merupakan Gubernur DKI Jakarta saat itu membuat suatu gebrakan dengan menjadikan orang-orang Batak sebagai guru di sekolah-sekolah di Ibukota. Hal inilah menjadi pemantik masyarakat Batak di Sumatera Utara untuk bermigrasi ke Jakarta. Bukan hanya sebagai guru, tetapi mencari peruntungan pada pekerjaan lain. Beberapa dari mereka ada yang membuka usaha sendiri, menjadi supir angkutan umum, dan lain-lain. Tingginya niat untuk mencapai hagabeon (berketurunan), hamoraon (kekayaan), dan hasangapon (kehormatan) mendorong perantau dari tanah Batak untuk mengadu nasibnya di Ibukota.

Sobat Suara USU yang nantinya ingin merantau dan mengadu nasib di Kota Jakarta tetapi sering gagal move on dengan suasana di tanah kelahiran, daerah ini cocok untuk kalian kunjungi. Di daerah ini, kita cukup memperkenalkan diri sebagai perantau dari daerah Sumatera Utara, atau bahkan alumni Universitas Sumatera Utara. Seketika itu pula masyarakat di daerah tersebut akan langsung menganggap kamu seperti keluarga dan membuat kamu merasa seperti sedang berada di kampung halaman.

Redaktur: Evita Sipahutar

Related posts

Dasar Kalian si Perokok Sombong!

Ketika Manipulasi Disebut Cinta dalam Fenomena Grooming

Korupsi Adalah Musuh Bersama yang Diam-Diam Kita Lestarikan