Penulis: Daffa Tegar Abdillah Lubis
Suara USU, Medan. Kota Medan merupakan ibu kota dari Provinsi Sumatera Utara yang memiliki luas wilayah 26.510 hektar (265,10 km2 ) atau 3,6% dari total luas wilayah Provinsi Sumatera Utara. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan kota/kabupaten lainnya, Kota Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Kota Medan terdiri dari 21 kecamatan dengan 151 kelurahan yang terbagi atas 2.001 lingkungan. Secara geografis, Kota Medan terletak pada 3° 30’-3° 43’ Lintang Utara dan 98° 35’-98° 44’ Bujur Timur.
Kota Medan menjadi tempat yang strategis dikarenakan berada pada jalur pelayaran Selat Malaka. Maka, kota ini menjadi pintu gerbang untuk kegiatan ekonomi domestik dan mancanegara yang melalui Selat Malaka. Tidak hanya itu, berbatasan langsung dengan Kabupaten Deli Serdang yang merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam mempengaruhi perekonomian Kota Medan. Beberapa sungai mengaliri Kota Medan yaitu Sungai Belawan, Sungai Badera, Sungai Sikambing, Sungai Putih, Sungai Babura, Sungai Deli, Sungai Sulang-Saling, Sungai Kera, dan Sungai Tuntungan.
Peran Satpol PP dalam menegakkan Perda sangat berhubungan dengan adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada saat dilakukan proses penertiban dan bagaimana bentuk pengawasannya terhadap Perda yang dijalankan sesuai dengan Tugas Pokok dan Fungsinya sebagai aparat penegak Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Pada dasarnya, menertibkan pedagang kaki lima berjalan dengan lancar. Namun, ada beberapa hal yang menandakan peranan yang dilakukan oleh Satpol PP dalam menertibkan pedagang kaki lima masih kurang maksimal, dimana masih terdapat banyak pelanggaran pada operasi penertiban pedagang kaki lima dan juga Kota Medan merupakan daerah yang masih banyak PKL yang tidak sesuai aturan. Oleh karena itu, peneliti dengan melihat kepada teori yang telah dirumuskan pada bab sebelumnya memaparkan mengenai “Peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam Menertibkan Pedagang Kaki Lima” berdasarkan pada teori yang diungkapkan oleh Soekanto.
Dalam penyelenggaraan penertiban pedagang kaki lima yaitu sumber daya manusia, dalam hal ini kurangnya keterampilan atau kemampuan dalam komunikasi dan pendekatan. Tidak hanya itu, jumlah personil anggota Satpol PP dalam melakukan penertiban juga sangat kurang, serta keterbatasan anggaran juga merupakan salah satu hambatan internal dalam penyelenggaraan penertiban. Berdasarkan pernyataan di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa sarana dan prasarana yang dimiliki Satpol PP masih sangat kurang sehingga hal ini menjadi hambatan dalam penyelenggaraan penertiban pedagang kaki lima di Kabupaten Asahan. Selain kurangnya sarana dan prasarana, hambatan lainnya dalam pelaksanaan penertiban pedagang kaki lima yaitu jumlah personil Satpol PP yang masih kurang akan keterampilan atau kemampuan dalam melakukan komunikasi dan pendekatan dengan para pedagang, anggaran atau dana yang terbatas, kurangnya kerja sama masyarakat, juga kurangnya kesadaran pedagang kaki lima itu sendiri.
Berdasarkan pengamatan peneliti, yang dirasakan Satpol PP dalam penyelenggaraan penertiban pedagang kaki lima adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk bekerja sama dengan Satpol PP dalam pelaksanaan penertiban pedagang kaki lima di Kota Medan. Penyelenggaraan penertiban pedagang kaki lima masih dilakukan sepihak oleh Satpol PP dan sebagian besar masyarakat masih kurang peduli dalam melaksanakan kerja sama dengan Satpol PP.
Hambatan eksternal lainnya adalah dari pedagang kaki lima (PKL) itu sendiri, kesadaran yang kurang dari para pedagang tentang adanya peraturan yang berlaku sehingga para pedagang kaki lima tetap melakukan aktivitas berjualan yang melanggar dan tidak sesuai dengan tempat yang semestinya. Berdasarkan pernyataan di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa sarana dan prasarana yang dimiliki Satuan Polisi Pamong Praja masih sangat kurang sehingga hal ini menjadi hambatan dalam penyelenggaraan penertiban pedagang kaki lima di Kota Medan. Selain kurangnya sarana dan prasarana, hambatan lainnya dalam pelaksanaan penertiban pedagang kaki lima yaitu jumlah personil Satpol PP yang masih kurang serta keterampilan atau kemampuan Satpol PP dalam melakukan komunikasi dan pendekatan dengan para pedagang, anggaran atau dana yang terbatas, kurangnya kerja sama masyarakat, juga kurangnya kesadaran pedagang kaki lima itu sendiri.
