Sistem Hierarki Militer Tidak Sejalan dengan Konsep Demokrasi Indonesia

Sumber: RRI.co.id

Oleh: Cynthia Ma

Suara USU, Medan. Sebagai negara demokrasi, Indonesia menjunjung tinggi prinsip kesetaraan, transparansi, dan kebebasan berpendapat. Namun, revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang disahkan pada 20 Maret 2025 justru membuka ruang lebih luas bagi keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil. Langkah ini lantas menimbulkan pertanyaan, apakah demokrasi Indonesia sedang mengarah pada normalisasi pengaruh militer dalam birokrasi?

Revisi ini mencakup tiga poin utama. Pertama, perluasan cakupan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) mencakup pertahanan siber serta perlindungan warga negara dan kepentingan nasional di luar negeri. Kedua, aturan baru memungkinkan prajurit TNI menduduki jabatan di 16 kementerian/lembaga tanpa harus pensiun terlebih dahulu. Ketiga, perubahan Pasal 53 memberikan perpanjangan masa dinas bagi anggota TNI sesuai dengan jenjang kepangkatan mereka.

Sebelumnya, Pasal 47 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2004 menetapkan bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah pensiun atau mengundurkan diri. Namun, revisi ini menghapus syarat tersebut, memungkinkan prajurit aktif tetap berada dalam sistem komando militer sambil menjalankan tugas di birokrasi sipil.

Militer beroperasi dengan sistem hierarki yang menuntut ketaatan tanpa bantahan. Struktur ini efektif dalam situasi perang atau operasi keamanan yang membutuhkan eksekusi cepat. Namun, jika diterapkan dalam birokrasi sipil, sistem ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yang mengutamakan transparansi, diskusi, dan akuntabilitas.

Birokrasi sipil membutuhkan pengambilan keputusan berbasis kajian yang matang, melibatkan berbagai pihak, serta mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Sebaliknya, sistem komando militer bersifat top-down, minim ruang untuk kritik dan evaluasi. Jika diterapkan di pemerintahan, kebijakan lebih berorientasi pada kepatuhan daripada kepentingan publik, berisiko menciptakan birokrasi yang kaku dan kurang akuntabel.

Selain itu, prajurit aktif yang ditempatkan di kementerian atau lembaga negara tetap terikat pada hierarki militer. Ini menimbulkan dilema, apakah mereka akan mengutamakan kepentingan rakyat atau tetap loyal kepada komando atasan? Konflik kepentingan ini bisa mengancam supremasi sipil dalam demokrasi.

Pelibatan militer dalam birokrasi sipil bukan sekadar masalah administratif, tetapi juga berpotensi mengarah pada militerisasi pemerintahan. Militer memiliki wewenang membawa senjata dalam tugas pertahanan. Namun, jika prajurit aktif terlibat dalam pemerintahan sipil, keberadaan senjata bisa menciptakan tekanan psikologis bagi pegawai sipil maupun masyarakat. Ketaatan mungkin muncul bukan dari kesepahaman, tetapi dari rasa takut.

Pelajaran bisa diambil dari negara lain. Di Myanmar, kudeta militer pada 1 Februari 2021 berujung pada konflik berkepanjangan. Militer yang mengambil alih pemerintahan dari pemimpin sipil terpilih menghadapi perlawanan besar. Hingga awal 2025, militer Myanmar hanya menguasai 21% wilayah negara, sementara kelompok pro-demokrasi dan etnis bersenjata terus melakukan perlawanan.

Thailand juga memiliki sejarah panjang intervensi militer dalam politik. Kudeta 2014 yang dipimpin Jenderal Prayuth Chan-o-cha menghasilkan pemerintahan yang dikendalikan militer selama hampir satu dekade. Meskipun dalihnya untuk stabilitas, intervensi ini justru melemahkan demokrasi dan memperpanjang ketidakpercayaan publik terhadap pemerintahan.

Jika sistem hierarki militer diterapkan dalam birokrasi sipil Indonesia, ada risiko meningkatnya otoritarianisme. Keputusan bisa diambil tanpa pengawasan, kritik dianggap pembangkangan, dan mekanisme kontrol demokrasi melemah.

Sejumlah pihak telah menyuarakan kekhawatiran. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto sebelumnya menegaskan bahwa prajurit aktif yang menduduki jabatan sipil seharusnya pensiun dini atau mengundurkan diri dari dinas aktif. Namun, revisi UU TNI menghapus aturan ini, membuka peluang bagi prajurit aktif tetap berada dalam sistem komando sambil menjalankan tugas sipil.

Komisi I DPR RI juga meminta Panglima TNI menarik ribuan prajurit dari jabatan sipil setelah revisi UU disahkan. Ini menunjukkan kekhawatiran legislatif terhadap dampak negatif perluasan peran militer di pemerintahan.

Untuk itu, revisi UU TNI yang memperluas peran militer dalam sektor sipil perlu dikaji ulang. Jika Indonesia ingin memperkuat demokrasinya, batasan antara militer dan pemerintahan sipil harus tetap tegas. Militer memiliki tugas menjaga pertahanan negara, bukan mengelola pemerintahan.

Pemerintahan sipil harus tetap dijalankan berdasarkan prinsip demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas, bukan dengan sistem komando yang menuntut kepatuhan tanpa pertanyaan. Jika batas ini dilanggar, demokrasi Indonesia bisa menghadapi ancaman serius.

Redaktur: Zahra Zaina Rusty

Related posts

Lapangan Kerja di Tengah Maraknya PHK, Realitas Pahit Persyaratan Lowongan Kerja

Dasar Kalian si Perokok Sombong!

Normalisasi Manipulasi dalam Pola Eksploitasi Grooming