Oleh: Chairani
Suara USU, Medan. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin dinamis dan kompleks, kebebasan berekspresi di kampus sering sekali disalahartikan sebagai hak mutlak tanpa batas. Sebagai ruang intelektual yang ideal bagi para mahasiswa dalam mengekspresikan ide, gagasan, dan inovasi, kampus harus menjadi tempat yang aman untuk bebas berekspresi. Kebebasan berekspresi di kampus merupakan hak fundamental yang harus dihargai dan dilindungi. Akan tetapi, hak ini datang beriringan dengan tanggung jawab yang sejalan dengan nilai-nilai etika dan moral.
Penting dipahami bahwa kebebasan berekspresi di kampus memberikan ruang bagi mahasiswa untuk menyuarakan pendapat dan pandangan mahasiswa tentang berbagai isu, baik isu politik, sosial, maupun budaya. Namun, kebebasan tanpa tanggung jawab dapat menjadi pedang bermata dua. Di era digital sekarang ini, bebas berekspresi tidak hanya sebatas pada ruang fisik seperti diskusi kelas maupun unjuk rasa, tetapi merambah ke ruang maya. Media sosial membuat mahasiswa menyuarakan pendapatnya ke khalayak yang lebih luas. Ironisnya, kebebasan ini terkadang diwarnai oleh penyebaran hoaks, ujaran kebencian, ataupun propaganda yang memicu konflik. Kampus harus mampu menjadi arena untuk menumbuhkan kesadaran dan memupuk tanggung jawab mahasiswa dalam berekspresi, bukan tempat untuk memelihara dan menyuburkan polarisasi.
Selain itu, kebebasan berekspresi di kampus harus dibingkai dengan semangat kebhinekaan. Kampus sebagai miniatur masyarakat yang mencerminkan pluralitas, tempat berkumpulnya individu dengan latar belakang suku, ras, agama, dan budaya yang berbeda. Ekspresi yang diskriminatif atau mengkotak-kotakkan kelompok tertentu tidak hanya melanggar etika, tetapi juga mencederai nilai-nilai demokrasi yang menjadi dasar kebebasan berekspresi itu sendiri.
Di sisi lain, kampus memegang peranan penting. Larangan yang berlebihan terhadap kegiatan diskusi, forum-forum diskusi terbuka, demonstrasi dapat membungkam suara kritis dalam demokrasi. Kampus harus menjadi pelindung mahasiswa dalam berekspresi selama dilakukan secara damai dan terstruktur. Namun, ketika ekspresi tersebut melanggar etika, hukum atau merugikan hak orang lain, kampus dapat bertindak secara tegas.
Demi menciptakan keseimbangan ini, perlu peran aktif dari kampus, mahasiswa dan masyarakat luas. Mahasiswa harus diberdayakan untuk dapat memahami hak-hak mereka sekaligus bertanggung jawab atas konsekuensi dari ekspresi mereka. Sementara itu, kampus harus menyediakan ruang yang aman dan mendukung dialog yang sehat bagi mahasiswa. Kampus harus kembali kepada fungsinya sebagai ruang pendidikan demokrasi, di mana mahasiswa tidak hanya mampu berbicara tetapi juga belajar untuk memahami, mendengarkan dan menghormati serta bertanggung jawab. Dengan demikian, kebebasan berekspresi di kampus bukan hanya sekedar kalimat kosong, tetapi menjadi fondasi untuk menciptakan mahasiswa yang kritis, demokratis, dan bermartabat.
Redaktur: Duwi Cahya