Kebijakan Baru LPJ 3 Kg: Masyarakat Terhimpit, Pedagang Kecil Terancam

(Ilustrator Sella Ramadani)

Oleh : M. Fajri Saputra

Suara USU, Medan. Gas LPG 3 kg atau yang biasa dikenal sebagai gas melon merupakan barang bersubsidi yang diperuntukkan bagi rumah tangga kurang mampu serta usaha mikro. Karena disubsidi, harganya jauh lebih murah dibandingkan gas LPG nonsubsidi.

Belakangan ini, distribusi gas melon menjadi isu hangat akibat kelangkaan, kenaikan harga, serta penyalahgunaan. Perubahan kebijakan distribusi subsidi LPG 3 kg yang diberlakukan sejak 1 Februari 2025 menjadi salah satu faktor utama. Beberapa perubahan signifikan meliputi larangan penjualan oleh pengecer, pengalihan distribusi ke 5.800 pangkalan resmi Pertamina guna memutus praktik penimbunan dan permainan harga, serta pengetatan syarat pembelian. Kini, masyarakat diwajibkan menunjukkan KTP sebagai bukti identitas penerima subsidi, dengan batasan pembelian 1–2 tabung per transaksi untuk menghindari penimbunan.

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa tidak terjadi kelangkaan LPG, melainkan pemerintah hanya memberlakukan pembatasan guna memastikan distribusi tepat sasaran.

Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh ekonom UGM, Fahmy Radhi. Ia mengkritik kebijakan larangan penjualan LPG 3 kg di pengecer karena dinilai menyulitkan masyarakat kecil dan pengusaha mikro. Menurutnya, kebijakan ini membatasi akses masyarakat terhadap gas melon, terutama di daerah terpencil, serta mengancam keberlangsungan usaha pengecer kecil. Ia juga menilai kebijakan ini bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam mendukung rakyat kecil dan menyarankan agar kebijakan tersebut dievaluasi ulang demi kesejahteraan masyarakat.

Lalu, bagaimana tanggapan masyarakat terhadap kebijakan ini? Banyak warga mengeluhkan kesulitan mendapatkan gas melon, terutama mereka yang selama ini bergantung pada warung-warung terdekat. Pedagang kecil yang mengandalkan penjualan LPG sebagai sumber pendapatan juga merasa terancam gulung tikar.

Bahkan ada kasus tragis yang terjadi di Pamulang, Tangerang Selatan, di mana seorang ibu rumah tangga meninggal dunia pada 3 Februari 2025 setelah kelelahan mengantre gas LPG 3 kg selama berjam-jam.

Menilai hal yang terjadi di lapangan, pemerintah seharusnya lebih berhati-hati dan rasional dalam menetapkan kebijakan dengan melakukan riset mendalam sebelum mengambil keputusan. Riset ini penting untuk memahami pola distribusi LPG, kebutuhan masyarakat, serta potensi dampak yang dapat timbul akibat perubahan kebijakan.

Selain itu, pemerintah juga perlu melibatkan berbagai pihak terkait, seperti pedagang kecil, konsumen, dan ahli energi, dalam proses pengambilan keputusan. Dengan pendekatan yang inklusif dan berbasis riset, kebijakan yang dihasilkan akan lebih efektif serta dapat diterima oleh masyarakat luas.

Redaktur: Jesika Yusnita Laoly

Related posts

Dasar Kalian si Perokok Sombong!

Normalisasi Manipulasi dalam Pola Eksploitasi Grooming

Korupsi Adalah Musuh Bersama yang Diam-Diam Kita Lestarikan