Lapangan Kerja di Tengah Maraknya PHK, Realitas Pahit Persyaratan Lowongan Kerja

Oleh: Muhassanah Nasution

Suara USU, Medan. Menginjak tahun 2025, Indonesia dihadapkan pada kabut hitam di sektor industri dan ketenagakerjaan akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran. Mengutip CNBC Indonesia, berdasarkan data yang dihimpun dari daerah KSPI dan Partai Buruh se-Jawa, tercatat 37 perusahaan telah melakukan PHK selama Januari–Februari 2025, dengan total 44.069 buruh yang tidak menerima pesangon dan Tunjangan Hari Raya (THR). Selain itu, masih ada data dari 13 perusahaan lainnya dengan sekitar 16 ribu buruh yang mengalami PHK pada periode yang sama. Saat ini, data tersebut masih dalam proses verifikasi oleh Posko KSPI dan Partai Buruh di Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan Sumatera Utara.

Hal ini seolah menjadi pisau bermata dua bagi bangsa kita, karena hingga saat ini lapangan pekerjaan di Indonesia masih belum memadai untuk menampung seluruh pencari kerja. Ketika PHK massal terjadi, para pekerja yang terdampak harus bersaing dengan para pengangguran yang juga tengah mencari pekerjaan. Hingga kini, tingkat pengangguran di Indonesia masih tergolong tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) tercatat sebesar 4,91% pada November 2024.

Semakin membeludaknya jumlah pengangguran akibat PHK massal menjadi fakta yang tak terhindarkan. Di sisi lain, sulitnya mendapatkan pekerjaan juga menjadi tantangan besar bagi para pencari kerja. Tak hanya dihadapkan pada lapangan pekerjaan yang semakin sempit, mereka juga harus menghadapi persyaratan lowongan kerja yang kian tak masuk akal.

Dari lowongan pekerjaan yang biasa saja hingga posisi yang lebih tinggi, persyaratan yang tercantum sering kali tidak realistis untuk dipenuhi oleh para pelamar kerja. Akibatnya, banyak pencari kerja yang kebingungan dan terjebak dalam lingkaran pengangguran, karena sudah dipukul mundur lebih dulu oleh tuntutan yang terlalu tinggi.

Realita pahit dari persyaratan kerja ini turut mendorong banyak anak bangsa mendukung tagar #kaburajadulu, yang baru-baru ini viral. Beberapa negara dianggap memiliki persyaratan yang lebih bersahabat bagi para pelamar kerja. Salah satu bukti nyata dari fenomena ini adalah kisah Rosita Baptiste, warga Indonesia berdarah Batak yang kini menjabat sebagai Letnan Kolonel di Angkatan Darat Amerika Serikat (AS).

Rosita awalnya bercita-cita menjadi polwan di Indonesia, tetapi impiannya terhalang oleh persyaratan tinggi badan yang tidak mencukupi. Setelah melalui perjalanan panjang di Indonesia dan akhirnya pindah ke AS, ia berusaha bergabung dengan militer. Meski hanya memiliki tinggi badan 149 cm, Rosita berhasil membuktikan kemampuannya dan meraih kesuksesan berkat tekad yang kuat. Hal ini tentu sangat berbeda dengan standar di Indonesia, yang sering kali lebih mengutamakan faktor fisik dibandingkan potensi dan keterampilan seseorang. Realita pahit dari persyaratan lowongan kerja ini salah satunya adalah menutup kesempatan bagi pelamar kerja dengan batasan usia.

Persyaratan minimal dan maksimal usia pelamar kerja merupakan hal yang paling umum kita jumpai. Namun, masalahnya terletak pada angka usia yang dicantumkan, terutama batasan usia seperti 25 atau 27 tahun. Jika dikaitkan dengan persoalan PHK massal yang tengah terjadi, mayoritas pekerja yang terdampak kemungkinan sudah berusia kepala tiga atau lebih. Mereka harus kembali mencari pekerjaan, sementara hampir semua lowongan kerja menetapkan batas usia di bawah 30 tahun. Lantas, bagaimana cara mereka mendapatkan pekerjaan? Bayangkan jika para pekerja yang terkena PHK ini adalah tulang punggung keluarga, yang harus menafkahi anak-anak dan keluarganya. Situasi ini jelas menjadi ancaman bagi kesejahteraan bangsa Indonesia.

