Oleh: Anna Fauziah Pane/Farhan Alvadin Lubis
Suara USU, Medan. Dalam dunia jurnalisme, ketidakadilan gender tetap menjadi isu yang signifikan meskipun kemajuan telah dicapai dalam beberapa dekade terakhir. Profesi jurnalis, yang seharusnya menjunjung tinggi objektivitas dan kesetaraan, seringkali masih didominasi oleh laki-laki, menciptakan lingkungan yang kurang inklusif bagi jurnalis perempuan. Analisis terhadap ketidakadilan gender ini membuka wacanapenting mengenai bagaimana stereotip, budaya kerja, dan kebijakan redaksi dapat mempengaruhi representasi dan peluang karir bagi perempuan dalam jurnalisme.
Turunan dari fenomena ini adalah tidak diperbolehkannya mahasiswi untuk mengambil pendidikan menjadi jurnalis. Contoh terdekatnya terjadi pada mahasiswi di Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP USU). Pada program studi Ilmu Komunikasi FISIP USU sendiri terdapat tiga jenis konsentrasi, yaitu jurnalistik, public relations, dan advertising. Setiap tahunnya, jurnalistik adalah konsentrasi dengan peminat paling sedikit dibanding dua lainnya. Selain faktor minat mahasiswa, ternyata ada faktor lain yang menjadi alasan terjadinya hal ini, yaitu izin orangtua yang bersinggungan dengan isu gender.
Isu gender yang akan menjadi fokus pada tulisan ini adalah jurnalistik. Namun, bukan berarti dua konsentrasi lain tidak memiliki isu yang berkaitan dengan gender. Dua konsentrasi lain, yaitu public relations dan periklanan, kerap kali mengkotak-kotakkan antara perempuan dan laki-laki. Pada public relations misalnya, perempuan cenderung menonjol pada bidang ini karena perempuan dianggap sebagai sosok yang ‘melayani’ dan mampu berinteraksi lebih baik sejalan dengan kerja humasnya. Kemudian untuk periklanan, pengkotak-kotakan ini lebih terasa lagi, perempuan cenderung menjadi bintang dalam iklan masakan, pembersih baju, dan produk-produk lain yang berhubungan dengan pekerjaan domestik rumah tangga.
Adapun isu gender yang ada pada jurnalistik ini adalah bahwa ‘jurnalis untuk pria’ yang memiliki persepsi bahwa profesi jurnalis itu cocoknya untuk laki-laki, perempuan tidak cocok menjadi jurnalis. Pandangan inilah yang berujung pada pelarangan beberapa mahasiswi di Ilmu Komunikasi FISIP USU untuk mengambil konsentrasi jurnalistik dan menjadi jurnalis dimasa depan. Guna memperdalam pemahaman dalam hal ini, kami melakukan wawancara pada dua mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP USU yang mengalami langsung ketidakadilan gender berupa pelarangan untuk mengambil konsentrasi jurnalistik.
Adapun dua mahasiswi tersebut adalah Azzahra dan Anna. Keduanya merupakan mahasiswi di Ilmu Komunikasi FISIP USU yang tengah berada di tahun ketiga dan telah mengambil konsentrasi. Azzahra mengambil konsentrasi jurnalistik, sedangkan Anna mengambil konsentrasi public relations. Pada saat wawancara, keduanya menyampaikan bahwa keduanya sama-sama dilarang untuk mengambil konsentrasi jurnalistik, yang membedakan adalah Azzahra berhasil meyakinkan kedua orangtuanya hingga akhirnya diizinkan untuk mengambil konsentrasi jurnalistik tersebut, sementara Anna tidak dan berujung mengambil public relations sebagai konsentrasi studinya.
“Awalnya sulit untuk proses pemilihan konsentrasi, apalagi ketiak diskusi dengan orangtua. Memang niat awalsaya ingin menjadi jurnalis, tetapi dari orangtua khususnya ayah punya stigma bahwa perempuan tidak cocok menjadi jurnalis,” ungkap Azzahra ketika ditanya mengenai proses pemilihan konsentrasinya.
Lebih lanjut, Azzahra menjelaskan mengenai tanggapan ayahnya mengenai profesi jurnalistik yang tidak cocok untuk perempuan. Ayah dari Azzahra menganggap bahwa profesi jurnalis banyak bekerja di luar ruangan, belum lagi jika harus berurusan dengan liputan kriminal yang berbahaya. Azzahra juga menyampaikan bahwa ayahnya lebih mendorong dirinya untuk mengambil konstrasi public relations dan menjadi humas yang menurutnya lebih ‘kalem’ kerjanya.
