Foto: tribunnews.com
Penulis: Nuri
Suara USU, Medan. Media kembali digemparkan, kali ini bukan soal Covid-19 bukan juga Rancangan UU apalagi lagu Kekeyi “Aku Bukan Boneka” tetapi tentang bagaimana penegakan hukum di Negeri kita, Indonesia. Kali ini Persidangan Novel Baswedan menjadi sorotan berbagai media.
Novel Baswedan seorang penyidik senior KPK yang bergabung sejak tahun 2007. Ia telah mangangani beberapa kasus high profile seperti suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam kasus sengketa Pilkada, Korupsi Proyek Simulator Ujian SIM Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri dan berbagai kasus lainnya. Dalam menangani kasus, tak jarang ia menerima teror.
Jauh sebelum ini, ia mengalami penganiayaan yang dilakukan pada tanggal 11 April 2017 lalu. Seusai pulang sholat subuh dua orang menyiramkan air keras yang diketahui berjenis asam sulfat (H2SO4) ke wajahnya.
Setelah 3 tahun kejadian tersebut, pada akhir Desember 2019 kedua pelaku berhasil diamankan. Kedua pelaku bernama Ronny Bugis dan Rahmat Kadir merupakan anggota polisi.
Kemudian persidangan penuntutan di lakukan pada Kamis, 11 Juni 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Jaksa Penuntut Umum, Fedrik Adhar Syarifuddin hanya menuntut 1 tahun penjara kepada terdakwa dengan menggunakan dakwaan subsider.
Pada dakwaan primer yaitu pasal 355 ayat 1 KUHP yang diancam pidana penjara paling lama 12 tahun. Sedangkan dakwaan subsider Pasal 353 ayat 2 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP yang diancam pidana penjara paling lama 7 tahun.
JPU memberikan alasan yang tidak dapat diterima oleh akal sehat bahwa terdakwa “Tidak sengaja” menyiram air keras ke arah wajah saksi korban. Tuntutan yang dilayangkan oleh JPU menuai protes dari berbagai kalangan masyarakat.
Dalam diskusi online pada Senin, 15 Juni 2020 yang berjudul Menakar Tuntutan Jaksa dalam Kasus Novel Baswedan, ia menjelaskan “Bayangkan kita bisa melihat, perbuatan kalau itu pun disebut sebagai penganiayaan itu penganiayaan yang paling lengkap, yaitu penganiayaan yang terencana, penganiayaan yang berat, penganiayaan yang akibatnya luka berat dan penganiayaan dengan pemberatan.”
Ketua Umum YBLHI sekaligus kuasa hukum Novel Baswedan, Asfinawati menambahkan, bahwa ia meyakini perbuatan terdakwa merupakan kejahatan terorganisir sudah terencana.
Sidang pledoi dilaksanakan pada Senin, 15 Juni 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dikutip dari Kompas.com Kuasa hukum terdakwa berpendapat, ada beberapa unsur yang tidak terbukti berdasarkan fakta persidangan. Unsur pertama yaitu terkait penganiayaan berat. Unsur kedua yang tidak terpenuhi ialah terkait penganiayaan berencana. Menurut kuasa hukum, yang dilakukan oleh Rahmat Kadir Mahullete merupakan spontanitas semata.
Apa yang mendasari pendapat kuasa hukum mengatakan bahwa perbuatan Rahmat merupakan spontanitas? Bukankah sudah jelas bahwa perbuatan ini terencana, bukankah unsur dari kesengajaan sudah terpenuhi? Sudah ada mens rea yaitu sikap batin pelaku. Dengan dilakukan pada waktu subuh, dengan membawa air keras, bukankah sudah sangat jelas?
Bagaimana mungkin, kedua terdakwa sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya menjaga keamanan, ketertiban serta melindungi warga negara. Kini menganiaya seorang penyidik senior KPK dan mendapat hukuman yang sangat ringan? Bukankah seharusnya ini menjadi pemberatan? Sebab yang menjadi korban adalah seorang penegak hukum yang memberantas korupsi. Bukankah terdakwa yang seharusnya mengerti bahwa perbuatan yang dilakukan melanggar hukum?
Sidang lanjutan akan dilaksanakan pada Senin 22 Juni 2020 dengan agenda pembacaan Replik dari JPU dan terbuka untuk umum. Meskipun Jaksa hanya menuntut 1 tahun penjara, tapi tidak menutup kemungkinan Hakim menjatuhkan sanksi yang berbeda. Apapun putusan hakim nantinya, semoga itu yang terbaik bagi kedua belah pihak.
Redaktur Tulisan: Nurul N Sahira Br Lubis
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.