Oleh: Chairani
Suara USU, Medan. Beasiswa idealnya merupakan bentuk apresiasi dan dukungan pemerintah kepada individu yang memiliki potensi, kemampuan akademik, dan semangat tinggi, tetapi terkendala oleh keterbatasan ekonomi. Di Indonesia, pemerintah menyiapkan berbagai program beasiswa yang digadang sebagai solusi dari masalah pemerataan akses pendidikan, khususnya bagi mereka yang berasal dari kalangan kurang mampu. Namun, pertanyaan yang kerap muncul ialah “Apakah beasiswa benar-benar diperuntukkan kepada mereka yang berprestasi, atau justru menjurus pada mereka yang memiliki relasi?”.
Di perguruan tinggi, banyak program beasiswa yang disediakan pemerintah kepada para mahasiswa seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, Beasiswa Pendidikan Indonesia, Beasiswa Indonesia Maju, Beasiswa LPDP, Beasiswa Unggulan, Beasiswa ADik (Afirmasi Pendidikan Tinggi), Beasiswa Indonesia Bangkit, Beasiswa Aperti BUMN, hingga yang terbaru Beasiswa BPI-Asrama Mahasiswa Nusantara (AMN). Banyaknya program beasiswa yang disediakan oleh pemerintah dengan adanya perbedaan persyaratannya masing-masing, pada kenyataannya belum mampu untuk menyokong pemerataan akses terhadap pendidikan. Hal ini disebabkan masih banyaknya kasus beasiswa yang tidak tepat sasaran bagi penerimanya.
Dalam banyak kasus, mekanisme seleksi dan pemberian beasiswa sering kali menjadi sorotan karena dianggap melanggar prinsip meritokrasi. Beberapa program beasiswa sering kali tidak transparan dalam proses seleksi, memberikan informasi yang tidak jelas, kriteria penerima yang ambigu, hingga penilaian yang subjektif dapat menjadi celah bagi praktik-praktik kotor seperti nepotisme.
Relasi bagaikan pedang bermata dua. Adanya relasi menjadi privilege yang mencederai moralitas. Fenomena ‘orang dalam’ bukan lagi hal asing yang kita dengar. Individu yang menerima beasiswa melalui jalur koneksi mungkin merayakan keberhasilan secara pribadi, tetapi bagaimana keadaan mereka yang benar-benar membutuhkan? Ketika jalur orang dalam ini dilegitimasi secara diam-diam, ada pesan yang disampaikan kepada masyarakat bahwa, “Kerja keras dan dedikasi tidak cukup jika Anda tidak memiliki akses khusus”. Praktik-praktik seperti ini merusak kredibilitas institusi pemberi beasiswa.
Di sisi lain, adanya rekomendasi dari pihak tertentu seperti dosen maupun pihak dari tim seleksi, memang diperlukan untuk memastikan integritas penerima beasiswa. Namun, ketika relasi menjadi satu-satunya faktor penentu dalam menentukan siapa yang layak menerima beasiswa, maka nilai-nilai demokrasi akan tergadaikan. Mereka yang seharusnya berhak mendapatkan kesempatan sering kali tersingkir karena tidak memiliki ‘akses khusus’.
Pemerintah, pihak universitas, dan lembaga pemberi beasiswa, harusnya merasa malu jika program beasiswa yang mereka sediakan dicurigai sebagai arena untuk unjuk kehebatan orang dalam. Pemerintah maupun pihak terkait mesti berbenah dalam menyoroti beasiswa yang tidak terarah. Kepercayaan publik merupakan aset yang berharga, karena sekali saja dilumuri dengan praktik yang tidak etis, sulit untuk meraih kepercayaan itu kembali. Oleh karenanya, pertanyaan “Beasiswa itu untuk siapa?” tidak diperbolehkan menggantung di udara. Jawabannya harus lantang: untuk mereka yang berprestasi dan benar-benar membutuhkan, bukan hak mereka yang memiliki orang dalam.
Jika kita tetap membiarkan praktik-praktik kotor berlangsung tanpa perlawanan, maka kitalah yang sedang mendukung sistem yang menghancurkan falsafah negara kita sendiri, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Jika hal ini dibiarkan, maka beasiswa bukan lagi menjadi simbol harapan, melainkan cerminan dari ketidakadilan yang terus dipelihara.
Redaktur: Duwi Cahya
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.