Mob Mentality di Kalangan Mahasiswa, Ketika Nalar Kritis Terkikis

Ilustrator: Gaisha Putri

Oleh: Ines Eliyana

Fenomena mob mentality atau dapat diartikan sebagai ‘mentalitas massa’, telah menjadi isu yang kerap menjadi perbincangan di berbagai kalangan termasuk kalangan mahasiswa. Mob mentality adalah kecenderungan individu untuk mengikuti tindakan atau pemikiran sekelompok orang tanpa melakukan pertimbangan dan mencoba berpikir lebih kritis terlebih dahulu terhadap hal tersebut. Mengaitkannya dengan aksi demonstrasi yang sedang ramai dilangsungkan di Indonesia oleh mahasiswa dari berbagai daerah, pernyataan menyangkut mob mentality dari publik mulai bermunculan. Mereka menyatakan keresahan akan pemahaman yang dikantongi mahasiswa sebelum terjun ke dalam massa aksi yang lebih luas.

Pasalnya, ketidakpahaman dari arti di sebalik menjadi bagian massa aksi dapat membawa dampak negatif seperti terjadinya tindakan anarkis, intoleransi, dan penyebaran informasi yang tidak valid. Menilik kembali kejadian yang terjadi pada tahun 2020 silam, dilansir dari tvOne, insiden demo tolak RUU Cipta Kerja pada saat itu banyak diikuti oleh pelajar yang ternyata tidak memahami substansi RUU tersebut secara mendalam. Akibatnya, terjadi tindakan anarkis seperti perusakan fasilitas umum dan konfrontasi dengan aparat keamanan. Unjuk rasa tersebut akhirnya menimbulkan kerugian materi seperti kerusakan motor maupun mobil dinas hingga pos lantas yang dirusak oleh para demonstran. Selain itu, demonstrasi tersebur juga mengakibatkan korban luka-luka, baik dari demonstran maupun aparat kepolisian.

Gustave Le Bon dalam The Crowd: A Study of The Popular Mind menyatakan, bahwa ketika seseorang berada dalam kelompok besar, mereka cenderung kehilangan identitas individu dan berpikir serta bertindak berdasarkan emosi kolektif (Le bon,1895). Merujuk pada penjelasan Gustave, mob mentality bisa berbahaya eksistensinya di kalangan mahasiswa sebab dapat mendorong mahasiswa untuk bertindak implusif tanpa memahami tujuan sebenarnya dari aksi yang mereka ikuti. Mob mentality bisa membuat seseorang kehilangan pendirian dan bertindak tanpa berpikir kritis. Fenomena ini sering terjadi ketika individu lebih memilih mengikuti arus kelompok daripada mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan mereka.

Dalam konteks mahasiswa, mob mentality dapat berujung pada keterlibatan dalam aksi atau gerakan tanpa pemahaman yang mendalam. Mahasiswa yang terjebak dalam mob mentality cenderung tidak lagi mempertanyakan suatu isu secara mendalam. Mereka tidak lagi melakukan cross-check terhadap informasi yang tersebar secara menyeluruh dan mendalam, sehingga menjadi lebih mudah untuk dihasut.  Apalagi, penyebaran hoaks atau propaganda di media sosial sering kali memperparah fenomena mob mentality. Akhirnya, alih-alih berdiskusi dan mencari solusi konkret, beberapa gerakan mahasiswa justru lebih fokus pada aksi yang bersifat provokatif yang pada akhirnya dapat merugikan mereka sendiri. Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai mahasiswa untuk memahami bagaimana cara menghindari mob mentality.

Dilansir dari kumparan.com beberapa cara menghindari mob mentality pada mahasiswa dapat dilakukan dengan menanamkan beberapa hal, seperti:

  1. Memegang Teguh Prinsip

Prinsip berkaitan dengan cara seseorang dalam menyikapi berbagai fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan. Orang yang memegang teguh prinsip tidak akan mudah terpengaruh oleh ucapan, hasutan, atau pendapat orang lain. Mereka pun tak merasa perlu ikut-ikutan berbagai tren viral tanpa mempertimbangkan sisi positif dan negatifnya.

