Reporter: Cynthia Ma dan Siti Aisyah
Suara USU, Medan. Danau Toba menghadapi tantangan serius dalam pengelolaannya. Pada tahun 2023, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menurunkan status Green Card menjadi Yellow Card sebagai bentuk teguran terhadap berbagai aspek yang dinilai belum optimal, salah satunya kurangnya pemetaan warisan budaya. Kritik terhadap pengelolaan kawasan ini semakin mencuat dalam diskusi terbuka yang diadakan oleh jaringan komunal se-Danau Toba dan Sumatera Utara pada 1 Maret 2025 di Ruang Publik Teras Rumah Karya Indonesia (RKI), Medan.
Corry Paroma Pandjaitan, mantan pengelola 16 Geosite di Kaldera Danau Toba, mengungkapkan keprihatinannya terhadap buruknya tata kelola Geopark Danau Toba. Menurutnya, ketidaksinkronan antar lembaga menjadi faktor utama yang menghambat pengembangan kawasan ini. Salah satu contoh konkret adalah laporan saat rivalidasi mengenai anggaran Rp3,5 miliar dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) untuk pembuatan penunjuk jalan. Namun, karena minimnya koordinasi dengan pengelola Geosite, penunjuk jalan yang dibuat ternyata keliru.
John Robert Simanjuntak, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Sisingamangaraja XII yang telah mengangkat isu Geopark sejak 20 tahun lalu melalui forum Jendela Toba, bahkan mencurigai adanya sabotase dalam struktur manajemen yang bertanggung jawab atas regulasi Geopark. Ia menilai bahwa konservasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat seolah sengaja diperlambat.
Sebagai pihak yang terlibat dalam implementasi di sektor pendidikan, ekonomi, dan warisan budaya, John berpendapat bahwa formulasi manajemen formal Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba seharusnya dapat dilakukan dengan mudah. Terlebih, berbagai upaya pelestarian telah dimulai jauh sebelum Danau Toba ditetapkan sebagai Geopark. Namun, kenyataan di lapangan justru berkata lain.
Alih-alih berjalan lancar, semakin banyak pihak yang berebut kepemimpinan, sementara campur tangan pihak luar justru memperumit manajemen. John khawatir, ketidakteraturan ini tidak hanya menghambat administrasi, tetapi juga mengancam masa depan konservasi dan kesejahteraan masyarakat di sekitar Danau Toba.
Kurangnya transparansi dalam pengelolaan Geopark mendorong berbagai komunitas untuk mengambil tindakan. Dalam diskusi ini, komunitas seperti Rumah Karya Indonesia, Forum Sisingamangaraja, Sopo Tano Batak, Jendela Toba, Diskusi Semeja, Pondok Kreatif Parapat, Pena Lingkar Toba, Institut Sumatera, Dolok Sipiak Parapat, Desa Wisata Sibandang, dan Spearfishing Danau Toba menyuarakan keresahan mereka terhadap kondisi Danau Toba.
“Selama dua tahun terakhir, tidak ada informasi yang jelas mengenai keadaan Geopark Danau Toba. Jadi diskusi ini diadakan untuk menjawab keingintahuan itu,” ujar Ojax Manalu, perwakilan dari Rumah Karya Indonesia.
Dalam diskusi ini, Corry menyoroti peran pengelola Geosite sebagai garda terdepan Geopark Danau Toba. Menurutnya, mereka memahami kebutuhan masyarakat lokal jauh lebih baik dibandingkan pihak manajemen, tetapi tidak pernah mendapat perhatian atau dukungan yang cukup.
“Kami bekerja sendiri, loh! Tidak punya anggaran sedikit pun untuk mengelola Geosite. Kami bermitra dengan pihak-pihak yang dianggap penting untuk pengelolaan Geopark itu sendiri. Itu yang selalu kami lakukan. Intinya, kami tidak berhenti walau tidak diperhatikan,” tegasnya.
Pernyataan ini mendapat dukungan dari peserta diskusi lainnya yang menegaskan bahwa komunitas lokal akan tetap berjuang terlepas dari lemahnya manajemen badan pengelola Geopark.
“Kalaupun pihak manajemen tidak berjalan, komunitas ini akan tetap berjalan,” ungkap Corry dengan penuh keyakinan.
Menanggapi berbagai kritik yang muncul, Azizul Kholis, General Manager BPGKT UNESCO, meluruskan beberapa hal. Ia menjelaskan bahwa Master Plan Geopark Danau Toba harus mencantumkan program dari 2023 hingga 2024, tetapi menghadapi kendala karena minimnya data. Selain itu, ia menegaskan bahwa pihaknya tidak mendapatkan pendanaan, bahkan untuk perjalanan dinas dan program kerja.
Sebagai langkah solusi, Azizul mengusulkan pembentukan Forum Organisasi Rembuk untuk memayungi semua komunitas yang terlibat dalam isu ini.
“Bukan sekadar persoalan green, yellow, atau red card, tetapi bagaimana mengembangkan aspek ilmiah dari Geopark ini,” ujarnya.
Diskusi ini merupakan sesi pertama dari total empat sesi yang akan berlangsung selama bulan Ramadan. Dua sesi awal yang diadakan di Ruang Publik Teras RKI akan difokuskan untuk menampung aspirasi dari berbagai pihak. Azizul Kholis juga berencana menjadi tuan rumah dalam sesi berikutnya, di mana ia akan memaparkan program yang telah dirancang serta langsung menandatangani kesepakatan setelah sesi Focus Group Discussion (FGD). Selanjutnya, pada 10 hingga 16 Maret, diskusi akan diperluas ke tiga lokasi di sekitar Danau Toba, dengan agenda dua hingga tiga kali pertemuan.
“Pengelola Geosite yang berjumlah 16 orang dengan 2 orang pengelola pusat informasi, itu harus jelas statusnya secara keorganisasian. Kalau memang mereka mau ditaruh di pemerintahan kabupaten sah-sah saja, tetapi tetap harus jelas. Anggaran untuk pengalokasian honor mereka juga harus jelas,” ujar Corry Paroma Pandjaitan.
Harapan utama dari serangkaian diskusi ini adalah agar semua pihak dapat bekerja sama demi mengembalikan status Green Card dari UNESCO serta memastikan pengelolaan Geopark Danau Toba berjalan lebih baik di masa depan.
Redaktur: Vimelia Hutapea