SUARA USU
Uncategorized

Penanaman Pendidikan Karakter Sebagai Upaya Mencegah dan Mengurangi Kasus Bullying

Penulis: Nadila Ardhia Garini
Suara USU, Medan. Dewasa ini, kasus pembullyan semakin sering ditemukan di semua kalangan. Kekurangan yang ada di dalam diri seorang individu menjadi alasan pelaku pembully untuk melakukan bullying. Padahal kekurangan seseorang bukanlah menjadi ajang untuk dilakukan perundungan. Faktor lain dari kasus bullying juga dikarenakan “sang pembully” merasa dirinya hebat dan memiliki kuasa serta kekuatan sehingga ia bisa melakukan hal tersebut.
Di samping banyaknya kasus bullying, orang yang tidak peduli dan menganggap sepele akan kasus bullying juga sangat banyak ditemukan. Hal ini juga menjadi faktor pendorong kasus bullying semakin marak. Bahkan kasus bullying juga banyak ditemukan di lingkungan belajar.
Dampak dari adanya kasus bullying sangat mengkhawatirkan bagi korban yang mendapat perlakuan bullying. Dampak yang timbul sangatlah banyak. Korban dapat merasa trauma, malu, depresi, ketakutan, tidak percaya diri, sedih, merasa terasingkan, bahkan dapat berdampak menimbulkan keinginan bunuh diri bagi korban.
Seorang mahasiswi jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara tengah melakukan Praktik Kerja Lapangan II di ISCO Foundation. Indonesia Street Children Organization (ISCO) Foundation adalah suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memberikan fokus untuk membantu anak-anak miskin kota dalam memperoleh pendidikan serta memaksimalkan potensi mereka sebagai pribadi yang peduli, produktif, dan bertanggung jawab. ISCO Foundation adalah Yayasan atau Organisasi Non-Profit yang sudah berdiri sejak 1999. Berawal membantu 50 anak di dua wilayah di Jakarta, sekarang ISCO telah membantu lebih dari 2200 anak di 28 wilayah. Di antaranya ada 16 di Jakarta-Depok, 8 di Surabaya, dan 4 di medan.

ISCO Foundation memiliki sanggar kegiatan untuk anak-anak tersebut sebagai tempat aman mereka sebelum atau sesudah bersekolah. Anak-anak tersebut dimulai dari TK sampai SMA. Sanggar ini memiliki tujuan preventif agar anak-anak tersebut tidak bermain serta bekerja di jalan. Sanggar kegiatan anak ini memiliki aktivitas yang berfokus untuk mengembangkan kreativitas pada anak, interaksi positif, dan pembelajaran di luar sekolah. Di sanggar ini sering melakukan berbagai kegiatan yang melibatkan interaksi antar anak. Sehingga semua anak melakukan berbagai interaksi untuk melakukan kegiatan yang mereka buat. Namun dalam berinteraksi, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat beberapa anak tanpa sadar melakukan ejek-ejekan. Entah itu ketika sedang belajar, bermain ataupun ketika bercanda. Dan kasus tersebut pada dasarnya sudah termasuk kategori bullying. Ejek-ejekan yang dilakukan anak sebenarnya masih terbilang masih dapat dikatakan bullying-bullying kecil. Namun, kita tidak pernah tahu bagaimana anak yang diejek merespon ejekan tersebut. Entah dia menjadi sedih, marah, dendam, atau biasa saja. Namun terlepas dari itu, kasus ejekan yang kecil dapat berpeluang besar menjadi kasus bullying yang besar sampai bahkan bullying fisik dan lainnya.

Mahasiswi tersebut memilih lokasi PKL di ISCO Medan Polonia yang berlokasi di Jl. Starban Gang. Sawah, Kelurahan Polonia, Kecamatan Medan Polonia. Dalam melakukan PKL II ini, ia juga sembari melakukan Praktik Pekerjaan Sosial di tempat ia melakukan PKL II. Sebelum melakukan dan menjalankan praktik pekerjaan sosial tersebut, ia telah melakukan observasi terlebih dahulu.
“Ternyata dalam kelompok teman bermain dan belajar di rumah sanggar tersebut, ada beberapa anak pembully dan anak yang menjadi korban bully. Bullying yang mereka lakukan sebenarnya hanya ejek-ejekan biasa. Namun, saya memiliki kekhawatiran jika hal tersebut masih terus dilakukan, akan dapat terjadi bullying yang lebih parah dari ini,” ujarnya.

