Penulis : Tabas Gabe Mulia Siagian
SUARAUSU, Medan. Sudah beberapa bulan berlalu begitu saja tanpa menikmati hawa bebas seperti kehidupan biasanya. Angin berlalu menyitari kehidupan yang tanpa memberikan efek kebahagiaan, sulit untuk menjerit mengatakan kami lelah menghadapi jalan kehidupan ini. Namun, secercah kekuatan dan harapan masih kami miliki. Kami tidak dapat menikmati kehidupan karena begitu banyak jeritan hati yang tak kunjung usai hingga dihiraukan begitu saja.
Kami manusia yang butuh kasih sayang dari ibu Pertiwi, tiada kata yang bisa kami ucapkan, hanya kerja keras yang bisa kami lakukan demi mencari sesuap nasi segenggam berlian. Detik demi detik kami selalu mencari bantuan sosial apalagi di tengah pandemi seperti ini, kian hari ekonomi semakin sulit. Bantuan sosial mulai terdengar dari segala penjuru, tapi apa daya hanya sedikit dari kami yang mendapatkannya atau katakan saja pembagian yang tidak merata.
Pertanyaan, Jika hari ini kami mendapatkan bantuan dari Pemerintah Daerah sampai kapankah kami akan bertahan? kami hanya dapat melihat cermin dan mengatakan apakah kami kuat menghadapi hidup ini? Jawaban akan ditemukan jika kami dibebaskan untuk bekerja dan keluar dari peraturan yang ada pada masa Lockdown seperti ini. Kami orang pinggiran yang hanya dapat melawan peraturan itu, karena kami masih berharap untuk bisa bernapas dan menikmati kehidupan layak kedepannya. Kami tidak sanggup berdiam diri di rumah, kebutuhan selalu datang menghampiri sebelum detak jantung terhenti. Dan kami harus terus berjuang sebisa dan sekuat tenaga yang kami punya.
Manis gula tak semanis kehidupan kami, pahitnya kehidupan melebih pahitnya buah pare. Jalan hidup hanya waktu yang menentukan, melirik dan menangis hal biasa bagi kami. Hanya usaha dan berdoa yang bisa kami lakukan untuk mendapatkan sesuap nasi. Rel bagaikan kehidupan kami, yang hanya menerima tekanan dari luar dan menikmati teriknya matahari. Begitu juga dengan pekerjaan yang kami jalani, begitu banyak ragam pekerjaan yang kami punya namun semua dilakukan di bawah teriknya mentari. Beberapa pekerjaan yang kami lakukan yakni bertani, memelihara ternak, pemulung, menarik becak, menjual koran, kenek bangunan, dan juru parkir.
Setiap hari air mengalir di kening dan tangan bertugas untuk mengusapnya, Rasa lelah dan letih tak kami hiraukan demi bisa meraih jembatan emas kedepannya. Tiap hari hanya tawa dan candaan yang keluar dari benak ini untuk melepaskan sedikit rasa kesakitan akibat dari perihnya hidup. Cobaan selalu datang menghampiri dan kami hanya bisa mengatakan dalam hati kecil “Kapan cobaan ini bisa memiliki akhir yang bahagia?” Namun, kami mengerti kebahagiaan tidak dapat datang dengan sendirinya, maka dari itu kami harus menjemputnya.
Kami berharap kebahagiaan selalu berpihak dengan kami, melanjutkan hidup tanpa harus memikirkan hari esok makan atau tidak.
Redaktur : Putri Narsila
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.