SUARA USU
Uncategorized

Pasar Petisah: Antara Nostalgia dan Tantangan Era Digital

 


Penulis: Deryl Purba, Saravanan Jayarathnam, Marsia Br Pelawi, Winola Naomi Hulu, Simon Syahputra Aritonang

Suara USU, Medan. Bagi kamu yang tinggal di sekitar Medan mungkin sudah tidak asing lagi dengan pasar yang menjadi ikon legendaris dari kota yang dijuluki kota multikultural itu, yakni Pasar Petisah. Pasar tradisional-modern terbesar di kota Medan ini dahulu dinamai Pasar Bundar, karena lokasi mula-mula pasar ini dimana bangunannya memang membentuk sebuah lingkaran tepatnya pada tahun 1915 dimana pasar ini dibuka di lokasi tugu Guru Patimpus kini berada. Karena kota Medan yang terus berkembang dari waktu ke waktu, lokasi itu dirasa kurang memadai. Sehingga pada tahun 1970, Pasar Bundar dipindahkan ke lokasinya saat ini berada yang kemudian hingga saat ini kita kenal dengan nama Pasar Petisah.

Pasar yang menjual berbagai macam kebutuhan sehari-hari ini, sudahlah tidak sama dengan pasar legendaris yang terkenal itu. Pembeli yang terlihat sepi, banyaknya bangunan yang kosong dan tidak terawat seakan-akan bertolak belakang dengan cerita lawas dari Pasar Petisah. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, mulai dari ketersediaan pilihan barang hingga harga yang lebih mahal dibandingkan harga yang ada di e-commerce meskipun telah terjadi proses tawar-menawar harga.

Adapun pengertian e-commerce menurut Laudon & Laudon adalah proses penjualan dan pembelian barang secara elektronik oleh konsumen, yang merupakan transaksi business-to-business dengan perantara computer, yakni menggunakan jaringan komputer. E-Commerce sendiri dapat dikatakan menjadi bagian yang sudah sangat dekat dengan masyarakat luas. Sebut saja Shopee, Tokopedia, hingga Lazada, pasti sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat. Kehadiran e-commerce ini sendiri dianggap pedagang sebagai mesin pembunuh bagi umkm yang terdapat di Pasar Petisah. Meskipun begitu, fenomena ini tak hanya dialami Pasar Petisah, namun juga banyak pasar tradisional lainnya di Indonesia.

Menurut pakar manajemen, Michael Porter, dalam teorinya tentang Five Forces Analysis, pasar tradisional menghadapi lima kekuatan besar yang mengancam kelangsungan hidup mereka. Pertama, ancaman dari pendatang baru, dalam hal ini e-commerce, yang menawarkan harga lebih murah, variasi produk lebih banyak, dan kemudahan berbelanja tanpa harus keluar rumah. Kedua, kekuatan tawar menawar pembeli semakin meningkat. Pembeli dimanjakan dengan berbagai pilihan platform e-commerce yang menawarkan diskon dan promo menarik, sehingga mereka memiliki daya tawar yang lebih tinggi terhadap harga. Ketiga, kekuatan tawar menawar pemasok juga meningkat. Pedagang di pasar tradisional umumnya memiliki akses terbatas terhadap pemasok, sehingga mereka terikat pada harga yang ditentukan oleh pemasok. Di sisi lain, platform e-commerce memiliki jaringan pemasok yang lebih luas, sehingga mereka dapat menegosiasikan harga yang lebih murah. Keempat, ancaman dari produk substitusi. Kehadiran e-commerce membuka peluang bagi munculnya produk-produk substitusi yang sebelumnya tidak tersedia di pasar tradisional. Hal ini semakin mempersempit pangsa pasar bagi para pedagang tradisional. Terakhir, persaingan antar sesama pedagang tradisional juga semakin ketat. Dengan jumlah pedagang yang semakin banyak, mereka harus bersaing keras untuk mendapatkan pelanggan.

Berdasarkan analisis Porter, kelangsungan hidup Pasar Petisah dan pasar tradisional lainnya membutuhkan strategi yang jitu untuk melawan gempuran e-commerce. Teori Blue Ocean Strategy yang dicetuskan oleh W. Chan Kim dan Renee Mauborgne menawarkan solusi yang tepat untuk mengatasi situasi ini.

Pasar tradisional perlu keluar dari zona persaingan merah yang penuh dengan persaingan ketat dan margin keuntungan yang tipis. Kuncinya adalah dengan menciptakan pasar biru baru, yaitu ruang pasar yang belum terjamah oleh e-commerce.

Berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan di Pasar Petisah, diantaranya:

  1. Fokus pada Keunikan dan Kearifan Lokal: Pasar tradisional memiliki keunikan dan kearifan lokal yang tidak dimiliki oleh e-commerce. Pasar Petisah, misalnya, terkenal dengan suasana tawar menawar yang khas dan keramahan para pedagangnya. Keunikan ini perlu dijaga dan dipromosikan sebagai daya tarik bagi para pengunjung.
  2. Kembangkan Layanan Personal dan Interaksi Sosial: E-commerce tidak dapat memberikan layanan personal dan interaksi sosial yang sama seperti pasar tradisional. Pasar Petisah dapat memanfaatkan keunggulan ini dengan menyediakan layanan seperti pembungkusan kado, jasa antar barang, dan tempat nongkrong bagi para pengunjung.
  3. Manfaatkan Teknologi Digital: Pasar Petisah perlu memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan sistem pembayaran digital, membangun platform online untuk berjualan, dan menggunakan media sosial untuk promosi.
  4. Ciptakan Komunitas dan Pengalaman Belanja yang Unik: Pasar Petisah dapat menyelenggarakan acara-acara khusus, seperti festival kuliner, pertunjukan seni, dan workshop, untuk menarik pengunjung dan menciptakan pengalaman berbelanja yang unik.
  5. Bekerjasama dengan E-commerce: Alih-alih bersaing dengan e-commerce, Pasar Petisah dapat menjalin kerjasama dengan platform e-commerce untuk memperluas jangkauan pasar mereka. Pedagang di Pasar Petisah dapat memasarkan produk mereka melalui platform e-commerce dan memanfaatkan layanan logistik yang disediakan.

Menyelamatkan Pasar Petisah dan pasar tradisional lainnya membutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak, baik pemerintah, pedagang, maupun masyarakat. Dengan strategi yang tepat dan kerjasama yang solid, bukan tidak mungkin pasar tradisional dapat beradaptasi dengan era digital dan kembali menjadi primadona bagi para konsumen.

Sebagai penutup, perlu diingat bahwa pasar tradisional bukan hanya tempat berbelanja, tetapi juga bagian dari budaya dan sejarah bangsa. Melestarikan pasar tradisional berarti melestarikan warisan budaya yang tak ternilai harganya.

Artikel ini adalah publikasi tugas mata kuliah Pekerjaan Sosial Internasional dengan Dosen Pengampu Fajar Utama Ritonga, S.Sos, M.Kesos.

Redaktur: Khaira Nazira

 


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

Keberagaman dan Implementasi Bhinneka Tunggal Ika

redaksi

HIPMI PT USU Akhiri Rangkaian Rekrutmen dengan Seminar Edukasi

redaksi

Peran Perusahaan Kehutanan (PBPH) dalam Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan

redaksi