Padahal, usia bukanlah indikator akurat untuk memprediksi kinerja seseorang dan sering kali tidak berhubungan langsung dengan kemampuan kerja. Justru, pelamar kerja yang lebih tua bisa saja lebih kompeten berkat pengalaman yang mereka miliki, apalagi mayoritas dari mereka juga merupakan pencari nafkah bagi keluarga. Di sisi lain, jika batas maksimal usia menyulitkan para pekerja yang lebih tua, maka syarat pengalaman kerja menjadi tantangan bagi anak muda yang baru akan memulai karier. Fresh graduate atau lulusan SMA yang ingin melamar kerja sering kali dipukul mundur oleh persyaratan wajib memiliki pengalaman kerja dengan durasi tertentu. Jika setiap lowongan mengharuskan pelamar memiliki pengalaman, lalu di mana mereka seharusnya mendapatkan pengalaman pertama mereka?

Selain itu, kesulitan juga datang dari ketidaksesuaian antara syarat lama pengalaman kerja dan batas usia pelamar. Misalnya, suatu lowongan menetapkan minimal pengalaman kerja tiga tahun, tetapi batas usia maksimal pelamar hanya 25 tahun. Hal ini tentu menutup kesempatan bagi mereka yang terlambat menyelesaikan kuliah atau sempat menganggur dalam beberapa waktu sebelum mencari pekerjaan.

Tidak hanya itu, bentuk fisik juga sering kali lebih diutamakan dibandingkan keterampilan. Kisah Rosita Baptiste yang telah dipaparkan sebelumnya adalah salah satu contoh nyata, namun kisah serupa juga dialami oleh Tri Cahyaningsih, yang dinyatakan gagal dalam seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Meskipun ia memperoleh skor tertinggi dalam Seleksi Kompetensi Dasar (SKD), ia tetap tidak lolos karena tinggi badannya kurang 0,5 cm dari ketentuan.

Kasus ini menjadi bukti bahwa di Indonesia, kompetensi seseorang tidak selalu menjadi faktor utama dalam seleksi kerja, melainkan masih kalah oleh faktor fisik. Seharusnya, kelayakan seseorang untuk bekerja di suatu posisi ditentukan berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan keterampilan yang dimilikinya, bukan semata-mata dari aspek fisik yang tidak selalu relevan dengan pekerjaan yang dilamar.

Selain itu, adanya keterampilan tambahan yang harus dimiliki pelamar juga menjadi tantangan tersendiri. Dewasa ini, beberapa lowongan kerja mencantumkan persyaratan tambahan, seperti menguasai bahasa asing, public speaking, atau keterampilan lainnya, yang sering kali tidak relevan dengan posisi yang ditawarkan. Akibatnya, pencari kerja terjebak dalam lingkaran pengangguran karena harus mempelajari keterampilan tambahan tersebut terlebih dahulu. Situasi ini semakin sulit ketika keterampilan tersebut hanya bisa didapatkan melalui kursus atau pelatihan yang memerlukan biaya, sehingga tidak semua pencari kerja memiliki akses untuk memenuhi persyaratan tersebut.

Semakin sulitnya persyaratan kerja ini juga dipicu oleh ketidakseimbangan antara lapangan pekerjaan dan jumlah pencari kerja di Indonesia. Bayangkan saja, dalam satu lowongan kerja yang hanya membutuhkan lima pekerja, ada ratusan orang yang melamar. Akibatnya, perusahaan cenderung memperketat persyaratan agar dapat menyaring pelamar yang dianggap paling sesuai dengan keinginan mereka.

Dengan demikian, berbagai persyaratan yang disusun menciptakan gambaran ideal mengenai pelamar yang diinginkan—mulai dari riwayat pendidikan, perjalanan karier, hingga bentuk fisik dan penampilannya. Hal ini semakin mempersempit peluang bagi pencari kerja yang mungkin memiliki kemampuan dan pengalaman yang cukup, tetapi tidak memenuhi kriteria tertentu yang terkadang tidak relevan dengan pekerjaan yang ditawarkan.

Redaktur: Muhammad Halim

 

Related posts

Sistem Hierarki Militer Tidak Sejalan dengan Konsep Demokrasi Indonesia

Dasar Kalian si Perokok Sombong!

Normalisasi Manipulasi dalam Pola Eksploitasi Grooming