SUARA USU
Opini

Politik Kampus Representasi Politik Indonesia

sumber: https://kumparan.com/

Penulis: Muhammad Halim

Suara USU, Medan. Dinamika kehidupan kampus yang penuh dengan warna selalu menarik untuk dibahas, begitupun dengan dinamika politiknya. Politik kampus selalu menjadi perbincangan hangat antar mahasiswa dan sudah menjadi rahasia umum atmosfir kompetisinya mirip-mirip dengan politik Indonesia. Struktur pemerintahan mahasiswa yang terpusat di BEM (Badan Eksekutif Mahasisswa) dan pemimpin tertingginya di sebut ketua BEM atau presma (presiden mahasiswa) sistem pemilihannya juga melalui sistem voting yang melibatkan semua mahasiswa di universitasnya. Sistem ini sama dengan pilpres yang ada di Indonesia. Dilansir dari laman kumparan, banyak sejumlah kalangan yang menyatakan bahwa kampus merupakan miniatur negara, struktur organisasi mahasiswa di dalam kampus hampir sama dengan struktur pemerintahan Indonesia–meskipun tidak secara mutlak.

Sebagai contoh, USU sendiri memiliki organisasi tingkat universitas sebagai lembaga legislatif tertinggi didalam organisasi mahasiswa USU yang bernama Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Universitas (MPMU). Sedangkan untuk lembaga eksekutif nya disebut PEMA USU yang kini sudah berubah menjadi BEM USU. Pertanyaannya apakah organisasi-organisasi diatas benar-benar mewakili mahasiswa? Atau hanya mewakili kelompok tertentu? Atau bahkan dititik terparah hanya mewakili ambisi dan kepentingan kelompoknya sendiri.

Jika melirik iklim poltik di Indonesia, atmosfir kontestasinya yang penuh huru-hara bisa kita rasakan sendiri. Para elit pejabat politik membentuk kubu (koalisi) dan saling sikut menyikut demi mendapatkan suara untuk meraup kekuasaan. Tidak jarang partai politik yang isinya hanya dari kelompok tertentu ketika mereka berhasil berkuasa, keputusan-keputusan yang dihasilkan jusrtu hanya menguntungkan kelompoknya dan hanya dapat dinikmati segelintir orang saja. Begitu juga yang kerap kali terjadi dengan dinamika politik kampus, setiap pemira akan dilaksanakan mahasiswa akan berkoalisi membentuk kubu utuk menunjuk calon presma yang akan diusung, setiap calon presma yang diusung akan berkampanye untuk meraup suara mahasiswa ditiap fakultas. Masing-masing kubu juga memiliki timses, yang fungsi nya membantu kampanye secara masif dan menaikkan elektabilitas calon presma yang di usung untuk mengkordinir suara mahasiswa agar memilih jagoannya.

Hal yang sudah lumrah terjadi di politik Indonesia terjadi juga di politik kampus, konflik antar kubu, saling sikut menyikut, saling jegal menjegal, pelanggaran ketika berkampanye, sampai kecurangan-kecurangan dalam pemira juga tidak bisa dihindari. Ini yang membuat kita sebagai mahasiswa kadang berfikir politik kampus adalah representasi dari politik Indonesia, jika di kontestasi politik nasional terdapat pelanggaran ketika kampanye, seperti menggunakan fasilitas negara, atau dibantu dengan trik-trik licik penegak hukum, begitu juga yang terjadi di kampus. Para kontestan kampus biasanya meminta teman atau saudara yang berada di UKM-UKM untuk mengampanyekan dirinya, atau adanya dukungan dari pihak rektorat terhadap salah satu calon tertentu. Peristiwa seperti ini sudah banyak sekali terjadi, alhasil kontestasi jadi sudah tidak fair lagi, dan nyatanya memang seperti itu.

Kampus lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat mahasiswa untuk belajar tata cara berpolitk yang legal, justru kita mahasiswa malah dipertontonkan tata cara berpolitik yang melanggar aturan dan hukum. Suka tidak suka kata representasi bisa dibilang benar, didukung dengan kemiripan situasi yang terjadi antara politik Indonesia dengan politik kampus. Cawe-cawe jabatan juga terjadi lingkungan kampus, korupsi anggaran kegiatan sudah menjadi hal yang lumrah. Mahasiswa yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin bangsa generasi selanjutnya, jika di kampus saja sudah di perlihatkan cara kotor untuk meraih kekuasaan, sangat ditakutkan ketika hendak menduduki kursi pemerintahan negara menggunakan cara yang sama. Langkah preventifnya adalah sebagai mahasiswa kita tidak boleh apatis terhadap sistematika politik kampus. Jika di skala nasional kita sebagai masyarakat selalu memantau pesta demokrasi yang terjadi di setiap pemilu dan ikut mengawal sistematika politiknya. Kini dilingkup terkecilnya di kampus, Mahasiswa juga harus ikut berpartisipasi dipesta demokrasi setiap pemira dilaksanakan dan ikut memantau sistematika politknya agar terciptanya linkungan kampus yang bersih dari KKN.

Sebaliknya jika mahasiswanya saja sudah apatis maka sitematika yang terjadi akan jauh dari kata suci. Hilanganya pantauan dari mahasiswa nya sendiri akan membuat sistematika politiknya penuh dengan skema-skema licik dan kotor alhasil dinamika yang terjadi penuh dengan huru-hara dan perpecahan, dari sini produk yang dihasilkan akan jauh dari kata baik. Efeknya ketika mahasiswa itu melanjutkan karirnya dengan memasuki dunia politik di skala nasional untuk menggapai kursi pemerintahan menggunakan cara yang jauh dari standar hukum, dan yang terjadi dengan dunia perpolitikkan di Indonesia saat ini adalah produk gagal dari politik kampus.

Dampaknya banyak pejabat-pejabat negara kita yang melakukan tindak korupsi secara masal. Ini sesuai dengan pernyataan Nurul Gufron salah satu petugas KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dikutip dari website CNN. “Ada data yang menunjukkan 86 persen koruptor yang di tangkap KPK adalah lulusan perguruan tinggi, tentu ironis sekali.” kata Nurul Ghufron dalam kuliah umum yang digelar di Universitas Jember, Jawa Timur, Jumat (22/10/2021). Sampai saat ini dari semua yang telah dibahas adalah benar jika politik kampus adalah representasi dari politik Indonesia, dan untuk mengubah stigma itu kampus dan mahasiswa harus bekerja sama. Mahasiswanya berpartisipasi dan memantau sedangkan kampus menjadi dewan pengawas sekaligus pembina bagi mahasiswanya.

Redaktur : Grace Pandora Sitorus

 

 


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

Ketidakjelasan Pelaksanaan Kongres Mahasiswa USU

redaksi

Jaket Almamater USU 2020/2021 Ada Apa ?

redaksi

Agama Minoritas dan Agama Mayoritas ?

redaksi