Sumber: https://jurnal.staijm.ac.id/ojs/index.php
Oleh: Desi Natalia Pasaribu
Suara USU, Medan. Warisan kuliner asal Sumatra Utara tidak ada habisnya. Dengan keberagaman akan makanan khasnya, menjadikan Sumatra Utara bak surganya makanan. Salah satu makanan khas dari suku Melayu Deli yaitu manisan halua. Manisan legendaris asal Langkat, Sumatra Utara ini selalu sukses membuat ketagihan dengan cita rasanya yang unik. Tapi, Sobat Suara USU tahu tidak bahwa camilan manis ini ternyata menyimpan sejarah panjang dan nilai budaya yang tinggi? Yuk, kita cari tahu lebih banyak tentang manisan halua!
Warisan budaya tak benda yang satu ini sudah melegenda sejak zaman kesultanan di pesisir timur Sumatra. Dahulu, makanan ini sering dihidangkan oleh sultan-sultan dan kaum bangsawan pada acara-acara penting atau peringatan hari besar di kalangan kesultanan dan para tetamu kesultanan. Manisan halua dianggap sebagai hidangan istimewa dan memiliki makna kemakmuran. Secara etimologi, kata “halua” berasal dari bahasa Arab, yaitu halwa yang bermakna manisan. Kata ini diserap dari bahasa Arab, yang bukan tanpa sebab, pengaruh Islam yang sangat kuat pada masyarakat Melayu. Dikarenakan bagi masyarakat Melayu, Islam merupakan asas utama kebudayaan Melayu, seperti yang terdapat dalam ungkapan “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah.” Ini bermakna bahwa semua aspek kehidupan manusia didasarkan pada hukum Allah. Segala bentuk adat, cara berpikir, kesenian, tradisi, dan semua aspek kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia harus benar-benar sesuai dengan ajaran Islam.
Pada umumnya, manisan halua yang disajikan adalah kolang-kaling, asam gelugur, pepaya, kundur, daun pepaya, wortel, buah renda, cabai, dan buah kecapung. Namun, saat ini ada berbagai jenis buah dan sayuran yang diolah menjadi manisan halua, seperti pare, buncis, kacang panjang, terong, timun, arcis, jagung muda, dan lain-lain. Pemilihan buah dan sayur yang memiliki cita rasa asam, hambar, dan pahit memiliki filosofi bahwa kehidupan yang kita jalani akan manis pada akhirnya.
Manisan halua juga menjadi salah satu buah tangan yang diberikan ketika seseorang bertamu ke rumah orang yang lebih tua sewaktu berkunjung pada hari Lebaran. Biasanya masyarakat Melayu ketika berkunjung ke rumah orang yang lebih tua akan membawa rantang/wadah yang di dalamnya berisi kue kering dan manisan halua. Hal ini pulalah yang menyebabkan ketika menjelang hari raya Idulfitri, permintaan terhadap manisan halua sangat meningkat.
Selain buah atau sayur, bahan utama pembuatan manisan ini adalah gula. Konon, manisan halua ini terdapat kemiripan dengan makanan Tionghoa. Menurut sejarah, gelombang migrasi orang-orang Tionghoa menghantarkan budaya mereka dalam pembuatan minuman hasil dari fermentasi seperti minuman sari tebu serta pembuatan gula aren. Dengan cita rasa manis yang berasal dari buah dan gula inilah yang membuat manisan halua dikatakan memiliki kemiripan dengan makanan Tionghoa.
Dalam pembuatannya juga membutuhkan kesabaran, buah ataupun sayur yang sudah dicuci bersih selanjutnya akan direndam dengan larutan gula pasir selama 30 hari. Untuk penyajiannya, akan ditata semenarik mungkin pada sebuah piring atau baki. Tak hanya keahlian dalam menatanya saja yang harus menarik, tetapi bagi masyarakat Melayu di Langkat memiliki daya tarik sendiri dengan mengukir motif flora ataupun fauna. Motif flora biasanya berupa bunga dan untuk fauna bermotif itik ataupun semut.
Dengan sejarahnya yang panjang dan cita rasanya yang khas, manisan halua tidak hanya sekadar camilan, tetapi juga menjadi bagian penting dari warisan budaya Indonesia. Semoga keberadaan manisan halua dapat terus dilestarikan dan semakin dikenal oleh masyarakat luas.
Redaktur: Yuni Hikmah
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.