Penulis : Muhammad Shalihul Amri
Suara USU, Medan. Belum lama ini, pernyataan Menteri Kehutanan tentang rencana pembukaan 20 juta hektar lahan hutan untuk kepentingan energi dan pangan menuai beragam tanggapan publik. Meski tujuannya untuk ketahanan nasional, langkah ini memunculkan kekhawatiran akan dampak ekologis yang serius.
Membuka lahan hutan bagi ekosistem ibarat merobek jaring kehidupan yang saling terhubung. Seperti jaring laba-laba yang rapuh, ketika satu bagian rusak, keseimbangan seluruh struktur terganggu. Setiap pohon yang ditebang ibarat satu helai benang yang terputus, melemahkan jaringan ekosistem dan menggoyahkan kestabilan yang telah terbentuk
Hutan adalah paru-paru dunia, berperan vital dalam menyerap karbondioksida dan mengatur iklim, pembukaan lahan skala besar dapat mengurangi kemampuan alam untuk menahan laju perubahan iklim, memperburuk pemanasan global yang sudah menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia dan ekosistem. Hilanganya tutupan hutan akan mempercepat terjadinya bencana ekologis, seperti banjir, kekeringan, dan longsor.
Keanekaragaman hayati yang hidup di hutan juga terancam. Hutan adalah rumah bagi jutaan spesies, dari mikroorganisme hingga mamalia besar. Ketika hutan dibuka, habitat mereka hancur, memaksa mereka mencari tempat baru bahkan menghadapi kepunahan. Padahal, keseimbangan ekosistem sangat bergantung pada keberadaan flora dan fauna yang beraneka ragam.
Selain itu, masyarakat adat yang kehidupannya bergantung pada hutan akan mengalami dampak sosial ekonomi yang signifikan. Hilangnya sumber daya alam akan memaksa mereka mencari mata pecaharian baru yang tidak selalu mudah didapatkan.
Pemerintah perlu mempertimbangkan ulang rencana ini dengan serius. Alih-alih membuka lahan baru, optimalisasi lahan yang sudah ada dan peningkatan produktivitas pertanian berkelanjutan bisa menjadi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, investasi dalam teknologi pertanian modern yang lebih efisien juga dapat membantu memenuhi kebutuhan pangan tanpa harus merusak ekosistem.
Dalam menghadapi krisis iklim global, keputusan seperti pembukaan lahan hutan harus didasarkan pada kajian ilmiah yang mendalam dan konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk para ahli dan masyarakat adat. Melindungi hutan bukan hanya tentang konservasi lingkungan, tetapi juga tentang melindungi masa depan generasi mendatang.
Jika kita terus mengabaikan peringatan para ahli dan tanda-tanda alam, kita tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menyiapkan jalan menuju kiamat ekologi yang tak terelakkan. Mari bergerak bersama untuk menjaga bumi kita tetap lestari.
Redaktur: Duwi Cahya
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.