Penulis: Putri Handayani Telaumbanua
Suara USU, Medan. Kampus Mengajar adalah sebuah program yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar di luar kelas selama 1 (satu) semester dengan menjadi mitra guru untuk berinovasi dalam pengembangan strategi dan model pembelajaran yang kreatif dan inovatif di satuan pendidikan sasaran, dengan fokus pada peningkatan kemampuan literasi dan numerasi siswa di sekolah sasaran.
Literasi dan numerasi adalah kompetensi yang sifatnya general dan mendasar. Saya dipercayakan oleh kepala sekolah SD NEGERI 064012 menjadi guru kelas 1A selama kurang lebih 4 bulan. Namun, dalam menjalankan program kampus mengajar ini saya mengalami kendala dikarenakan lokasi atau tempat saya mengajar 90% anak Panti Asuhan, yang pada kenyataannya anak panti asuhan memiliki berbagai jenis masalah yang berbeda-beda seperti masalah ekonomi keluarga yang buruk, anak yatim piatu, dan terjadinya perceraian orang tua (broken home) dan lain-lain.
Sebagian besar murid kelas 1A mengalami masalah Broken Home, ada beberapa murid yang tidak mengenal ayahnya siapa, ada murid yang tidak mengenal kedua orangtuanya siapa, dan murid yang orangtuanya bercerai serta yatim piatu. Saya fokus kepada anak yang broken home. Broken home menggambarkan keluarga yang tidak utuh, berpisah/bercerai, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan tidak lagi hidup bersama. Hal ini sangat mempengaruhi mental dan perilaku murid ketika sedang belajar.
Pada kenyataanya murid yang broken home memiliki sifat yang buruk seperti keras kepala, mudah marah, sulit diajak untuk belajar, suka menyendiri (tidak mau bergaul dengan murid lain), cepat tersinggung dan suka menangis ketika mendengar suara keras di dalam kelas.
Saya sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial membantu mendampingi anak yang memiliki masalah (broken home). Hal yang saya lakukan untuk mendampingi murid korban broken home ialah sebagai berikut :
- Melakukan pendekatan dan menciptakan ikatan emosional yang baik dengan anak
-
Menciptakan suasana belajar yang nyaman
-
Mengajak anak belajar sambil bermain dengan murid yang lain
-
Memberikan motivasi untuk belajar
-
Memberikan perhatian kepada anak yang broken home
-
Menjadi teman cerita bagi anak yang broken home dan mampu mengerti apa yang sedang dirasakan oleh anak tersebut
-
Menanyakan tentang aktivitas anak ketika sudah di Panti Asuhan dan
-
Menceritakan hal-hal yang dapat membangun mental anak.
Metode intervensi yang saya gunakan dalam mendampingi murid yang broken home ialah metode Casework. Metode intervensi dikembangkan untuk menangani masalah keberfungsian sosial oleh individu dengan melibatan keluarga ataupun orang-orang yang dekat dengan individu tersebut.
Menurut Zastrow (1982:484-486) menjelaskan 8 tahap proses konseling dari sudut pandang klien, yaitu sebagai berikut :
1. Penyadaran akan adanya masalah: pada tahap awal ini klien yang ingin terlibat dalam relasi dengan konselor (caseworker) harus maerasakan masalah yang sedang ia hadapi, namun mereka belum mampu mengatasi permasalahan tersebut. klien merasa tidak punya msalah (the non-problems client). Tugas caseworker di sini semakin berat karena ia harus membantu klien agar ia menyadari bahwa ia mempunyai suatu masalah. Casework harus mencari tahu lebih mendalam mengapa terjadi penyangkalan (denial) pada diri kliennya.
2. Penjalinan Relasi lebih mendalam dengan konselor (caseworker): pada tahap ini sudah timbul relasi yang lebih dan lebih mendalam antara caseworker dengan kliennya. Adanya rasa percaya klien terhadap caseworker yang ditemuinya dapat dan mau membantunya.
3. Pengembangan Motivasi: pada tahap ini klien harus mampu meyakinkan dirinya bahwa dia mau untuk mengatasi masalah yang sedang ia hadapi atau mau menciptakan kondisi yang lebih baik bagi dirinya. Disini tugas caseworker ialah mendukung dan membangkitkan motivasi klien agar ia mampu mengubah kondisi kejiwaan ataupun ketidakyainan yang terjadi selama ini.
4. Pengonseptualisasian Masalah: untuk menciptakan konseling yang efektif, klien harus mengenali bahwa permaslahan yang ia hadapi bukanlah suatu masalah yang tidak dapat diatasi, akan tetapi ada komponen-komponen dalam permasalahan yang dapat diatasi. Hal ini dibantu oleh casewroker, disinilah peran caseworker untuk memilah-milah permasalahan yang ada dan mengajak kliennya untuk melihat bahwa ada komponen-komponen tertentu yang masih dapat diatasi.caseworker melakukan wawancara dan menganalisis permasalahan yang dihadapi klien dengan baik.
5. Eksplorasi Strategi Mengatasi Masalah: pada tahap ini konselor (caseworker) dengan kliennya mencoba mengeksplorasi berbagai macam cara yang digunakan untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien.
6. Penyeleksian Strategi Mengatasi Masalah: pada tahap ini konselor dan klien mendiskusikan dan memilih cara manakah yang akan diambil. Prinsip Self-determination adalah prinsip yang penting untuk digunakan dalam tahap ini, karena klien berhak memilih cara mana yang akan ia tempuh untuk meningkatkan kondisi yang ada pada dirinya.
7. Implementasi (Pelaksanaan) Strategi Mengatasi Masalah: Proses konseling akan berhasil bila klien mau menjalankan alternatif strategi pemecahn masalah yang sudah ia tentukan serta berkembang komitmennya dalam mengatasi masalah yang ada.
8. Evaluasi: klien dapat merasakan perubahan yang ia alami apakah bersifat permanent atau sementara saja. Disinilah peran konselor (caseworker) untuk meyakinkan kliennya bahwa perubahan yang ia capai adalah perubahan yang bermakna, dan ia diharapkan untuk tetap dapat melanjutkan treatment tersebut.
Artikel ini adalah publikasi tugas mata kuliah Praktikum Kerja Lapangan I dengan Dosen Pengampu: Fajar Utama Ritonga S.Sos M.Kesos dan DPL: Mujahid Widian Saragih S.Ip, M.IP.
Redaktur: Anna Fauziah Pane
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.