  1. Tugas pada diri sendiri

Penting bersikap tegas kepada diri sendiri supaya tidak terpengaruh oleh mob mentality. Ketahui apa yang diinginkan dan diperlukan diri sendiri. Pertimbangkan baik-baik apakah harus selalu mengikuti tindakan yang dilakukan orang lain.

“Apakah saya benar-benar memahami isu ini?”

“Apakah saya mendukung gerakan ini karena keyakinan pribadi atau hanya karena kebanyakan teman saya ikut serta?”

Lakukan pertimbangan matang sebelum mengambil keputusan sehingga tidak menyusahkan diri sendiri maupun orang lain.

  1. Menghindari Tekanan Sosial yang Tidak Sehat

Tekanan sosial menjadi faktor utama dalam mob mentality. Banyak mahasiswa yang ikut serta dalam aksi bukan karena pemahaman mereka sendiri, akan tetapi karena takut dikucilkan jika tidak mengikuti mayoritas. Solomon Asch (1951) dalam eksperimen konformitasnya menemukan bahwa individu cenderung mengikuti pendapat kelompok meskipun mereka tahu bahwa pendapat tersebut salah.

4. Meningkatkan Literasi Media

Dalam era digital, penyebaran informasi yang cepat sering kali memicu mob mentality. Banyak mahasiswa yang terprovokasi oleh berita yang belum tentu benar. Oleh karena itu, literasi media menjadi kunci penting dalam menghindari mob mentality. Beberapa langkah yang dapat dilakukan yaitu, memeriksa sumber berita, membaca lebih dari satu sumber, serta menganalisis narasi yang digunakan. Jika suatu berita terlalu mengarah pada provokasi atau membangun kebencian, ada kemungkinan berita tersebut tidak objektif.

  1. Tidak Takut Dianggap Berbeda

Tidak perlu takut dianggap berbeda atau kurang pergaulan saat tak mengikuti tren maupun sesuatu yang viral. Pahamilah bahwa menjadi berbeda dengan orang lain bukanlah hal aneh. Justru ini menandakan bahwa seseorang tau apa yang benar dan apa yang diperlukan dan diinginkan.

Mahasiswa sebagai agen perubahan sudah semestinya memberikan contoh positif bagi masyarakat di sekitarnya. Perlu dipahami bahwa mahasiswa harus mampu membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih berpikir kritis pada setiap kesempatan. Pada dasarnya mahasiswa sebagai kaum intelektual harus mampu berpikir kritis dan analitis dalam menghadapi setiap isu. Jangan mudah terprovokasi oleh emosi sesaat atau sekadar ikut-ikutan tanpa dasar pemahaman diri yang jelas.

Mob mentality dapat merusak citra mahasiswa sebagai agen perubahan. Tindakan anarkis hanya akan menimbulkan kerugian materiil dan immateriil, serta menjauhkan simpati masyarakat. Setiap mahasiswa mengemban tanggung jawab secara individu untuk menjaga ketertiban dan keamanan. Perlu ditekankan untuk tidak berlindung di balik massa untuk melakukan tindakan yang merugikan.

Lalu sebagai penyokong, organisasi mahasiswa harus menjadi wadah edukasi dan diskusi yang sehat, bukan tempat untuk memprovokasi atau memobilisasi massa secara membabi buta. Selain itu, penting untuk mahasiswa belajar mengedepankan dialog dan musyawarah dalam menyampaikan aspirasi. Kekerasan bukanlah solusi, tetapi justru akan memperkeruh suasana aksi yang tengah dilangsungkan.

Sebagai agen perubahan, mahasiswa diharapkan mampu berpikir kritis dan tidak terjebak dalam mob mentality. Mahasiswa yang kritis adalah mahasiswa yang mampu berpikir jernih, bertindak rasional, dan bertanggung jawab. Jangan biarkan diri kita terjerumus ke dalam mob mentality yang merugikan semua pihak. Mari kita jadikan setiap aksi sebagai momentum untuk menunjukkan bahwa mahasiswa adalah agen perubahan yang cerdas dan beradab.

Redaktur: Fatimah Roudatul Jannah

Related posts

Supremasi Sipil Terguncang, Karpet Merah untuk TNI Resmi Digelar

Kelas Menengah di Tengah Carut Marut Ekonomi

Gas Oplosan, Kejahatan yang Mengancam Keselamatan