(Sumber: radarkudus.jawapos.com)
Reporter: Najwa Afifi Situmorang
Suara USU, Medan. Sosok Soesilo Toer, adik dari sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, memberikan sebuah pelajaran hidup yang begitu mendalam tentang perjuangan dan keteguhan prinsip. Di balik kehidupannya yang sederhana sebagai pemulung, Soesilo menyimpan cerita luar biasa sebagai seorang doktor filsafat yang ijazahnya tidak diakui oleh pemerintah Indonesia.
Soesilo Toer menempuh pendidikan di Universitas Patrice Lumumba, Moskow, Rusia, di mana ia meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1960-an. Namun, ketika kembali ke Indonesia, gelar akademiknya tidak mendapat pengakuan resmi dari pemerintah. Proses birokrasi dan persyaratan administrasi yang tidak terpenuhi menjadi alasan adanya penolakan tersebut. Bagi sebagian besar orang, kegagalan pengakuan gelar ini mungkin akan menjadi penghalang besar dalam pengembangan karier, namun tidak bagi Soesilo.
Terlepas dari tantangan itu, Soesilo memilih jalan yang tidak biasa. Ia menjalani kehidupan sebagai pemulung di kampung halamannya di Blora. Setiap hari, ia mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual, sebuah pekerjaan yang mungkin jauh dari bayangan seorang doktor. Namun, bagi Soesilo gelar akademik tidak pernah menjadi tujuan akhir hidup. “Ilmu itu bukan untuk kebanggaan pribadi, tetapi untuk memberi manfaat bagi sesama,” tuturnya dalam wawancara artikel terdahulu.
Selain menjadi pemulung, Soesilo juga mengelola Perpustakaan Pataba, sebuah perpustakaan kecil yang terletak di rumah keluarganya. Perpustakaan ini menjadi ruang literasi bagi masyarakat Blora, tempat di mana anak-anak hingga orang dewasa bisa mengakses buku-buku, termasuk karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Melalui perpustakaan ini, Soesilo terus berkontribusi dalam menyebarkan pengetahuan dan mendidik masyarakat di sekitarnya, meskipun tanpa pengakuan formal atas gelar akademiknya.
Sebagai mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan tinggi, kisah Soesilo Toer memberikan refleksi mendalam tentang arti kesuksesan dan kebahagiaan. Di tengah tekanan untuk meraih gelar dan status sosial, Soesilo mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan seharusnya tidak hanya diukur dari pengakuan formal, tetapi dari bagaimana ilmu tersebut bisa bermanfaat bagi kehidupan orang lain. Kehidupannya menginspirasi untuk tidak menyerah pada keadaan dan terus berjuang untuk memberikan kontribusi bagi masyarakat, meskipun mungkin tidak selalu diakui oleh sistem yang ada.
Dengan keteguhan hatinya, Soesilo Toer membuktikan bahwa kesederhanaan bukanlah halangan untuk tetap bermartabat dan berkontribusi bagi sesama.
Redaktur: Khaira Nazira
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.