Oleh: Ruth Putri Marliana
Suara USU, Medan. Generasi Z atau Gen Z merupakan istilah yang sering disematkan kepada mereka yang lahir pada pertengahan tahun 90-an sampai 2010. Perkembangan teknologi dan informasi di era Gen Z berkembang sangat pesat. Dapat dilihat dengan dimulainya pendirian beberapa platform sosial media yang sangat umum kita ketahui, seperti Facebook, WhatsApp, Instagram, Line, Tiktok, dan Twitter atau X, hingga saat ini telah mencapai jutaan pengikut.
Sesuai dengan namanya, sosial media menjadi sarana berkomunikasi untuk bertukar informasi atau mencari hiburan melalui konten yang dibuat para kreator. Kawula muda dengan mudah dapat mengakses sosial media di mana pun dan kapan pun. Adanya kebebasan berekspresi saat bermain sosial media menjadi salah satu alasan mengapa sosial media semakin banyak digemari. Dengan adanya kebebasan berekspresi tersebut, kita semua berlomba untuk menampilkan kesempurnaan dalam kehidupan kita.
Tanpa disadari, semakin lama kita menyelam dan tenggelam dalam kehidupan dunia maya, ada perasaan hampa dan kosong yang muncul. Saat melihat kehidupan orang lain di sosial media yang menampilkan kebahagiaan, kita mulai membandingkan kehidupan yang kita miliki dengan kehidupan orang lain di sosial media. Meski kita tidak mengetahui secara pasti hal apa saja yang pernah dialami oleh orang tersebut.
Timbulnya keresahan dari tontonan yang ada, terkadang membuat seseorang secara tiba-tiba memilih menonaktifkan sosial media mereka dengan alasan “detoks sosial media” karena mereka mulai menyadari bahwa mereka sedang tidak baik-baik saja. Adapun maksud dari detoks sosial media merupakan istilah yang merujuk pada tindakan membatasi diri dari sosial media yang diambil seseorang saat dirasa sudah mulai kecanduan sosial media, timbulnya perasaan khawatir dan kehidupan sosial di dunia nyata terganggu.
Belakangan ini sering terdengar istilah FOMO (Fear of Missing Out), keadaan dimana seseorang takut dianggap ketinggalan zaman dan memaksa diri untuk terlibat dalam berbagai hal yang sedang viral. Bagi kebanyakan orang, konten-konten yang viral dianggap keren bahkan mereka cenderung mengikuti standarisasi sosial media. Istilah “Gen Z tidak bercerita, lalu tiba-tiba menonaktifkan sosial media” sempat viral dan banyak dari anak muda mengakui bahwa hal tersebut keren dan menimbulkan kesan misterius. Seolah tak ingin ketinggalan dengan hal itu, mereka serempak mengungkapkan pernah bahkan menjadi kebiasaan hingga saat ini untuk menonaktifkan sosial media.
Kejadian ini tak lepas dari kebutuhan manusia akan dukungan moril dari orang-orang terdekat. Sebagai manusia, kita sering berharap orang yang kita sayangi peka terhadap keadaan kita. Namun, kenyataannya tidak semua orang memiliki kepekaan tersebut. Oleh karena itu, ada kalanya seseorang menonaktifkan sosial media ingin melihat sejauh mana orang-orang terdekatnya peduli dan memberi perhatian. Apakah mereka menyadari kehadiran kita atau justru bersikap acuh.
Terlepas dari apa pun alasan di balik menonaktifkan media sosial, langkah tersebut seharusnya dilakukan dengan tujuan yang jelas dan demi kebaikan diri sendiri, bukan semata mengikuti tren atau mencari perhatian. Dunia maya tidak bisa menjadi standarisasi untuk menilai diri kita atau hubungan dengan orang lain. Jika merasa kesehatan mental terganggu, menonaktifkan media sosial bisa menjadi pilihan tepat, asal diseimbangkan dengan langkah introspeksi dan fokus terhadap diri sendiri di kehidupan nyata. Sebagai mahasiswa, mari bertanggung jawab dalam bersosial, dengan menjadikan media sosial sebagai pendukung, bukan pengendali kehidupan.
Redaktur: Duwi Cahya
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.