Sejarah yang Hidup di Balik Pagar, Menelusuri Museum Perjuangan Pers

Oleh: Fatih Fathan Mubina

Suara USU, Medan. Pagar Museum Perjuangan Pers terlihat dimakan usia di beberapa sudutnya yang ditandai oleh lumut hijau. Pagar berwarna putih dengan corak kuning keemasan mewarnai ujung bagian pagar membuat Museum terlihat cerah dan memiliki nilai sejarah.

Pagar putih dengan berat lebih dari 5 Kg cukup membuat pengelola museum memiringkan badannya untuk membuka gerbang museum. Decit dari gesekan roda pagar dengan besi penyangga yang sudah dimakan usia khas rumah pensiunan veteran kemerdekaan.

Museum ini tidak pernah sekalipun menutup diri untuk masyarakat mahasiswa dan umum. Setiap harinya Mufti-penjaga dan pengelola museum- melayani siapapun yang datang. senyum khas pramuwisata yang siap memberikan sejuta informasi untuk satu benda sekecil apapun yang ada dalam museum. Mufti dengan piawainya memberikan informasi dari benda terkecil hingga benda terbesar.

Ikai Koi dalam kolam kecil yang menjorok ke dinding rumah mengisi halaman depan museum, ditambah pondokan kecil yang dibangun 4 tahun lalu, museum ini menawarkan tempat bersantai ria, selain fungsinya sebagai informasi bersejarah.

Sebuah lukisan tertancap tepat di atas meja kayu teras museum. Lukisan yang menggambarkan tentara terluka dan dilapisi oleh perban di sekujur badan. Lukisan ini menjadi pembuka sekaligus penanda bahwa apa yang ada dibalik pintu museum memiliki segudang informasi yang amat kaya.

Sebuah papan informasi dengan tulisan “Buka pukul 09.00 – 16.00” terpampang di pintu masuk museum. Mufti menjelaskan bahwa jam operasional museum rata-rata 7 jam, mulai dari 10 pagi hingga 4 sore walaupun terkadang jam 9 sudah siap untuk menerima pengunjung.

Bak surganya kolektor, bagian dalam museum tidak dapat ditaksir nilai dan harganya. Sebuah lukisan dan buku Radio Rimba Raya misalnya, sebuah radio zaman kemerdekaan yang dibangun oleh pejuang kemerdekaan Indonesia dalam perang informasi dengan penjajah.

Radio Rimba Raya saat itu dikatakan sebagai Radio yang setara dengan Radio Domei milik Jepang, jangkauan dari Radio Rimba Raya meluas sampai ke Australia dan Negara Asia Pasifik lainnya, tak ayal Radio Rimba Raya memiliki penyiar asing khusus dalam menyiarkan berita dalam bahasa Inggris.

Lukisan Radio Rimba Raya hanya salah satu koleksi dari ruang utama dari 3 ruangan yang ada dalam Museum Pers Perjuangan. Koleksi lukisan 12 pahlawan asal Sumatra Utara dari menjadi salah satu pajangan yang selalu dijelaskan oleh Mufti. Mufti dan pengelola museum berjuang untuk menjadikan pahlawan asal Sumut sebagai nama jalan sehingga namanya selalu terkenang. Mufti dapat menjelaskan secara rinci pahlawan dari Sumut, seperti Sutan Amin Nasution yang baru diresmikan menjadi pahlawan nasional 2020 lalu.

Berjalan lurus dari pintu masuk, pengunjung dibawa menuju ruang yang lebih dalam. Satu lemari kaca 8 sisi diletakkan di dalamnya. lemari kaca 8 sisi berisi segudang benda yang penuh dengan peristiwa dibaliknya. Paspor pendiri museum pers dipajang dalam lemari kaca ini, paspor yang membawa pendiri Museum Perjuangan Pers ini ke Amerika Serikat dalam rangka menghadiri pelantikan Presiden Richard Nixon.

Ruangan ketiga yang terpisah berisi khusus koleksi pers. Mufti menjelaskan ruangan ini dulunya digunakan sebagai tempat kerja pendiri museum. Berisikan segudang arsip yang berupa koran tempo dulu, lukisan tokoh pers yang ada di Sumut dan tentunya barang pribadi yang digunakan oleh pendiri museum.

Mufti yang saat ini merupakan pengelola museum merupakan generasi ketiga dari pendiri yang bernama Muhammad Tok Wan Haria atau yang lebih umum dikenal dengan Muhammad TWH. Muhammad TWH merupakan mantan jurnalis dari harian Mimbar Umum.

Pendirian museum ini berawal dari koleksi TWH sejak tahun 1990-an, Mufti menjelaskan bahwa Muhammad TWH saat itu ingin memanfaatkan apa yang dimilikinya sehingga dimulailah perjalanan pameran koleksi pers yang dimiliki Muhammad TWH.

Pameran-pameran ini yang menjadi cikal bakal pendirian Museum Perjuangan Pers. Tak ingin kebermanfaatannya berakhir di gudang rumah saat masa pensiun, bersama anaknya, Muhammad TWH menyusun Museum Perjuangan Pers yang saat ini bisa dikunjungi oleh seluruh elemen masyarakat.

Dengan tujuan mulia, penulis merasa bahwa apa yang dimaksudkan oleh pendiri tersampaikan dengan baik kepada seluruh elemen masyarakat, kunjungan penulis yang ketiga kali diramaikan oleh rombongan anak-anak sekolah dasar. Mufti lagi-lagi menjelaskan bahwa pengelola berusaha keras untuk mengundang anak-anak sekolah untuk mewujudkan kebermanfaatan yang dicita-citakan oleh Muhammad TWH sang pendiri.

Pengunjung yang berasal dari sekolah terlihat antusias mendengarkan penjelasan Mufti, penjelasan satu koleksi ke koleksi lainnya membuat beberapa orang terlihat takzim mendengarkan dengan suasana terik matahari di luar.