(Sumber: disdikbud.acehtengahkab.go.id)
Reporter: Chairani
Suara USU, Medan. Ki Hajar Dewantara, memiliki nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat merupakan seorang priyayi, aktivis kemerdekaan Indonesia, guru, politisi, dan pelopor pendidikan kaum pribumi Indonesia dari masa kolonial Belanda. Lahir pada 2 Mei 1899 di Yogyakarta, Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai pelopor pendidikan rakyat Indonesia dengan visi yang revolusioner dalam menciptakan pendidikan yang inklusi dan bebas, terutama bagi rakyat jelata yang pada saat itu terpinggirkan oleh sistem kolonial.
Ki Hajar Dewantara yang merupakan turunan Bangsawan Jawa memilih memperjuangkan hak-hak rakyat kecil terutama dibidang Pendidikan. Ia mengawali kariernya sebagai jurnalis di berbagai surat kabar, seperti Sediotomo, Midden Jawa, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Thahaja Timoer, dan Poesara. Melalaui tulisan-tulisannya yang komunikatif dengan gaya bahasa yang lugas tetapi penuh makna, ia sering mengkritik pemerintah kolonial Hindia Belanda yang tidak adil pada pribumi. Salah satu tulisannya yang terkenal adalah “Als ik een Nederlander was” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Seandainya Aku Seorang Belanda” yang dimuat dalam surat kabar De Express di mana ia mengkritik keras para pemerintah Hindia Belanda yang berniat mengumpulkan sumbangan dari pribumi untuk perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis pada tahun 1913. Akibat tulisan tersebut, dia ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Namun, kedua rekannya, Multatuli dan Tjipto Mangoenkoesoemo memprotes dan akhirnya mereka bertiga dikenal sebagai “Tiga Serangkai” yang diasingkan ke Belanda.
Selama di pengasingan, Ki Hajar Dewantara mendalami bidang filsafat dan pendidikan. Sekembalinya ke Indonesia, ia mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Institusi ini menjadi tonggak penting dalam sejarah pendidikan nasional karena menawarkan pendidikan berbasis budaya Indonesia, menanamkan nilai-nilai kebangsaan, dan terbuka untuk semua kalangan tanpa memandang status sosial. Taman Siswa menekankan filosofi pendidikan yang dikenal sebagai Tri-Nga (pemahaman), Ngroso (perasaan), dan Nglakoni (pengalaman). Selain itu, ia memperkenalkan konsep pendidikan yang semboyannya terkenal sampai saat ini yaitu “Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani” yang berarti “Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan”
Atas jasa-jasanya dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia, Ki Hajar Dewantara dianugerahi gelar Bapak Pendidikan Nasional Indonesia oleh Presiden Soekarno, dan tanggal kelahirannya, 2 Mei, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Warisan terbesar Ki Hajar Dewantara adalah pandangannya bahwa pendidikan harus membebaskan manusia, bukan sekedar sarana pengajaran. Ia percaya bahwa pendidikan adalah hak setiap orang, bukan hak istimewa yang hanya dapat dinikmati segelintir orang saja.
Ki Hajar Dewantara wafat pada 26 April 1959 tetapi gagasan-gagasannya masih relevan dan digunakan hingga saat ini. Institusi Taman Siswa yang ia bangun masih eksis dan menjadi simbol perjuangan pendidikan di Indonesia yang berbasis pada kebangsaan dan kemanusiaan. Melalui dedikasi dan kontribusinya, Ki Hajar Dewantara bukan hanya meletakkan dasar pendidikan modern di Indonesia, tetapi ia juga memberikan teladan bagaimana pendidikan dapat menjadi alat perjuangan untuk mencapai keadilan sosial dan pembebasan rakyat.
Redaktur: Dinda Ratu Nayla
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.