Reporter: Zahra Zaina Rusty
Suara USU, Medan. Kota Medan sebagai ibukota Sumatera Utara menjadikannya kota yang padat akan penduduk, lengkap dengan lalu lintas yang ramai dan kendaraan yang tak terhitung jumlahnya. Disetiap kendaraan dilengkapi dengan fitur kecil “klakson” yang ditengah kota Medan ini bukan sekedar fitur kecil.
Pada dasarnya, klakson diciptakan sebagai alat komunikasi untuk memberi peringatan dalam situasi darurat. Namun, di Medan, fungsinya sering bergeser. Pengendara menggunakan klakson sebagai ekspresi frustrasi, ketidaksabaran, atau bahkan dominasi di jalanan. Hal ini terlihat jelas di lampu merah, di mana waktu tunggu yang hanya beberapa detik sering dianggap terlalu lama.
Ketika berada di lampu merah, disaat hitungan mundur masih di angka 5, berisik nyaring klakson dari arah belakang meramaikan, seolah sedang berlomba milik siapa yang paling lantang, apa sebenarnya yang sedang dikejar?. Namun, klakson tidak hanya berbunyi ketika pergantian ke hijau, bahkan disaat lampu masih merah pun sering diiringi “orkestra” bawaan kendaraan memerintah untuk menyingkir. Padahal, pengendara di depan jelas tidak bisa bergerak hingga lampu berubah hijau. Ironisnya, klakson tetap berbunyi, seolah-olah hambatan akan hilang hanya dengan tekanan klakson.
Jika diuraikan penyebabnya mungkin jumlah kendaraan pribadi, yang mana kebanyakan masyarakat Medan tetap memilih menggunakan kendaraan pribadi daripada transportasi umum, berimbas pada penuhnya ruas jalan. Mungkin juga pengaruh budaya masyarakat Medan yang telah diwariskan setiap generasinya, soal mentalitas to the point demi efisiensi. Sayangnya mentalitas ini sebaiknya tidak diterapkan di jalanan, dimana lampu hijau baru menyala sedetik, klakson. Yang di depan terlambat narik gas setengah detik, klakson.
Atau mungkin Kurangnya pemahaman akan fungsi sebenarnya klakson juga menjadi penyebab utama. Pengendara di depan tentu tidak berhenti karena ingin berhenti, jika memungkinkan untuk melaju, mereka pasti akan melakukannya bukan.
Masyarakat sering lupa, kalau bising yang dihadirkan klakson miliknya itu menghadirkan efek jangka panjang, apalagi bagi mereka yang tidak terbiasa dengan suara keras, bagi mereka yang tempat tinggalnya di sekitar lampu merah. Kehadiran soundtrack berlangganan dijalanan ini menjadi alarm yang tidak bisa dihentikan, menyumbang polusi suara dan mengganggu kenyamanan.
Klakson memang dihadirkan untuk menjadi alat komunikasi di kendaraan, tapi penggunaan yang tidak tepat memberikan gangguan yang tidak bisa dianggap sekedar angin lalu bagi kehidupan sekitar. Penting untuk mengetahui situasi yang benar kapan alat komunikasi itu pantas digunakan. Mari berhenti menjadikan klakson sebagai simbol dominasi di jalanan Medan.
Rasa tidak sabar ini, tidak jarang menghadirkan pelanggaran lalu lintas, bahkan warna-warni lampu hanyalah penghias. Berbondong-bondong menerobos jalanan pada giliran yang lain, padahal semua dapat jatah jalanan yang sama. Mungkin mereka luput, lampu merah bukan sekadar alat pengatur lalu lintas. Ini adalah pelajaran untuk menghargai waktu, kesempatan, dan ruang bagi sesama pengguna jalan.
Redaktur : Evita Sipahutar
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.