Dengan dipedomaninya hal tersebut, maka permasalah PKL yang ada di Kabupaten Asahan akan sangat mudah diselesaikan karena permasalahan utama sudah ada solusinya yaitu dengan pemberian sarana dan prasarana bagi Satpol PP dan juga para PKL yang dapat menunjang usahanya. Hasil penelitian ini juga memiliki relasi dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Aditya, 2020) yang hasilnya adalah adanya keterbatasan Satpol PP dalam menegakkan Perda.
Praktik Pekerja Sosial dalam Penertiban PKL
Menurut Netting (2004), tahapan praktik pekerjaan sosial berbasis komunitas dilaksanakan melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1. Inisiasi Sosial
Inisiasi sosial merupakan kegiatan yang dilakukan agar akademisi dapat diterima di dalam masyarakat sehingga memudahkan akses dalam proses pelaksanaan praktikum. Inisiasi sosial dilakukan dengan cara melakukan home visit yaitu mengunjungi aparat desa dan tokoh-tokoh masyarakat. Selain itu, juga dilakukan transect walk di lingkungan kawasan pedagang kaki lima di Kota Medan untuk mengenali kondisi wilayah kota, batas-batas wilayah, serta kondisi keseharian kehidupan pedagang kaki lima di Kota Medan.
2. Pengorganisasian Sosial
Pengorganisasian sosial merupakan proses mengidentifikasi struktur pengelompokan sosial dan organisasi-organisasi sosial lokal, melibatkan aspek-aspek potensial untuk menggerakkan masyarakat secara terpadu dan terkoordinasi. Kegiatan pengorganisasian sosial dilaksanakan dengan mengunjungi setiap usaha PKL di kawasan Kota Medan. Tujuan kegiatan ini adalah memberikan pemahaman serta penyadaran akan berbagai permasalahan sosial yang ada serta membahas alternatif-alternatif penyelesaian masalah dengan menggunakan potensi dan sumber yang dimiliki oleh warga pedagang kaki lima Kota Medan. Target yang dicapai dalam tahapan pengorganisasian sosial adalah kesepakatan bersama dengan berbagai dalam melakukan penertiban kawasan pedagang kaki lima di Kota Medan serta mengadakan pertemuan dengan masyarakat dan organisasi lokal yang dapat dijadikan potensi dan sumber dalam menangani permasalahan.
3. Asesmen sosial
Asesmen sosial merupakan proses penggalian informasi terkait isu pedagang kaki lima liar yang ada di Kota Medan. Kegiatan asesmen dilaksanakan dengan media Rembug Warga pada tingkat kota. Teknologi pekerjaan sosial yang digunakan dalam kegiatan Rembug Warga adalah teknologi Methodology of Parcipatory/MPA. Praktikan berperan sebagai fasilitator bagi warga masyarakat dalam menentukan fenomena masalah yang ada di lingkungan pedagang kaki lima di Kota Medan.
4. Penyusunan Rencana Intervensi
Perencanaan dalam praktik pekerjaan sosial pengembangan masyarakat lokal dirumuskan dalam dua tugas yang harus dilaksanakan yaitu perumusan rencana intervensi komunitas dan membangun komitmen kelompok dalam menyukseskan rencana intervensi komunitas dikalangan kelompok pedagang kaki lima.
5. Pelaksanaan Intervensi
Intervensi sosial merupakan tahap dimana rencana intervensi yang sudah dirumuskan dilaksanakan menjadi kegiatan. Terdapat satu kegiatan intervensi yaitu pendampingan sosial.
6. Evaluasi dan Terminasi
Evaluasi adalah suatu proses penilaian keberhasilan intervensi yang sudah dilaksanakan baik dari segi proses maupun pencapaian hasil. Terminasi dilakukan dengan cara melakukan pengakhiran intervensi kepada komunitas yaitu Kelompok pedagang kaki lima di Kota Medan.
Artikel ini adalah publikasi tugas mata Praktik Kerja Lapangan 2 Kesejahteraan Sosial dengan Dosen Pengampu: Fajar Utama Ritonga S.Sos., M.Kesos.
Redaktur: Tania A. Putri
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.