Penulis: Kelompok 7 Dos Ni Roha
Suara USU, Medan. Pada Sabtu, (30/09), mahasiswa kelompok 7 Modul Nusantara Dos Ni Roha dari program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) 3 di bawah bimbingan Dr. Martha Rianna Tambunan, S.Si. melakukan kegiatan kebhinekaan modul nusantara dengan mengunjungi lokasi bersejarah budaya di Desa Lingga, Karo, Sumatera Utara.
Kunjungan ke Desa Lingga ini bertujuan agar mahasiswa lebih mengenal tentang sejarah dan kebudayaan Desa Lingga, Karo, sebagai salah satu kebudayaan yang ada di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kunjungan ini dipandu oleh pimpinan Sanggar Seni Nggara Simbelin Simpei Sinulingga sebagai narasumber, dan Bapak Egi Sinulingga sebagai pengarah jalannya kegiatan. Saat kunjungan berlangsung, Simpei Sinulingga menjelaskan secara rinci tentang sejarah dan kebudayaan Desa Lingga.
Menurut penuturan Simpei Sinulingga, Desa Lingga, Tanah Karo, Sumatera Utara, diperkirakan dibangun sekitar abad 1112, dimana pada abad ke 1415 berdirilah kerajaan Lingga pertama yang berpusat di Desa ini. Kerajaan ini didirikan oleh Raja Lingga itu sendiri dan merupakan asal usul mengapa dinamakan Desa Lingga. Pada tahun 1947, Kerajaan Lingga dibubarkan karena mengikuti Negara Kesatuan Republik Indonesia dan raja pada saat itu dinobatkan menjadi bupati karena kerajaan juga ikut melebur menjadi kabupaten.
Di sela-sela sesi diskusi, mahasiswa kelompok 7 Dos Ni Roha penasaran dengan nama-nama raja di kerajaan Lingga. Untuk menjawab rasa penasaran mahasiswa kelompok 7, Simpei Sinulingga menjelaskan bahwa raja di Kerajaan Lingga sampai sekarang hanya diketahui melalui lisan karena raja-raja Kerajaan Lingga dahulu tidak pernah dicatat dalam sejarah secara tulisan. Hal ini karena dalam kebudayaan Karo nama nenek tidak boleh disebutkan oleh anak maupun cucunya.
Di Desa Lingga dulunya terdapat 15 pembagian struktur dusun menurut anak Beru (anak raja). Selain pengelompokkan dusun berdasarkan kelompok anak Beru, di Desa Lingga dibangun juga Lingga Baru, yaitu sebuah desa atau perkampungan yang dibuat untuk masyarakat agar tradisi Desa Lingga tetap dijaga.
Pada tahun 2002, Desa Lingga ditetapkan menjadi Desa Budaya, namun karena berjalannya waktu dan beberapa budaya mulai pudar, pada tahun 2009 hingga sekarang Desa Lingga ditetapkan sebagai desa wisata.
Setelah menjelaskan tentang sejarah Desa Lingga, mahasiswa kelompok 7 Dos Ni Roha diajak untuk melihat secara langsung rumah adat Desa Lingga yang masih berdiri kokoh walaupun sudah berusia kurang lebih 250 tahun.
Mahasiswa kelompok 7 Dos Ni Roha dibuat kagum dengan bangunan rumah adat Desa Lingga sudah berdiri sejak ratusan tahun yang lalu dan dibangun tanpa menggunakan paku. Namun, rumah adat ini masih berdiri kokoh sampai saat ini dan belum pernah ambruk. Rumah adat Karo berbentuk rumah panggung dengan tinggi sekitar 2 meter, ditopang oleh tiang yang umumnya berjumlah 16 buah dengan ciri dan bentuk yang sangat khusus. Di dalamnya terdapat ruangan yang besar dan tidak mempunyai penyekat ataupun ruangan sebagai kamar. Satu rumah adat dihuni oleh 8 atau 10 keluarga yang masih berkerabat.
Kegiatan ini selain menambah wawasan dan pengetahuan baru, juga memberikan kesan dan pesan yang mendalam untuk peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka khususnya kelompok 7 “Dos Ni Roha”. Kegiatan ini adalah salah satu program pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kepemimpinan, dan pemahaman tentang sejarah dan budaya Indonesia pada generasi muda. Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka ini mendukung pertukaran antarmahasiswa di seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia.
Redaktur: Tania A. Putri
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.