SUARA USU
Sastra

Yang Harus Dilindungi (Bagian 2)

Sebelumnya di bagian pertama…


“Iss kan bercanda terus lah. Gini gini, masyarakat yang tinggal di perbatasan NTT dibunuh massal.”
Aku sedikit terkejut, “Wah, tragedi jenis baru nih! Apa mereka membunuh ras tertentu? Atau ada lingkup target jenis lain?”
“Gak, Bang. Mereka gak ngelakuin kejahatan genosida. Soalnya ada masyarakat Toraja dan Jawa yang tinggal disana dan mereka dihabisi juga loh? Lingkupnya ya itu tadi, masyarakat yang tinggalnya di daerah perbatasan. Mereka semua terbunuh, se-mu-a-nya,” jelas Syahnaz.
Aku memberhentikan makanku  dan menaruh sendok, “Berarti ini bukan perang antar suku. Gimana sama pelakunya?”
“Pelakunya belum ketemu. Oh iya ada satu lagi yang lebih penting. Tragedi ini sebenarnya udah terjadi kira kira dua minggu lalu dan yang tau pertama kali adalah tukang sayur yang datang dari daerah sebelah untuk jualan disitu. Bayangkan kalo tukang sayur tadi gak datang datang, yah tragedi ini gak akan sampai ke kita, Bang.”
Aku terheran. Terjadi pembunuhan massal dan ketahuan setelah dua minggu?

CERBUNG DITULIS OLEH M. NAUFAL ADLY 

Ilustrasi oleh Supri Alvin 


Syahnaz melanjutkan, “Mungkin pelakunya membunuh masyarakat tanpa ngasi mereka kesempatan sedikitpun, untuk ngelapor atau ngehubungi orang diluar daerah itu. Ya, terlebih lagi komunikasi di daerah perbatasan kan agak sulit dan kurang terpantau pemerintah. Kemungkinan, pembantaian mereka berlangsung cepat dan tak terduga.”


“Hemm..  Nanti abang coba pikirkan tragedi itu. Kita lanjutin makannya dulu ya..?” aku kembali mengambil sendokku dan melanjutkan sarapanku. Hal yang dikatakan Syahnaz tadi sebenarnya tidak ingin kupikirkan, namun entah kenapa itu pula yang terus terbayang-bayang.

—–

Malamnya, Alamsyah menghubungiku lewat HT.
“Mumbang Singkawang. Alamsyah disini. Ganti.”
“Pesut Mahakam. Adly disini. Ada apa?”
“Aku ada di tiga kilometer sebelah timur laut pos perbatasan. Aku menemukan sesuatu. Aku mau kau yang langsung melihat ini.”
“Yaudah aku langsung kesana,” kataku sambil menutup komunikasi.
Aku kemudian pergi berjalan ke kamar. Kulihat Syahnaz sedang tertidur lelap seperti melepas semua lelahnya. Kuputuskan untuk tidak membangunkannya dan pergi tanpa pamit.
     “….Kemungkinan, pembantaian mereka berlangsung cepat dan tak terduga.” 


     “Kayaknya ada yang gak beres..”
Sesampainya disana, tak ada aku mendapati Alamsyah. Aku hanya mendapati lapangan dengan sedikit pohon dan pastinya dihiasi keheningan. Aku langsung menghubungi Alamsyah kembali.
“Pesut Mahakam. Adly disini. Kau dimana?”
“Mumbang Singkawang. Alamsyah disini. Aduuhh emm aku pikir tadi kau gak datang karna kau lama kali nyampenya. Aku udah di pos perbatasan sekarang. Aku udah bawa barang buktinya kok.”
“Kau sih gak sabaran. Aku udah kebut kebutan datang sepuluh menit kesini pake motor, kau malah balik. Lagipula kalo kau bisa bawa barangnya sendiri, ngapain kau suruh aku datang kesini sih?! Lalu kenapa kau menghubungiku dan gak menghubungi Koramil?”
“Udah jangan diperpanjang lagi lah, langsung aja kau kemari,” kata Alamsyah sambil menutup komunikasinya.


