Oleh: Vimelia Hutapea
Pemerintah dan DPR RI baru saja mengesahkan amandemen Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dalam rapat paripurna ke-12 masa persidangan 2 pada 4 Februari 2025. Salah satu poin utama dalam revisi ini adalah pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), yang bertujuan untuk mengonsolidasikan pengelolaan BUMN serta mengoptimalkan dividen dan investasi.
Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan bahwa Danantara akan menjadi entitas baru yang bertugas mengelola investasi negara secara lebih efisien. Pembentukan badan ini merupakan bagian dari strategi Presiden Prabowo Subianto dalam mengoptimalkan pengelolaan aset negara.
“Beberapa pokok materi penting dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan ketiga atas Undang-Undang No.19 Tahun 2023 tentang BUMN antara lain, BPI Danantara secara resmi didirikan dan dibentuk dalam rangka melakukan konsolidasi pengelolaan BUMN serta pengoptimalisasi pengelolaan dividen dan investasi,” ucap Menteri BUMN, Erick Thohir, dalam sambutan peresmian tersebut.
Lahirnya Danantara tidak terlepas dari tantangan yang selama ini dihadapi BUMN, seperti masalah keuangan, duplikasi usaha, dan birokrasi yang memperlambat produktivitas. Indonesia memiliki lebih dari 100 perusahaan negara yang beroperasi di berbagai sektor, namun banyak yang masih berkinerja buruk. Danantara akan berperan dalam mengonsolidasikan aset-aset tersebut, termasuk dengan menjadikannya jaminan utang atau bahkan menjualnya.
Model ini mirip dengan Temasek Holdings di Singapura atau Khazanah Nasional di Malaysia, yang telah terbukti mampu meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan negara. Danantara diharapkan bisa melakukan hal serupa dengan mengintegrasikan bisnis, memperkuat modal, dan memperbesar peluang ekspansi ke tingkat global. Namun, kewenangan Danantara yang berpotensi tumpang tindih dengan Kementerian BUMN menjadi isu yang perlu diantisipasi.
Dilansir dari Seknas FITRA, jika ditelaah kembali bagaimana RUU BUMN ini disahkan di tengah carut marut imbas perekonomian global dengan persaingan tinggi, ada prosedur formil dan materil legislasi yang diabaikan. Indonesian Parliamentary Center mencatat bahwa RUU ini tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahunan dan tidak melalui tahapan harmonisasi di Badan Legislasi DPR, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang urgensi dan dasar penyusunannya. Penyusunan RUU di luar Prolegnas harus memenuhi kriteria tertentu, seperti situasi darurat atau kebijakan strategis nasional, yang harus dijelaskan lebih lanjut oleh pembuat UU.
Meskipun memiliki potensi besar, proses pengesahan RUU BUMN ini menuai kritik karena dianggap tidak transparan. Ketiadaan keterlibatan publik dalam pembahasannya juga menjadi sorotan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 mewajibkan adanya naskah akademik yang dapat diakses publik sebelum RUU dibahas lebih lanjut, namun dalam kasus ini, informasi tersebut tidak dipublikasikan. Penyusunan yang terburu-buru berisiko menghasilkan regulasi yang tidak matang dan sulit diterapkan.
Jika dikelola dengan baik, Danantara berpotensi menjadi holding BUMN terbesar yang mampu bersaing secara global. Namun, tanpa tata kelola yang transparan dan sistem pengawasan yang ketat, badan ini justru bisa membuka celah bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Dengan diangkatnya Rosan Roeslani sebagai Kepala Badan Pelaksana Danantara, diharapkan entitas baru ini dapat menjalankan tugasnya secara profesional dan benar-benar memberikan manfaat bagi perekonomian nasional.
Redaktur: Khairani