Pada akhirnya, Azzahra mampu meyakinkan kedua orangtuanya untuk mengizinkannya mengambil konsentrasi jurnalistik. “Iya, mereka melihat tekad kuat saya untuk memilih konsentrasi jurnalistik ini, bahwa saya bukan sekedar ingin tapi yakin bisa menjadi jurnalis yang tangguh meskipun saya perempuan. Hingga kemudian kedua orangtua saya mengizinkan saya untuk mengambil konsentrasi jurnalistik,” ujarnya lagi.
Kisah yang berbeda dialami oleh Anna. Mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP USU itu memiliki tekad cukup kuat untuk menjadi jurnalis sejak masih di bangku SMA. “Iya kalau saya dari SMA sudah tertarik dengan jurnalistik dan juga broadcasting. Namun, kedua orangtua saya tidak setuju jika saya menjadi jurnalis. Menurut mereka pekerjaan jurnalis itu terlalu berat untuk perempuan.”
Pada saat ditingkat akhir SMA, Anna berniat untuk mengambil jurusan broadcasting untuk kemudian bisa menjadi jurnalis. Namun, rencana hanyalah rencana, kedua orangtuanya masih belum setuju ditambah lagi saat itu pandemi yang membuat jangkauan terhadap institut yang memiliki jurusan broadcasting semakin sulit. Anna mengungkapkan dirinya telah mencoba meyakinkan kedua orangtuanya bahwa dirinya mampu untuk menjadi jurnalis. Namun hasilnya tetaplah sama, kedua orangtua Anna tetap tidak setuju jika dia harus menjadi jurnalis. “Jadi akhirnya orangtua setujunya di Ilmu Komunikasi USU, yah setidaknya sedikit berhubungan lah ya ke broadcasting,” ujar Anna dalam wawancara.
“Dengan memilih kuliah di Ilmu Komunikasi USU ini, saya diberi kesempatan untuk mencoba dunia jurnalis itu. Bergabunglah saya di Pers Mahasiswa Suara USU dan alhamdulillah bekesempatan menjadi presidium juga saat itu.” Meskipun begitu, ternyata tidak membuat kedua orangtua Anna yakin bahwa dirinya yang perempuan itu bisa menjadi jurnalis profesional. Hingga akhirnya dirinya memilih konsentrasi public relations karena orangtuanya tak kunjung memberi izin untuk dirinya mengambil konsentrasi jurnalistik.
Ketika ditanya mengenai pandangan mereka terhadap fenomena ‘jurnalis untuk pria’, Azzahra dan Anna memberikan jawaban senada. Keduanya berpendapat jurnalis bukanlah untuk pria saja, perempuan juga bisa menjadi jurnalis.
“Mungkin memang banyak yang bilang kalau jurnalis itu pekerjaan berat yang cocoknya dilakukan laki-laki. Perempuan dianggap tidak cocok menjadi jurnalis karena perempuan itu dianggap lemah. Menurut saya itu adalah satu hal yang keliru, perempuan berhak untuk menjadi profesi apapun tanpa ada larangan ataupun stigma-stigma di masyarakat. Saya yakin perempuan layak menjadi jurnalis,” ungkap Azzahra.
“Dengan sedikit pengalaman saya menjadi jurnalis kampus, saya semakin yakin bahwa jurnalis itu untuk semua bukan hanya laki-laki saja yang bisa menjadi jurnalis.” tambah Anna pada pernyataan Azzahra.
Ketidakadilan gender dalam dunia jurnalisme, khususnya fenomena ‘jurnalis untuk pria’, mencerminkan tantangan mendalam yang masih dihadapi oleh wanita dalam profesi ini. Terlebih lagi hal ini menjadi stereotip di masyarakat bahwa perempuan tidak bisa menjadi jurnalis. Artikel ini diharapkan dapat membuka wawasan bahwa ketidakadilan gender pada bidang profesi jurnalis itu ada dan masih terjadi hingga saat ini.
Tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi para mahasiswa khususnya mahasiswa Ilmu Komunikasi yang bercita-cita menjadi jurnalis jika dihadapkan pada situasi seperti yang dialami Azzahra dan Anna. Kendati demikian, hal itulah yang masih terjadi saat ini. Semoga dimasa yang akan datang kesempatan untuk menjadi jurnalis dapat terbuka lebih luas untuk siapapun tanpa memandang gender.
Artikel ini adalah publikasi tugas Mata Kuliah Sosiologi Gender dengan Dosen Pengampu Dr. Harmona Daulay, S.Sos., M.Si / Dra. Linda Elida, M.Si.
Redaktur: Khalda Mahirah Panggabean
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.