Polemik Gelar Akademik Bahlil, DPR dan Sosiolog Buka Suara

ilustrator: Gaisha Putri

Reporter: Fatih Fathan Mubina

Suara USU, Medan. Nama Bahlil Lahadalia mencuat dalam perbincangan publik sejak Januari lalu. Pasalnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia itu tersandung kasus akademik yang serius, yaitu penangguhan gelar yang ia raih akibat dugaan pelanggaran akademik.

Bahlil menempuh studi doktoralnya di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI. Mengangkat disertasi berjudul “Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia”, ia melaksanakan sidang terbuka promosi doktor pada 16 Oktober di Gedung Makara Art Center, Kampus UI, Depok. Promotor yang membimbingnya adalah Chandra Wijaya, didampingi dua ko-promotor, Teguh Dartanto dan Athor Subroto.

Menurut data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), Bahlil terdaftar sebagai mahasiswa SKSG UI pada 13 Februari 2023 dan dinyatakan lulus dengan predikat cum laude pada 16 Oktober 2024. Dengan kata lain, Bahlil hanya membutuhkan waktu satu tahun delapan bulan untuk meraih gelar doktor. Hal ini jelas bertentangan dengan Peraturan Rektor UI Nomor 3 Tahun 2024 Pasal 25 Ayat 1, yang menyatakan bahwa “masa tempuh program doktor dirancang sepanjang enam semester.” Waktu penyelesaian studi yang sangat singkat ini pun memunculkan pertanyaan: apakah Bahlil benar-benar seorang jenius luar biasa, ataukah ada perlakuan istimewa yang diberikan kepadanya?

Polemik ini semakin panas ketika Sulfikar Amir, seorang pakar sosiologi dari Nanyang Technological University, mengomentari kasus ini melalui media sosial X (dulu Twitter). “How low can you go @univ_indonesia??? Oh, I know… as low as permintaan pejabat buat nyelesaiin S3 dalam waktu 20 bulan. Either he’s too brilliant or you are just too stupid to think he’s brilliant,” tulisnya di akun @sociotaker.

Perhatian yang besar dari publik menyebabkan Dewan Guru Besar (DGB) UI melakukan investigasi dalam kasus ini. Investigasi DGB UI yang berlangsung selama kurang lebih dua bulan menghasilkan sidang etik tertutup. Dalam sidang etik tertutup yang dilakukan oleh DGB UI pada Jumat, 10 Januari, ditemukan empat pelanggaran dalam disertasi Bahlil. Adapun empat pelanggaran tersebut antara lain:

  1. Ditemukan adanya ketidakjujuran dalam pengambilan data.
  2. Pelanggaran standar akademik, di mana Bahlil Lahadalia diterima dan lulus dalam waktu singkat tanpa memenuhi syarat akademik yang ditetapkan.
  3. Bahlil mendapatkan perlakuan khusus dalam proses akademik.
  4. Konflik kepentingan dengan promotor dan ko-promotor.

Berdasarkan empat pelanggaran yang ditemukan, sidang etik DGB UI menghasilkan putusan yang sifatnya rekomendasi kepada rektor untuk mencabut gelar akademik yang telah diberikan.

Tidak berhenti di sana, persoalan disertasi Bahlil tidak hanya berimplikasi padanya seorang, tetapi juga kepada promotor dan dua ko-promotornya. Dilansir dari Tempo, Chandra selaku promotor disertasi Bahlil mendapatkan rekomendasi sanksi oleh DGB UI, yaitu dilarang mengajar, membimbing, dan menguji selama minimal tiga tahun, penundaan kenaikan pangkat atau golongan selama tiga tahun, serta pengunduran diri dari jabatan strukturalnya.

Harkristuti Harkriswono selaku Ketua DGB UI menyatakan bahwa hasil sidang etik dan rekomendasi sanksi Bahlil sudah diberikan kepada tiga organ UI lain. “Rekomendasi sudah kami serahkan ke organ UI lain, yakni rektor, MWA, dan senat akademik,” jelasnya kepada wartawan, Minggu, 2 Maret. Pencabutan resmi gelar doktor Bahlil akan dibahas dalam rapat empat organ UI, yaitu DGB UI, Majelis Wali Amanat (MWA) UI, Senat Akademik (SA), dan Rektorat.

Di sisi lain, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI juga turut angkat bicara. Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, meminta UI untuk mengumumkan sikap resminya. “Sebagai Ketua Komisi X DPR RI, saya ingin menyampaikan kepada publik bahwa UI sebagai institusi perlu segera mengumumkan sikap resminya,” kata Hetifah kepada wartawan, Sabtu, 1 Maret.

Namun, Partai Golkar, tempat Bahlil bernaung, justru mempertanyakan keputusan UI. Dilansir dari Tempo, Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Idrus Marham, menilai bahwa seharusnya ada solusi lain selain pembatalan gelar. “Diminta supaya ditulis ulang, kan sama saja dibatalin. Tapi kenapa harus dibatalin? Kalau bisa diselesaikan, salah satu penyelesaiannya adalah sumber datanya itu karena tidak disampaikan dari awal secara jujur,” papar Idrus di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Jakarta Barat, Senin, 3 Maret.

Menanggapi permasalahan ini, sosiolog Sumatra Utara, Tengku Ilham Saladin, melihat bahwa Bahlil seperti orang yang meneteskan nila setitik dalam belanga. “Kasus Bahlil seperti nila setitik di dalam belanga, semuanya jadi rusak,” ungkap Ilham di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik kepada kru Suara USU.

Ilham juga berpendapat bahwa apa yang terjadi pada Bahlil bukan murni kesalahannya, tetapi terdapat tanggung jawab institusi pendidikan tinggi yang menjadi pintu gerbang gelar akademik. “Kesalahan itu dari sudut pandang sosiologi, bukan hanya dari personal Bahlil. Perguruan tinggi juga punya tanggung jawab moral untuk bisa menyeleksi orang-orang yang ingin meraih gelar akademik,” tutur Kepala Program Studi Sosiologi USU tersebut.

Dalam sosiologi, terdapat teori modal dan arena yang menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki modal besar dapat mempengaruhi arena tempat ia berkiprah. “Saudara Bahlil sebagai ketua partai memiliki modal dan pengaruh besar untuk mempengaruhi arena. Dalam hal ini, dia membaca peluang bahwa ada program studi doktor di UI yang dia anggap cocok sebagai ketua partai,” lanjut Ilham.

Selain modal dan pengaruh yang dimiliki Bahlil, arena (Universitas Indonesia) turut menyambutnya. “Dan itu kemudian disambut oleh beberapa orang yang ada di struktural UI,” jelas Ilham.

Ilham menegaskan bahwa secara garis besar, reaksi yang datang dari masyarakat sipil atau civil society sejalan dengan reaksi akademisi yang menuntut pembatalan gelar akademik Bahlil. “Di masyarakat sipil, suaranya hampir sama dengan dunia akademik. Dari segi akademik, seharusnya dia dibatalkan,” tutup Ilham.

Redaktur: Jesika Yusnita Laoly

Related posts

Supremasi Sipil Terguncang, Karpet Merah untuk TNI Resmi Digelar

Gas Oplosan, Kejahatan yang Mengancam Keselamatan

Penundaan Pengangkatan CASN dan PPPK 2024, Menjadi Harapan dan Tantangan bagi Calon Aparatur Negara