Oleh: Alya Nayla
Suara USU, Medan. Oxford University Press menyatakan bahwa ‘brain rot’ terpilih menjadi Oxford Word of the Year 2024 pada bulan Desember kemarin. Istilah pembusukan otak ini menggambarkan kemunduran kondisi mental atau intelektual seseorang, khususnya akibat konsumsi berlebihan terhadap konten digital berkualitas rendah, seperti hiburan instan, meme, atau video singkat yang sering kita temui di media sosial. Lebih dari 37.000 orang berpartisipasi dalam pemilihan kata ini, yang mengindikasikan bahwa istilah ini memiliki relevansi yang signifikan dalam kehidupan masyarakat global. Hal ini juga menegaskan bahwa fenomena ini bukan sekadar istilah trendy, melainkan gambaran nyata dari permasalahan serius dalam kehidupan digital.
Mengapa konsumsi konten receh dapat menghasilkan dampak buruk? Algoritma platform seperti TikTok, Instagram atau Youtube Short sering kali menampilkan konten viral yang sebenarnya tidak memiliki nilai edukasi. Konten semacam ini memberikan hiburan instan yang membuat otak merasa beristirahat. Namun, aktivitas digital yang menghasilkan instant gratification akan membuat otak terus melepaskan dopamin, sehingga penggunanya merasa kecanduan. Lama-kelamaan, otak membutuhkan lebih banyak stimulasi untuk merasa puas, sehingga pengguna harus melakukan scrolling media sosial secara terus menerus untuk menemukan konten yang baru. Hal ini mendorong para penonton memiliki kebiasaan berpikir dangkal, mengalami penurunan konsentrasi, dan kesulitan berpikir kritis. Akibatnya, pekerjaan atau tugas penting dan aktivitas produktif lainnya sering terabaikan.
Orang yang mengalami brain rot umumnya merasa gelisah ketika tidak memegang ponsel, harus selalu memeriksa notifikasi, dan cemas ketika tidak terkoneksi dengan internet. Mereka akan mudah bosan saat melakukan aktivitas yang memerlukan perhatian penuh, seperti membaca buku atau belajar. Gejala lainnya yang juga muncul adalah kesulitan untuk memproses informasi baru, mengingat detail penting, merasa tidak berenergi, bahkan gangguan emosional dan pola tidur yang tidak teratur.
Walaupun dampak dari fenomena brain rot tidak terbatas pada kelompok usia tertentu, namun pengguna yang paling rentan mengalami ‘pembusukan otak’ adalah generasi Z dan Alpha. Kalangan tersebut bahkan telah menciptakan bahasa tersendiri, seperti penggunaan kata ‘skibidi’ untuk menggambarkan sesuatu yang tidak masuk akal atau ‘ohio’ untuk mendeskripsikan hal-hal aneh dan memalukan. Hal ini adalah contoh nyata bagaimana konten-konten viral seperti serial skibidi toilet dan meme ‘Only in Ohio’ dapat mempengaruhi cara generasi muda berkomunikasi dan berpikir. Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana budaya virtual mampu menciptakan kosakata baru yang kemudian menyebar ke kehidupan nyata.
Brain rot tidak hanya menjadi masalah individu, tetapi juga berdampak pada dunia pendidikan. Guru maupun dosen sering mengeluhkan siswa yang kehilangan kemampuan untuk fokus atau merasa bosan saat harus membaca teks yang panjang. Para pelajar juga kesulitan untuk mendalami hal-hal yang lebih kompleks, dan proses pembelajaran hanya berorientasi pada hasil instan. Padahal, pendidikan seharusnya tidak hanya membantu siswa atau mahasiswa memahami sesuatu, melainkan juga mengasah keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah.
Untuk menghindari fenomena ini, mahasiswa dapat mengatasi brain rot dengan membuat jadwal penggunaan media sosial yang teratur. Misalnya: menentukan waktu khusus untuk membuka media sosial, seperti setelah menyelesaikan tugas atau sebelum tidur dengan durasi yang terbatas. Mahasiswa juga dapat menggunakan aplikasi pembatasan waktu atau fitur pengingat untuk mencegah penggunaan yang berlebihan. Cara ini dapat membantu mengurangi kebiasaan scrolling tanpa tujuan yang justru menyita waktu dan menghambat produktivitas.
Selain itu, mahasiswa dapat mengganti tontonan konten receh dengan konten yang lebih bermanfaat. Misalnya, mengikuti akun-akun edukatif seperti yang menawarkan materi kuliah, tips produktivitas, atau diskusi isu-isu positif terkini. Melalui cara ini, waktu yang dihabiskan di media sosial menjadi lebih bermanfaat dan mendukung proses pembelajaran. Mahasiswa juga dapat bergabung dengan komunitas yang membahas topik akademik atau kegiatan kreatif untuk menggantikan waktu luang dengan aktivitas yang lebih menguntungkan.
Tidak hanya itu, mahasiswa juga bisa meningkatkan kebiasaan membaca untuk menghindari brain rot. Misalnya membaca artikel, jurnal, atau buku terkait bidang studi yang diminati. Mahasiswa bisa menetapkan target kecil, contohnya membaca satu artikel ilmiah setiap minggu untuk membantu tetap konsisten dan menjaga rutinitas belajar. Sisihkan juga waktu untuk berolahraga, bertemu teman atau keluarga, atau kegiatan lainnya tanpa gangguan teknologi.
Di era yang serba digital ini, kita perlu menyadari bahwa pilihan ada di tangan kita. Menonton konten receh yang berkualitas rendah mungkin terasa menyenangkan sesaat, tetapi dampaknya dapat menghancurkan produktivitas dan kesehatan mental kita dalam jangka panjang. Kita harus lebih bijak dalam mengelola waktu dan memilah konten apa yang kita konsumsi. Jadikanlah kemajuan teknologi sebagai sarana untuk mengembangkan diri melalui hal-hal yang bermanfaat, bukannya terjebak dalam kepuasan instan yang menghambat produktivitas. Mengontrol media, bukan dikontrol oleh media, adalah kunci untuk menjaga kesehatan mental dan intelektual di era digital.
Redaktur: Khalda Mahirah Panggabean