SUARA USU
Opini

Menilik RUU DKJ: Demokrasi Hanya Tinggal Namanya Saja?

Penulis: Muhammad Halim

Suara USU, Medan. Memasuki masa akhir kepemimpinan, perubahan dan pembuatan UU baru terasa seperti membalik telapak tangan. Dimulai dari perubahan UU batasan umur untuk cawapres, UU ITE, UU Cipta Kerja, sampai kini yang terbaru RUU DKJ. Rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur di masa Presiden Joko Widodo sudah dimulai pembangunannya, dengan target di pilpres 2024 nanti Ibu Kota Nusantara (IKN) sudah diresmikan. Namun pertanyaannya bagaimana status DKI Jakarta nanti?.

Baru-baru ini RUU DKJ diusulkan oleh DPR-RI terkait status DKI Jakarta ke depannya. Salah satu isi dari RUU DKJ mengundang kontroversial publik, penolakan dari internal pemerintah saat ini juga cukup banyak, penolakan juga datang dari masyarakat publik atas kekhawatiran jika UU DKJ ini disahkan. Kita tahu bahwa RUU DKJ ini khusus untuk Jakarta yang ke depannya tidak lagi menjadi ibu kota negara karena digantikan oleh IKN. Secara keseluruhan RUU DKJ ini sejatinya mengatur tata kelola, bentuk, serta pemerintahan Jakarta setelah status ibu kota negara pindah ke IKN.

Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 RUU DKJ, Jakarta nantinya tidak disebut lagi sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan akan berubah menjadi DKJ (Daerah Khusus Jakarta). Jakarta kemudian menjadi daerah otonomi khusus. Setelah melepas statusnya sebagai ibu kota negara, Jakarta nantinya akan menjadi daerah khusus pusat perekonomian nasional, kota global, dan kawasan aglomerasi seperti halnya NewYork di Amerika Serikat.

Berdasarkan Pasal 3 ayat 2 juga dijabarkan bahwa fungsi DKJ nantinya akan menjadi pusat perdagangan, pusat kegiatan layanan jasa, layanan jasa keuangan, serta kegiatan bisnis yang berskala nasional, regional, hingga global. Dari semua isi keseluruhan RUU DKJ ada satu pasal yang memicu kontroversial, yaitu pasal 10 ayat 2 “Gubernur dan Wakil Gubernur  ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD.”

Pasal ini yang memicu respon negatif dari publik, respon penolakan dari internal pemerintah, para mahasiswa, dan aktivis mulai berdatangan ke istana. Namun sampai saat ini belum ada respon dari Presiden sendiri. Indonesia sebagai negara yang menganut sistem Presidensial yang dimana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif. Kepala daerah yang termasuk dari kekuasan eksekutif mulai dipertanyakan nilai demokrasi nya terkhusus untuk Jakarta nanti.

RUU DKJ Pasal 10 ayat 2 yang kontroversial mendulang kecurigaan banyak pihak, pasalnya pilkada Jakarta yang sebelumnya dipilih langsung oleh warga Jakarta kini hak pilih mereka akan diberangus, dan hal ini akan menjadi masalah serius untuk Indonesia ke dapanya. Mengapa? Karena Makna dari demokrasi “dari rakyat untuk rakyat” kini akan berubah menjadi “dari kekuasaan untuk kekuasaan”. Maknanya gubernur yang ditunjuk oleh presiden nanti kemungkinan besar hanya demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Hak pilih warga Jakarta ingin dipimpin oleh siapa akan hilang, dan warga Jakarta tidak bisa melihat siapa pemimpin yang benar-benar pro terhadap warga Jakarta. Kasus-kasus pergusuran pemukiman warga menjadi trauma tersendiri di benak rakyat kecil di Jakarta, pasalnya warga yang tergusur terombang-ambing tidak jelas statusnya, kini munculnya RUU DKJ justru membuat warga Jakarta naik pitam, dan kasus-kasus seperti ini akan banayak terjadi ke depananya jika UU ini disahkan.

Para mahasiswa juga mulai menyuarakan penolakan terhadap UU ini, demokrasi yang susah payah direbut oleh mahasiswa pada masa reformasi saat ini sedikit-demi sedikit akan hilang. RUU DKJ bisa saja menjadi kedok dan pembuka untuk dihilangkanya pilkada di seluruh Indonesia. Berawal dari satu provinsi maka lama-lama semuanya akan disamakan dengan RUU ini jika tidak ada penolakan dari masyarakat publik. Indonesia akan kembali pada masa Orde Baru.

Sejarah mahasiswa dari zaman orde baru sebagai representatif dari masyarakat terdidik harus berdiri di garda terdepan untuk penolakan RUU DKJ ini. Sebagai masyarakat yang diberi kesempatan akses pendidikan lebih, harus menjadi informan yang terintegrasi di tengah-tengah masyarakat yang tidak diberi kesempatan untuk merasakan pendidikan yang labih tinggi dalam  mengakses informasi. Karena mereka tidak pernah tahu niat baik atau buruk di setiap keputusan pemerintah jika akademisi seperti kita bungkam terhadap keputusan-keputusan pemerintah yang merugikan rakyat.

Untuk membedah RUU DKJ ini dibutuhkan akademisi yang pakar terhadap hukum, membedah disetiap pasalnya, menjelaskan dampak negtif dan positif hal ini yang nantinya informasi ini bisa dikonsumsi publik. Kata sakral “demokrasi” yang sampai saat ini masih dipegang teguh oleh pemerintah harus kita pertahankan, jika RUU DKJ ini sampai disahkan maka kata demokrasi hanya akan tinggal namanya saja, namun pengaplikasiannya sangat nihil untuk dilaksanakan, dan lambat laun Indonesia akan dipimpin oleh pemimpin yang otoriter, pemimpin yang mengambil keputusan tanpa melihat dampak yang akan dirasakan oleh rakyat kecil.

Redaktur: Anna Fauziah Pane


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

Buka Bersama, Ajang Silahturahmi atau Hedonisme?

redaksi

Kilas ke Belakang, Langkah ke Depan: Refleksi Akhir Tahun Mahasiswa

redaksi

Wisuda TK Sampai SMA, Apakah Perlu?

redaksi