Dalam melakukan praktik pekerjaan sosial tersebut, terdapat beberapa tahapan yang dilakukan seperti:

1. Engagement, Intake dan Contract
Pada tahapan ini merupakan tahapan awal mula mahasiswi terhubung secara langsung dengan klien. Klien tersebut adalah anak sanggar ISCO yang merupakan Siswa SD dari kelas 3-5 kurang lebih sebanyak 12 orang. Mahasiswi memulai tahap ini dengan cara mulai membangun hubungan dengan mengobrol dengan klien dan saling memperkenalkan diri. Tetapi pada awal perkenalan ini, anak-anak sanggar yang merupakan klien masih sangat kaku dan bahkan ada sama sekali anak yang enggan berbicara. Lalu kemudian ia mencoba menjalin relasi yang lebih nyaman dan fleksibel sehingga anak-anak tidak merasa canggung. Hal ini bertujuan agar klien nyaman sehingga timbul rasa kepercayaan di dalam diri klien untuk dapat bercerita dan memberikan informasi terkait masalah yang akan dibahas ke depannya. Pada tahap ini, mahasiswi memulai dengan berkenalan kepada seluruh klien dengan menanyakan “siapa namanya?”, “sekolah dimana dan kelas berapa?”, “hobby-nya apa?”, dan pertanyaan-pertanyaan umum lainnya. Lalu dilanjut dengan membahas hobby-hobby yang telah mereka sebutkan. Mahasiswi bertanya “apa yang membuat hal tersebut dapat menjadi hobby kalian?”, “kapan kalian sering melakukannya?”, dan lain-lain. Seiring berjalannya pembicaraan, para anak-anak sanggar yang dijadikan klien tersebut sudah mulai nyaman. Terlihat perbedaannya dengan saat pertama ketika diajak mengobrol. Tak lupa sedikit menanyakan apakah di kelompok mereka sering terjadi konflik dan menjadi masalah yang serius. Lambat laun dari hasil pendekatan di tahap ini, dapat disimpulkan masalah-masalah yang sering terjadi di kelompok mereka. Pendekatan di tahap ini dilakukan kurang lebih 1 minggu untuk menimbulkan rasa nyaman dan aman di kelompok tersebut guna melancarkan kegiatan ke depannya.

2. Assessment
Pada tahap ini, mahasiswi mulai membahas kembali mengenai konflik yang pernah mereka katakan di tahap sebelumnya. Mereka menjelaskan berbagai konflik yang sering terjadi di dalam kelompok mereka. Ada beberapa permasalahan yang terjadi. Beberapa diantara permasalahan tersebut terdapat salah satu masalah yang sangat penting untuk dibahas, yaitu bullying. Ternyata anak-anak sanggar sering melakukan bullying. Tetapi ketika dibahas lebih dalam, mereka menyadari bahwa itu adalah ejekan dan merupakan hal yang buruk namun mereka tidak mengetahui bahwa itu termasuk ke dalam kasus bullying dan memiliki dampak yang berbahaya dan merugikan korban. Mereka mengatakan bahwa sampai saat ini, mereka masih minim akan pengetahuan umum maupun literasi terkait bullying serta bahaya yang timbul dari kasus tersebut.
Ketika dilakukan assessment, anak-anak di dalam kelompok tersebut ada yang menjadi korban dan ada pula yang menjadi pelaku. Bahkan korban bullying di dalam kelompok tersebut dapat pula menjadi pelaku. Begitu juga sebaliknya. Namun ada juga korban dari bullying tersebut memilih diam dan tidak mau membalas.
Dalam tahapan ini, mahasiswi mengajak anak-anak sanggar yang menjadi klien untuk membahas lebih lanjut mengenai bullying yang terjadi di dalam kelompok mereka. Mahasiswi kali ini menggunakan Metode Focus Group Discussion (FGD) dengan analisis Strength, Weakness, Opportunities, Threats (SWOT).
Pada saat melakukan FGD, mahasiswi banyak menanyakan sebarapa jauh mereka mengetahui bullying dan contoh-contoh kasus bullying. Ternyata ketika mereka sadar bahwa perilaku ejek-ejekan termasuk kasus bullying, mereka makin menyadari bahwa kasus bullying banyak terjadi di sekitar kehidupan sosial mereka seperti di sekolah, rumah dan lingkungan bermain. Mahasiswi juga menanyakan terkait bagaimana sikap mereka ketika mereka menghadapi kasus bullying ketika mereka menjadi korban ataupun orang yang melihat kasus tersebut.


