Oleh : Frianka Raya
Suara USU, Medan. Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, Pemilu (Pemilihan Umum) dan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) adalah momen penting untuk menentukan masa depan negara. Namun, pelaksanaan keduanya di tahun yang sama pada 2024 membawa berbagai tantangan yang perlu kita pikirkan bersama. Pemilu adalah proses memilih pemimpin dan wakil rakyat di tingkat nasional, seperti Presiden, Wakil Presiden, serta anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sementara itu, Pilkada adalah pemilihan di tingkat daerah untuk memilih gubernur, bupati, atau walikota bersama wakilnya. Keduanya bertujuan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin yang akan menjalankan pemerintahan sesuai dengan keinginan rakyat.
Pelaksanaan Pemilu dan Pilkada pada tahun yang sama menjadi hal yang perlu kita perhatikan dengan baik. Kedua pemilihan ini, baik di tingkat nasional maupun daerah, memiliki dampak besar bagi demokrasi Indonesia. Mengadakan kedua pemilihan besar ini secara bersamaan tentu akan membawa tantangan yang tak bisa diabaikan.
Pemilu serentak sering kali menjadi tantangan besar karena melibatkan banyak calon dan jenis pemilihan, yang bisa membuat pemilih merasa bingung. Berbeda dengan Pilkada, yang hanya memilih kepala daerah seperti gubernur, bupati, atau wali kota, Pemilu serentak lebih rumit karena mencakup berbagai tingkat pemerintahan. Sementara itu, Pilkada cenderung lebih emosional karena kandidat yang bertarung lebih dikenal secara langsung. Hal ini membuat suasana politik di daerah menjadi lebih tegang, meskipun Pilkada terlihat lebih sederhana dibandingkan Pemilu serentak. Apabila keduanya dilaksanakan bersamaan, meskipun Pilkada lebih sederhana, pemilih tetap akan merasa kewalahan, terutama jika sosialisasi dan edukasi politik tidak dilakukan dengan baik.
Dampak besar lainnya adalah meningkatnya polarisasi politik. Polarisasi ini bukan berarti masyarakat terbelah total, tetapi terbentuk dua kelompok besar dengan pandangan yang semakin kuat, baik di tingkat nasional maupun daerah. Dalam Pilkada, calon kepala daerah sering kali meniru gaya kampanye Pemilu presiden, seperti menonjolkan dukungan dari partai politik atau tokoh nasional. Misalnya, seorang calon bisa menyatakan bahwa ia didukung oleh partai atau tokoh yang mendukung presiden terpilih.
Polarisasi seperti ini cenderung membuat masyarakat memilih berdasarkan keterkaitan politik, bukan karena menilai kualitas atau program kerja calon. Diskusi publik pun bergeser dari membahas masalah yang penting menjadi sekadar persaingan citra dan simbol politik. Polarisasi yang semakin tajam ini bisa mempengaruhi cara masyarakat berinteraksi. Jika kampanye terus-menerus membingkai segala sesuatu sebagai “kami” lawan “mereka,” ini bisa membuat orang semakin sulit melihat kandidat atau isu secara netral. Keterlibatan politik juga bisa terganggu, karena orang cenderung hanya mendukung kelompoknya sendiri tanpa mempertimbangkan ide atau rencana dari pihak lain.
Meskipun Pemilu dan Pilkada dilaksanakan pada tahun yang sama, perbedaan waktu antara keduanya, yaitu Pemilu pada bulan Februari dan Pilkada pada bulan November, tetap menimbulkan tantangan bagi KPU. Jarak waktu yang cukup jauh ini membutuhkan persiapan dan koordinasi yang sangat hati-hati. KPU harus memastikan sistem dan logistik untuk kedua pemilihan berjalan lancar. Selain itu, pemisahan waktu ini juga mengharuskan KPU untuk mengelola sumber daya yang terbatas, seperti tenaga kerja, anggaran, dan fasilitas, agar dapat fokus pada kualitas pelaksanaan kedua pemilihan tersebut.
Meskipun tantangan-tantangan tersebut ada, kita masih bisa menghadapinya. Untuk mengatasi polarisasi, semua pihak perlu bekerja sama menjaga suasana demokrasi yang sehat. Pemerintah, penyelenggara pemilu, dan media harus aktif mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memilih berdasarkan program kerja dan kualitas kandidat, bukan hanya keterkaitan politik. Selain itu, partai politik juga perlu fokus pada kampanye yang membahas solusi nyata bagi masalah masyarakat, bukan sekadar menonjolkan dukungan dari tokoh terkenal atau membangun citra tertentu. Dengan begitu, masyarakat dapat memilih dengan lebih bijak.
Pemilu dan Pilkada yang berlangsung pada tahun yang sama memang membawa tantangan bagi demokrasi Indonesia. Namun, dengan kerja sama yang baik antara pemerintah, penyelenggara Pemilu, media, dan masyarakat, kita masih bisa menjaga kualitas demokrasi yang adil dan jujur. Ini adalah ujian besar bagi kita semua untuk memastikan suara rakyat dihargai dengan baik, tanpa ada yang diabaikan atau salah. Jika kita dapat mengatasi tantangan ini, maka demokrasi Indonesia akan semakin kuat dan memberikan hasil yang lebih baik untuk kemajuan bangsa.
Redaktur : Grace Pandora Sitorus