Penulis: Muhammad Iffat Roza’an
Suara USU, Medan. Kesejahteraan sosial adalah keadaan terpenuhinya kebutuhan material, spritual, dan sosial penduduk untuk hidup secara layak dan memiliki pilihan untuk membina diri, sehingga mereka dapat melengkapi kemampuan sosial mereka. Sedangkan, kesejahteraan kita bersama harus di nomor satukan di atas yang lainnya (Ritonga, 2022). Di Indonesia khususnya, masalah kesejahteraan sosial masih menjadi masalah yang belum dapat terselesaikan oleh pemerintah. Permasalahan sosial memang tidak dapat dihindari keberadaannya di masyarakat seperti masalah sosial yang ada di perkotaan. Gelandangan dan pengemis merupakan masalah sosial yang berkaitan dengan kebijakan publik yang menjadi sorotan masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah pusat maupun daerah untuk mengatasi permasalahan sosial tersebut yang seharusnya menggunakan pendekatan pelayanan yang terbuka.
Permasalahan kesejahteraan sosial menunjukkan bahwa ada penduduk yang kebebasannya terhadap kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi seperti yang diharapkan, mengingat belum mendapatkan pelayanan sosial dari Negara, akibatnya masih ada penduduk yang mengalami hambatan dalam pelaksanaan kemampuan sosialnya, sehingga tidak dapat menjalani kehidupan yang baik dan mulia.
Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, gelandangan adalah orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap, hidup mengembara di tempat umum, dan hidup dalam kondisi yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak di masyarakat. Sedangkan, pengemis adalah orang-orang yang mempunyai berbagai cara dan alasan untuk mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta mengharapkan belas kasihan orang lain.
Permasalahan gelandangan dan pengemis merupakan penyakit sosial yang harus diberantas dari masyarakat. Jika tidak, keberadaan gelandangan dan pengemis lama kelamaan akan semakin berkembang dan menimbulkan sejumlah dampak negatif, antara lain munculnya ketidaktertiban, ketidaknyamanan, dan rusaknya keindahan Kota. Inilah yang menjadi masalah fundamental dari dampak negatifnya terhadap ketertiban dan keamanan yang akan menghambat pembangunan yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, untuk mengurangi permasalahan sosial yang ada, permasalahan ini perlu segera disikapi secara kolektif.
Pemerintah Kota Medan telah berupaya menerapkan kebijakan mengenai Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis Serta Praktek Tuna Susila di Kota Medan, namun masih belum bisa menjangkau gelandangan dan pengemis secara keseluruhan. Bahkan masih banyak gelandangan dan pengemis yang sudah dibina masih kembali turun ke jalan. Sehingga peraturan yang dibuat hanya dianggap sebagai angin lalu oleh sebagian orang. Buktinya, gelandangan dan pengemis semakin menyebar luas di seluruh Kota Medan, meski peraturan akan larangan untuk menggelandang dan mengemis sudah memuat sanksi yang jelas. Namun, kenyatannya peraturan daerah ini tidak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya dari masalah gelandangan dan pengemis khususnya di Kota Medan.
Penertiban terhadap gelandang dan pengemis dilaksanakan oleh satuan polisi pamong praja, penyidik pegawai negeri sipil yang bekerjasama dengan pihak kepolisian. Razia gelandangn dan pengemis dilakukan secara kontinyu antar lintas instansi dengan melakukan razia di tempat-tempat umum dimana biasanya mereka melakukan kegiatan menggelandang dan pengemis secara periodik. Disinilah peranan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebagai institusi yang melakukan penanganan terhadap lingkup sipil di tingkat daerah menjadi penting. Satpol PP adalah pihak yang terlibat secara langsung dan upaya penertiban dan penanganan pemulung sebagai upaya untuk kota sebagai tempat tinggal yang layak untuk semua masyarakatnya. Dalam melaksanakan tugasnya, Satpol PP berpegang pada kaidah hukum, baik yang berkaitan dengan lingkup undang-undang nasional maupun yang bersifat regional. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk membahas tentang “Pelaksanaan Peran Satpol PP dalam Menertibkan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan”.
Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Karimun memiliki kewenangan dalam melakukan penertiban pengemis gelandangan dan orang terlantar sebab ada regulasi dari pemerintah daerah yang mengatur tentang penanganan pengemis gelandangan dan orang terlantar dalam Peraturan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia No. 26 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat serta Perlindungan Masyarakat, namun dalam pelaksanaan penertiban tidak lepas dari koordinasi bersama pihak dinas terkait yang mana dalam ha ini Dinas Sosial. Jadi setelah kita mendapatkan laporan terkait adanya gangguan trantibum dari masyarakat maupun hasil temuan patroli rutin kita langsung membuat surat untuk diserahkan ke pihak Dinas Sosial untuk di lakukan Integrasi dalam melakukan penertiban.
Pelayanan kesejahteraan sosial atau disebut dengan serangkaian kegiatan pelayanan yang ditujukan untuk membantu individu, keluarga, kelompok, organisasi dan masyarakat yang membutuhkan atau mengalami permasalahan sosial, baik yang bersifat pencegahan, perlindungan, pemberdayaan, pelayanan dan rehabilitasi sosial maupun pengembangan guna mengatasi permasalahan yang dihadapi dan atau memenuhi kebutuhan secara memadai, sehingga mereka mampu melaksanakan fungsi sosial. Berikut adalah tahapan pekerja sosial level intervensi individu.
1. Pendekatan Awal
Pendekatan awal adalah suatu proses kegiatan penjajakan awal, konsultasi dengan pihak terkait; sosialisasi program pelayanan, identifikasi calon penerima pelayanan, pemberian motivasi, seleksi, perumusan kesepakatan, dan penempatan calon penerima pelayanan; serta identifikasi saran dan prasarana pelayanan kepada gelandangan dan pengemis.
2. Pengungkapan dan Pemahaman Masalah (Asesmen)
Asesmen adalah suatu proses kegiatan pengumpulan dan analisis data untuk mengungkapkan dan memahami masalah, kebutuhan, dan sistem sumber gelandangan dan pengemis yang merupakan klien.
3. Perencanaan Pemecahan Masalah (Planning)
Perencanaan pemecahan masalah adalah suatu proses perumusan tujuan dan kegiatan pemecahan masalah, serta penetapan berbagai sumber daya (manusia, biaya, metode-teknik, peralatan, sarana prasarana dan waktu) yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut.
4. Pelaksanaan Pemecahan Masalah (Intervention)
Pelaksanaan pemecahan masalah adalah suatu proses penerapan rencana pemecahan masalah yang telah dirumuskan. Kegiatan pemecahan masalah yang dilaksanakan adalah melakukan pemeliharaan, pemberian motivasi, dan pendampingan kepada penerima pelayanan dalam bimbingan fisik, bimbingan keterampilan, bimbingan psikososial, bimbingan sosial, pengembangan masyarakat, resosialisasi dan advokasi yang ditujukan kepada gelandangan dan pengemis selaku klien.
5. Terminasi Pemecahan Masalah
Terminasi adalah suatu proses kegiatan pemutusan hubungan pelayanan/pertolongan antara lembaga dengan penerima manfaat.
6. Bimbingan Lanjut dan Pembinaan Lanjut
Bimbingan dan pembinaan lanjut adalah suatu proses pemberdayaan dan pengembangan agar penerima pelayanan dapat melaksanakan tugas-tugas kehidupan di lingkungan sosialnya.
Artikel ini adalah publikasi tugas mata Praktik Kerja Lapangan 2 Kesejahteraan Sosial dengan Dosen Pengampu: Fajar Utama Ritonga S.Sos., M.Kesos.
Redaktur: Tania A. Putri
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.