Lalu dilanjutkan dengan menganalisis masalah menggunakan analisis SWOT. Ditemukan hasil analisis sebagai berikut:

  • Strength: Adanya komunitas yang dapat memberikan dukungan dan bersama sama berubah ke arah yang lebih baik dan adanya tutor sanggar yang memberikan pendidikan karakter untuk pencegahan adanya bullying untuk ke depannya.
  • Weakness: Kurangnya kesadaran anak-anak sanggar dan orang terdekat dalam menyadari dampak negatif dari kasus bullying. Kurangnya dialog dan pemahaman terkait bullying.
  • Opportunities: Terdapat pencegahan melalui peran orang tua dalam membantu anak untuk mencegah terjadinya kasus bullying.
  • Threats: Orang-orang di luar kelompok sanggar meanggap remeh dan sepele akan kasus bullying dan kehadiran sosial media yang menjadi berpeluang besar dalam timbulnya cyber bullying secara anonim dengan sangat mudah.

Keterangan di atas merupakan penjelasan dari hasil diskusi yang menggunakan Teknik FGD dan menggunakan Analisis SWOT. Penjelasan tersebut memberikan hasil untuk mengetahui apa saja kekuatan, kelemahan, peluang, serta ancaman yang mungkin akan timbul ketika program penyelesaian masalah diimplementasikan. Hasil analisis SWOT ditemukan berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan.

3. Planning
Tahap ini mahasiswi dan anak-anak sanggar bersama mencari program atau strategi penyelesaian permasalahan apa yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di dalam kelompok mereka. Kali ini mahasiswi memberikan kebebasan kepada setiap anak untuk berbicara serta memberikan ide tentang program seperti apa yang dapat dijalankan guna menyelesaikan permasalahan dalam kelompok. Mahasiswi membuat cara seperti ini agar mereka lebih bebas berpikir dan berekspresi agar mereka mengetahui penyelesaian apa yang memang benar-benar cocok untuk dilakukan sesuai dengan kapasitas dan kemampuan mereka. Sehingga jika permasalahan ini muncul kembali setelah dilakukan terminasi, klien dapat dengan mudah menentukan dan berpikir mandiri untuk membuat kembali program dalam menyelesaikan permasalahan.
Di tahap ini klien harus berperan lebih besar untuk menentukan program penyelesaian masalah karena pada dasarnya dalam praktik pekerjaan sosial, sang klien harus menyadari akan adanya masalah tersebut dan urgensi untuk menyelesaikannya. Dan dalam penentuan program penyelesaian masalah, klien berperan lebih besar memilih dan menentukan program yang sesuai dengan kemampuan mereka tanpa ada unsur paksaan dari praktikan. Sehingga klien tidak dapat menuntut sang praktikan atas program yang dijalankan apabila program tersebut pada akhirnya memberatkan ataupun merugikan klien. Peran praktikan di sini hanya menjadi penasihat dan penilai serta teman sharing terkait ketika program sedang dirancang.
Pada masalah kali ini, mahasiswi bersama klien telah menentukan hal-hal apa saja yang dapat membantu untuk mencegah bullying. Hasil tersebut diperoleh pasa saat dilakukan FGD. Setiap anak diberikan secarik kertas dan menuliskan masing-masing nama mereka. Lalu mereka menuliskan hal hal apa saja yang dapat menjadi pencegah kasus bullying agar tidak terjadi lagi di kelompok mereka. Akhirnya setelah dilakukan FGD yang memakan waktu kurang lebih 25 menit, diperoleh hasil yang selanjutnya akan menjadi program dalam penyelesaian masalah kelompok mereka, yaitu:

  • Memberikan hukuman kepada pelaku bullying setiap kali mereka melakukan bullying, terutama di sekitar sanggar.
  • Belajar pendidikan karakter bersama tutor di sanggar guna membangun individu berkarakter agar mencegah anak menjadi pelaku bullying.
  • Mencari pengetahuan umum terkait bullying dan bahayanya. Pada kesempatan kali ini, mahasiswi akan membuat suatu sosialisasi mengenai bullying beserta dampak dan bahayanya.

