Penulis: Muhammad Fadhlan Amri
Gambar: Pilarmalut.id
SuaraUSU, MEDAN. Miras atau minuman keras memang begitu kontradiktif terutama dengan kultur masyarakat Indonesia sebagai “Bangsa Timur” terlepas dari pranata agama atau budaya atau apapun. Bumi pertiwi nampaknya harus kembali dipersoalkan lagi terkait miras ini.
Disetujukan dan dibatalkan, isu miras ini bersileweran bukan hanya sekedar lewat, tapi juga seakan menjadi tamparan kesadaran. Entitas kita sebagai “Orang Timur” ada diujung tanduk. Pengesahan Perpres kemarin tentu bisa berdampak baik disebagian sisi kehidupan, tapi jangan sampai melupakan sisi gelap yang berpotensi terlahirkan karenanya.
Pelonggaran izin secara tak langsung berlawanan dengan salah satu prioritas Presiden kita Joko Widodo, yaitu membangun sumber daya manusia. Bahkan salah satu data dari WHO, induk organisasi kesehatan nomor wahid di dunia menyebutkan lebih dari 3 juta jiwa menjadi korban, dan semoga Indonesia tak menyesalkan keputusannya kemudian.
Terlepas dari data badan organisasi kesehatan dunia tadi, memang hampir semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali, mengetahui dan faham betul terkait miras ini memiliki dampak buruk untuk kesehatan. Dampak terburuknya, salah satunya menyebabkan hilang kesadaran yang berpotensi menaikkan angka kejahatan seperti pencurian, pemerkosaan hingga pembunuhan
Masih menurut WHO minuman keras adalah minuman beralkohol yang mengandung racun dan zat-zat psikoaktif yang menimbulkan ketergantungan. Data studi Global Burden of Diseases, Injuries and Risk Factors (GBD) yang dilakukan pada tahun 2016 dan mencakup 195 negara dan wilayah, menyimpulkan bahwa alkohol berbahaya bahkan bila dikonsumsi hanya setetes.
Maka zero alcohol consumption menjadi gerakan sebagaimana dunia melawan kebiasaan-kebiasaan buruk rokok dan kegemukan.
Hematnya, Negara memang perlu investasi, miras bisa jadi solusi, tetapi jangan sampai membahayakan masa depan negeri.
Redaktur: Wiranto Asrury Siregar
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.