Sumber foto: Wikipedia
Oleh: Jesika Yusnita Laoly
Sutan Mohammad Amin Nasution adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, meskipun namanya jarang dikenal luas oleh masyarakat. Lahir pada 22 Februari 1904 di Langsa, Aceh, dari orangtua yang beretnis Batak Mandailing, ia tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan keragaman budaya dan tradisi. Sejak usia muda, Sutan Mohammad Amin menunjukkan kecerdasan dan ketekunan yang luar biasa dalam bidang akademis.
Pendidikan formalnya dimulai di Europeesche Lagere School (ELS) di Sabang pada tahun 1912. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di berbagai ELS di Solok, Sibolga, dan Tanjung Pinang hingga lulus pada tahun 1918. Keinginannya untuk terus belajar membawanya ke STOVIA, sekolah kedokteran di Batavia, pada tahun 1919. Namun, setelah dua tahun ia memutuskan untuk meninggalkan STOVIA dan melanjutkan studinya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan kemudian di Algemeene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta. Di sini, ia dikenalkan dengan ideologi nasionalis oleh rekannya, Mohammad Yamin, yang semakin mengobarkan semangatnya untuk melawan penjajahan.
Setelah lulus dari AMS dengan nilai yang sangat baik, Sutan Mohammad Amin melanjutkan studinya di Rechtschoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia menjadi seorang pengacara yang sukses, menangani banyak kasus dengan kepandaian yang diakui oleh banyak pihak. Bahkan, ia pernah ditawari oleh pemerintah Belanda untuk bekerja sebagai pegawai Belanda, namun tawaran itu ditolaknya dengan tegas, sebagai bentuk komitmennya terhadap perjuangan nasional.
Perjuangan Sutan Mohammad Amin dalam melawan kolonialisme tidak hanya berhenti pada profesinya sebagai pengacara. Saat kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) tahun 1940, ia menyuarakan semangat anti-kolonialisme yang kuat, meskipun kongres tersebut diawasi ketat oleh pemerintah Belanda. Ia juga menerbitkan majalah “Penjuluh Rakjat” sebagai alat untuk membangkitkan kesadaran nasionalisme di kalangan masyarakat Aceh.
Pada masa pendudukan Jepang, Sutan Mohammad Amin diangkat sebagai Kepala Sekolah Menengah atau “Syu Gakko” di Kutaraja (Aceh) pada tahun 1942. Di bawah kepemimpinannya, sekolah ini tidak hanya menjadi tempat pendidikan formal tetapi juga menjadi wadah bagi penanaman nilai-nilai nasionalisme di kalangan para siswa. Para lulusan sekolah inilah yang kemudian menjadi “Tentara Pelajar Aceh,” sebuah kelompok yang banyak terlibat dalam pertempuran melawan agresi militer Belanda.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sutan Mohammad Amin diangkat sebagai Gubernur Sumatera Utara dengan nama yang berbeda. Tugasnya tidaklah mudah, terutama saat menghadapi agresi militer Belanda yang berusaha merebut kembali wilayah Indonesia. Salah satu momen paling dramatis dalam hidupnya terjadi ketika ia mengunjungi rumah ibunya di Desa Mandailing, Siantar. Ketika sampai di sana, rumah tersebut telah dikepung oleh tentara Belanda, dan Sutan Mohammad Amin pun ditangkap. Ia dibawa ke Medan dan dijadikan tahanan rumah di kediaman seorang pria bernama Yusuf. Meskipun dalam tahanan, ia tetap mengamati persiapan pembentukan Negara Sumatera Timur, sebuah negara boneka yang didirikan oleh Belanda untuk memecah belah Indonesia.
Pengalaman ini semakin memperkuat tekadnya untuk terus berjuang demi keutuhan dan kedaulatan bangsa Indonesia. Sutan Mohammad Amin memindahkan pemerintahan Sumatera Utara untuk menghindari serangan Belanda, sekaligus terus melakukan perlawanan militer. Ia juga memainkan peran penting dalam menyelesaikan separatisme yang dilancarkan oleh kelompok “Banteng Hitam,” front rakyat, dan komunis, serta memperjuangkan penyelesaian konflik Aceh yang diakibatkan oleh gerakan Teungku Daud Beureuh.
Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan dan keutuhan bangsa, Sutan Mohammad Amin telah dianugerahi berbagai tanda kehormatan, di antaranya:
- Pahlawan Nasional Indonesia, dari Presiden Joko Widodo, 10 November 2020.
- Bintang Mahaputera Adipradana, dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, 10 November 2009.
- Bintang Mahaputera, dari Presiden B.J. Habibie, 1998.
- Bintang Jasa Utama, dari Presiden Soeharto, 1991.
- Bintang Legiun Veteran Republik Indonesia, 1991.
- Satyalancana Peringatan Perdjoeangan Kemerdekaan RI, 1961.
Sutan Mohammad Amin Nasution adalah sosok pahlawan yang perjuangannya melampaui batas-batas wilayah dan profesi. Ia tidak hanya berjuang melalui senjata, tetapi juga melalui pemikiran, pendidikan, dan politik. Meskipun namanya mungkin tidak setenar tokoh-tokoh lainnya, warisan perjuangannya tetap hidup dalam sejarah Indonesia. Namanya dikenang sebagai pahlawan nasional, seorang advokat muda yang cerdas, dan pemimpin yang gigih dalam menghadapi tantangan demi kedaulatan bangsa.
Redaktur: Afrahul Fadhillah Parinduri