Oleh: Putri Maharani/Najwa Syafitri Gutom/Syahnia Putri Ramadhani/Salomo Hutabarat
Suara USU, Medan. Desa Palu Getah di Sumatera Utara saat ini menghadapi krisis lingkungan serius akibat hilangnya sebagian besar wilayah hutan mangrovenya yang disebabkan oleh masifnya aktivitas manusia, seperti pembukaan lahan untuk tambak, perluasan pemukiman, dan praktik penebangan yang tidak berkelanjutan.
Pada tahun 1999, luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan mencapai 8,6 juta hektar. Namun, data dari Direktur Jenderal Reklamasi Lahan dan Perhutanan Sosial pada tahun 2006 menunjukkan bahwa luas tersebut menyusut menjadi hanya 5,3 juta hektar. Menurut Julaikha et al. (2017), luas hutan mangrove di dunia saat ini sekitar 17 juta hektar, dengan sekitar 3,7 juta hektar atau 22% dari total areal mangrove dunia berada di Indonesia. Potensi luas hutan mangrove di Indonesia mencapai 8,6 juta hektar, di mana 3,8 juta hektar berada dalam kawasan hutan dan 4,8 juta hektar berada di luar kawasan hutan. Berdasarkan kondisinya, sekitar 1,7 juta hektar (44,73%) hutan mangrove di dalam kawasan hutan dan 4,2 juta hektar (87,50%) di luar kawasan hutan berada dalam keadaan rusak.
Hutan mangrove memainkan peran penting dalam iklim karena menyediakan habitat utama untuk kehidupan penting di wilayah pesisir dan laut. Manfaat langsung hutan mangrove dapat dirasakan oleh masyarakat pesisir pantai atas potensi ekonomis diantaranya kayu bakau dimanfaatkan sebagai bahan kayu bakar, arang dan diantaranya kayu bakau memiliki kualitas kayu yang baik sehingga dapat dimanfaatkan untuk pembangunan rumah, hutan bakau dijadikan nelayan sebagai tempat untuk penangkapan ikan dan kepiting serta untuk mengumpulkan kerang yang ada disekitar hutan bakau.
Di Indonesia, keberadaan hutan mangrove sangat bergantung pada kondisi wilayah pesisir sebagai habitat utamanya. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Onrizal dan Cecep (2008), penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove telah menimbulkan dampak serius, seperti peningkatan abrasi, penurunan hasil tangkapan ikan di wilayah pesisir, serta intrusi air laut yang semakin jauh ke daratan. Selain itu, hilangnya hutan mangrove juga disebabkan oleh berbagai kegiatan manusia yang merusak, seperti reklamasi pantai, pengeboman, kegiatan konstruksi, alih fungsi lahan untuk perkebunan kelapa sawit, tambak, dan kawasan industri. Aktivitas-aktivitas ini secara signifikan mengancam keberlanjutan ekosistem mangrove di sebagian besar wilayah pesisir.
Berdasarkan diskusi, terdapat argumen yang mendukung maupun menentang pemanfaatan mangrove secara berlebihan. Pendukung pemanfaatan berlebihan berpendapat bahwa hal ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal melalui sektor perikanan, pariwisata, dan penyediaan bahan baku industri seperti arang, kayu, serta obat-obatan tradisional, yang mendukung perekonomian. Sebaliknya, banyak juga yang menentang pemanfaatan berlebihan, karena hal ini dapat merusak habitat mangrove dan mengurangi keanekaragaman hayati, yang berdampak buruk pada ekosistem pesisir. Selain itu, mangrove berfungsi sebagai pelindung alami dari gelombang laut dan banjir, sehingga penghilangan mangrove akan meningkatkan kerentanannya terhadap bencana alam.
Dari perspektif manajemen sumber daya perairan, pemanfaatan mangrove secara berlebihan memerlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Dengan memprioritaskan konservasi dan melibatkan semua pemangku kepentingan, kita dapat memastikan bahwa mangrove tetap berfungsi sebagai ekosistem vital sambil memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat.
Konversi hutan mangrove untuk kebutuhan lain, seperti tambak, pemukiman, atau perkebunan, dapat mengancam keberlanjutan ekosistem pesisir. Alih fungsi lahan ini seringkali mengabaikan nilai jangka panjang dari mangrove sebagai pelindung pesisir dan penyedia sumber daya alam yang penting. Dalam konteks teori sumber daya keberlanjutan, pengelolaan hutan mangrove seharusnya mempertimbangkan keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya dan pelestarian ekosistemnya untuk menjamin keberlanjutan kehidupan masyarakat setempat dan ekosistem pesisir di masa depan.
Hal ini sejalan dengan teori sumber daya keberlanjutan yang diperkenalkan oleh Herman Daly dan Robert Costanza menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang tidak hanya berorientasi pada pemanfaatan jangka pendek, tetapi juga pada keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan sosial-ekonomi jangka panjang. Daly, dalam karyanya “Steady-State Economics” (1977), memperkenalkan konsep ekonomi dengan pertumbuhan terbatas, yang menekankan bahwa ekonomi harus beroperasi dalam batas-batas kemampuan alam untuk memulihkan dan mendaur ulang sumber daya. Sementara Costanza memperkenalkan konsep “Ekonomi Ekologi”, yang mengintegrasikan nilai-nilai ekosistem ke dalam perhitungan ekonomi.
Kesimpulan dari pemanfaatan mangrove secara berlebihan adalah bahwa meskipun ada manfaat ekonomi jangka pendek, seperti peningkatan pendapatan masyarakat dan pengembangan infrastruktur, dampak negatif yang dihasilkan jauh lebih serius. Kerusakan ekosistem, peningkatan risiko bencana, dan kontribusi terhadap perubahan iklim menjadi isu yang tidak bisa diabaikan.
Penting untuk mengadopsi pendekatan yang lebih berkelanjutan dalam pengelolaan mangrove. Penggunaan sumber daya mangrove harus dilakukan dengan hati-hati, mempertimbangkan konservasi dan restorasi ekosistem untuk memastikan bahwa manfaat jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan tetap terjaga. Edukasi dan kesadaran akan pentingnya mangrove juga menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi.
Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk merehabilitasi hutan mangrove yang telah memudar guna mengembalikan fungsi ekologis dan ekonomisnya. Pemerintah dapat memperkuat regulasi perlindungan mangrove melalui pengawasan ketat terhadap alih fungsi lahan, serta mengalokasikan anggaran khusus untuk program restorasi. Selain itu, masyarakat perlu dilibatkan dalam upaya penanaman kembali mangrove melalui program edukasi lingkungan yang berkelanjutan, sehingga mereka memahami pentingnya ekosistem ini dalam mencegah abrasi, menjaga keanekaragaman hayati, dan mendukung mata pencaharian nelayan. Kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta juga penting untuk menciptakan solusi inovatif dalam pelestarian hutan mangrove secara berkelanjutan.
Artikel ini adalah publikasi tugas Mata Kuliah Pekerja Sosial Internasional dengan Dosen Pengampu Fajar Utama Ritonga S.Sos., M.Kesos.
Redaktur: Khalda Mahirah Panggabean
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.