SUARA USU
Opini

Terancamnya Nasib Masyarakat Adat di Tengah Mega Proyek IKN

Oleh: Putri Adliani Sianturi

Suara USU, Medan. Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan tentu akan menimbulkan persoalan terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal di sekitar kawasan IKN yang sudah turun temurun mempertahankan eksistensinya sejak generasi awal.

Melansir data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), diperkirakan bahwa 200.000 lebih yang terdiri dari 19 komunitas adat di Penajam Paser Utara dan dua kelompok adat di Kutai Kartanegara akan menjadi korban pembangunan IKN. Kelompok ini akan semakin terpinggirkan dan sulit bertahan hidup karena mata pencahariannya bergantung pada hasil hutan, kebun, sungai, dan laut.

Eksistensi masyarakat adat di kawasan IKN menjadi sorotan karena minimnya partisipasi mereka dalam pemindahan IKN. Presiden Jokowi memang mengundang beberapa tokoh adat tetapi keberadaan mereka mendapatkan resistensi karena dianggap tidak mewakili masyarakat adat secara keseluruhan.

Dilansir dari laman aman.or.id menyebutkan bahwa pemerintah tidak melibatkan masyarakat adat, khususnya perempuan adat untuk duduk bersama membahas IKN yang berdampak pada kelansungan hidup masyarakat adat. Dengan kata lain masyarakat adat seperti dianggap tidak penting keberadaannya.

Ada kekhawatiran pada masyarakat adat jika mereka digusur dan direlokasi dari tempat tinggalnya saat ini, karena tidak mudah untuk memulai kehidupan baru serta berpisah dari tetangga dan keluarga yang menjadi kerabatnya sejak lama. Mereka tidak ingin tercerabut begitu saja dari sejarah dan identitasnya. Saat ini, seluruh masyarakat di sana hidup dalam ketidakpastian karena tanah yang mereka tempati berstatus hak ulayat alias tanah adat, yang tak bersertifikat. Ketiadaan pengakuan hak atas tanah adat tentunya akan menciptakan konflik dan ketimpangan penguasaan sumberdaya.

Lebih dari itu, tantangan ke depan yang akan dihadapi adalah ancaman pudarnya budaya setempat. Jika masyarakat lokal menjadikan modernitas para pendatang sebagai referensi baru, ketimbang menawarkan budayanya kepada para pendatang justru akan mengancam lenyapnya budaya lokal. Hal ini dapat terjadi lantaran masyarakat lokal tidak memiliki daya tawar yang cukup untuk menghadapi arus gelombang budaya kosmopolitan yang diiringi dengan gelombang besar-besaran dari Jakarta.

Tantangan lain, kesenjangan antara masyarakat lokal dan pendatang pada skala tertentu bisa mengakibatkan konflik. Kesenjangan ini bisa terjadi dalam banyak hal seperti akibat perbedaan kualitas SDM yang menyangkut pendidikan, kondisi  ekonomi, keterampilan (skill) dan keberpihakan pemerintah. Pada umumnya, masyarakat pendatang dari luar IKN memiliki kualitas yang lebih unggul dalam hal pendidikan, keterampilan, dan etos kerja.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah harus menjamin secara maksimal peran masyarakat adat sebagai subjek atau pihak yang dilibatkan baik dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan IKN tanpa ada pihak yang dirugikan. Pemerintah juga perlu menyediakan akses informasi yang jelas dan transparan, menerapkan prinsip adil dalam proyek IKN, serta memberi perlindungan dan jaminan hak-hak masyarakat adat dalam tanah komunal.

Selain itu, masyarakat lokal perlu dibekali program pemberdayaan masyarakat (community empowerment program) sebagai upaya untuk membangkitkan dan mengembangkan potensi masyarakat setempat, serta memandirikan masyarakat terutama dari keterbelakangan, kesenjangan dan ketidakberdayaan.

Redaktur: Tamara Ceria Sairo


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

Memilih MKWU dengan Sistem War, Apakah Sesuai Minat?

redaksi

Euforia dan Keluh Kesah Persiapan Natal Mahasiswa di USU

redaksi

Ramadan, Bulan Seribu Pengalaman

redaksi