4. Intervensi
Tahap ini adalah tahap di mana klien yang didampingi mahasiswi mengimplementasikan program yang telah disetujui di tahap sebelumnya. Pada awal dilaksanakannya tahap intervensi, mahasiswi yang juga sebagai praktikan memulai tahap intervensi dengan melaksanakan sosialisasi dengan tema “Stop Bullying”. Di dalam sosialisasi tersebut, dibahas mengenai apa itu bullying, apa saja jenis bullying, apa dampak bagi korban serta apa dampaknya bagi pelaku. Dalam sosialisasi ini mahasiswi juga memberikan contoh-contoh bullying yang pernah ada di lingkungan sekitar. Tak lupa membahas mengenai bagaimana cara yang mudah yang dapat dilakukan ketika mereka menjadi korban bullying ataupun ketika melihat ada pembullyingan yang sedang terjadi.
Selanjutnya, mereka melaksanakan pembelajaran pendidikan karakter yang dibantu tutor sanggar. Dalam penanaman pendidikan karakter ini, mereka banyak diajarkan bagaimana caranya menghargai, berpendapat, serta menerima pendapat teman dan orang lain. Mereka juga belajar bagaimana caranya bertoleransi dan berkomunikasi dengan baik.
Terakhir, untuk implementasi “pemberian hukuman kepada pelaku bullying”. Ternyata setelah dilakukan 2 program tersebut, anak-anak sanggar yang biasanya sering melakukan bullying, lambat laun semakin berkurang. Namun, tak dapat dipungkiri masih ada bullying-bullying kecil yang spontan mereka lakukan tanpa sadar. Oleh karena masih ada anak-anak yang melakukan bullying, maka pemberian hukuman dijalankan. Ada beberapa anak yang tanpa sengaja spontan melakukan bullying dan mereka diberi hukuman seperti menyapu sanggar dan mencuci piring mereka setelah mendapat asupan dari sanggar. Karena hal ini juga kasus bullying di dalam kelompok mereka kian mengurang. Tapi tetap masih ada anak yang melakukan bullying terlebih lagi ketika sudah tersulut emosi.

5. Monitoring
Pada tahap monitoring, mahasiswi yang sebagai praktikan mengawasi jalannya program yang diimplementasikan klien. Pada fase ini praktikan harus sering memantau berjalannya program. Apakah program yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah berjalan lancar atau malah menimbulkan permasalahan baru. Klien dapat membuka sesi untuk sharing tentang sejauh mana program yang sudah mereka lakukan. Adakah perubahan, apakah tidak berubah atau malah memperburuk kondisi di dalam kelompok mereka. Namun ternyata, program yang mereka lakukan berjalan sangat lancar dan tidak menimbulkan masalah baru.

6. Evaluasi
Tahap evaluasi dilakukan untuk menilai apakah program dalam penyelesaian masalah berjalan bagus. Pada praktik pekerjaan sosial ini, program yang dijalankan dapat dikatakan cukup berhasil. Hal itu terlihat saat ketiga program tersebut dijalankan, kasus bullying dalam kelompok anak yang dijadikan klien sangat mengurang. Walau tetap masih ada anak yang melakukan bullying. Namun jika dibandingkan dengan sebelum praktik pekerjaan sosial dilakukan, kasus bullying sudah sangat jarang dilakukan mereka. Oleh karena itu, program yang dijalankan dalam penyelesaian masalah dikatakan berhasil.

7. Terminasi
Setelah dilakukan tahap evaluasi dan program telah berhasil menyelesaikan masalah, maka tahap terminasi dilakukan. Mahasiswi yang juga sebagai praktikan memutuskan hubungan dalam pemberian pelayanan kepada klien. Pemutusan hubungan ditandai dengan keberhasilan program yang telah dilakukan.

Setelah program dilakukan dan berjalan, mahasiswi melihat banyak perubahan dan respon yang baik dari anak-anak sanggar yang dijadikan klien. Mereka sekarang lebih merangkul dan sudah mengurangi bullying kepada sesama teman. Interaksi sosial yang terjadi di dalam kelompok mereka menjadi lebih positif. Mahasiswi berharap agar anak-anak tersebut terus melakukan perubahan yang baik guna menerapkan Pendidikan karakter sebagai bagian pencegahan bullying di lingkungan sekitar.
Artikel ini adalah publikasi tugas mata kuliah Praktik Kerja Lapangan II dengan Dosen Pengampu: Fajar Utama Ritonga S. Sos., M. Kesos.
Redaktur: Yohana Situmorang


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

Mengungkap Renewable Energy Program: Perjalanan Mahasiswa Independen Dalam Bidang Energi Terbarukan di AMATI Indonesia

redaksi

Merajut Toleransi Perbedaan Agama dalam Berburu Takjil di Bulan Ramadan

redaksi

Mahasiswi Kesejahteraan Sosial USU Gunakan Metode Psikodinamik untuk Kuatkan Ikatan Keluarga WBP

redaksi