“Ah, ini membuang-buang waktuku. Harus berapa menit lagi aku kesana,” gerutuku.
“Alamsyah, gak biasanya ia kayak gini. Sebelumnya, ia gak pernah mempermainkanku.”
Aku langsung memacu motorku dan berangkat ke pos perbatasan. Setelah kira-kira lima belas menit berkendara, aku sampai disana. Ternyata tidak ada orang juga. Aku mulai jengkel dengan Alamsyah yang terus mengerjaiku. Aku langsung mengeluarkan HT-ku dan mencoba menghubunginya. Namun tiba tiba aku merasakan ada yang mencoba mendekatiku dari belakang. Perlahan-lahan aku menoleh..
Alangkah terkejutnya aku ketika sudah ada tiga orang memegang senapan laras panjang dan sudah dibidikkan ke arahku. Spontan aku langsung melompat mundur dan mengeluarkan pistolku. Kubidikkan ke salah satu dari mereka. Kupandangi seragam mereka, seragam tentara Malaysia.
“Ape pasal kau orang buat macam ni?” kataku mencoba berbahasa Malaysia kepada mereka.
 “Gakusah sok sok bicara bahasa Malaysia kalo memang gak bisa. Kami sendiri bisa bahasa Indonesia dan kau juga tau itu,” jelas seseorang yang datang dari belakang.
Fathur rupanya. Alamsyah juga berada di sampingnya. Betapa terkejutnya aku hingga aku tak bisa berkata apapun.


“Sengaja kami memintamu kesini agar kau dapat menikmati semua ini,” Fathur menoleh ke satu arah. Dari arah yang dilihatnya, terlihat seperti ada rombongan yang berjalan kemari namun jalannya tertatih-tatih. Lama kelamaan mereka sampai, hingga wajah mereka terlihat dan ternyata aku mengenal mereka semua.
Ya, mereka adalah warga lokal yang tinggal di wilayah perbatasan.
“Fathur? Hei, Fathur?!!  Kenapa kau sebenarnya?! Kenapa kau tangkap mereka mereka ini?! Mereka bukan penggeser patok, mereka warga lokal..!!” bentakku meyakinkan ia.
“Memang bukan. Aku dan Alamsyah yang menggeser patok itu.”
“Pantas dia gak menghubungi Koramil. Dia memang ingin menjebakku disini.”
“Sedikit jasa dengan upah banyak. Siapa yang tidak mau? Aku rasa kau sendiri juga begitu.”
“Kau disogok, Fath? Hah?!! Mana harga dirimu sebagai prajurit, Fath??!! Sampe mudah kali kau copot harga dirimu cuma karna uang, Fath.. Sadar kau, Fath. Sadar,” aku mencoba membuatnya tersadar.


“Terserah dengan semua omong kosongmu. Ohya, masih ada satu aktris lagi yang belum kami mainkan,” kata Fathur.
Aku terheran, tak mengerti maksudnya.
“Ad, kau tau? Adalah sebuah kesalahan, ketika kau bilang kalo istrimu dalam keadaan hamil.”
“Kesalahan? Ahh..!” aku mengingat sesuatu.
“Wah, iya juga ya. Gak terasa ya dia udah hamil sembilan bulan. Kau sih, jarang kasi kabar tentang dia.”
“Kau hampir tidak pernah menceritakan orang orang yang kau sayangi kepada kami, termasuk istrimu. Karena itulah, ketika aku tau istrimu hamil, aku sedikit merasa senang.”
“Senang? Kenapa?”
“Karena aku bisa membunuh dua nyawa dalam sekali cetus. Alamsyah, bawa dia kemari..!!”
Kulihat kemana Alamsyah berjalan. Ia berjalan ke sebuah pohon besar. Di batang pohon itu ada selilit tali tambang. Di sisi pohon yang berbeda terlihat seperti ada seseorang yang terikat oleh tali itu, tapi aku tidak bisa melihat siapa dia. Lalu, Alamsyah melepaskan ikatan itu dan menarik seeorang yang tadi terikat disitu.

“Syahnaz..?!”

Related posts

Perempuan Pelangi

redaksi

Rumah

redaksi

Titik Terang di Ujung Semester

redaksi