Repoter: Maria P.S Simatupang
Suara USU, Medan. Dalam setiap kelompok masyarakat, pasti ada banyak budaya unik yang menjadi ciri khas. Budaya ini diwariskan dari generasi ke generasi dan menjadi pedoman dalam menjalani hidup. Salah satu budaya yang menarik untuk dibahas adalah budaya masyarakat Batak. Mereka dikenal dengan karakter yang tegas dan pekerja keras. Budaya ini tercermin dalam berbagai umpama, umpasa, dan filsafah 3H yang menjadi pegangan hidup mereka.
Filsafah 3H ini sudah menjadi tradisi dan selalu ditekankan kepada anak-anak Batak. Hal ini dianggap sebagai pencapaian yang diidam-idamkan oleh semua orang Batak. Misalnya, ada lagu yang dinyanyikan oleh musisi Batak, Victor Hutabarat, berjudul “Anakkon Hi Do Hamoraon Di Au.” Lagu ini menggambarkan bagaimana ambisi, kerja keras, dan kerelaan orang tua untuk melakukan apa saja agar anaknya bisa bersekolah setinggi-tingginya dan mencapai tujuan yang masih berkaitan dengan 3H tersebut.
Lagu ini benar-benar menyentuh. Bayangkan, seorang ayah atau ibu rela bekerja keras demi masa depan anaknya. Mereka mengorbankan banyak hal, termasuk waktu dan tenaga, hanya untuk memastikan anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang terbaik. Ini adalah salah satu contoh nyata bagaimana nilai-nilai budaya ditanamkan dan dijaga oleh masyarakat Batak.
Filsafah 3H ini mencakup tiga hal penting: Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (keturunan), dan Hasangapon (kehormatan). Hamoraon, yang artinya kekayaan, mencakup memiliki banyak harta dan juga pengetahuan. Ini menjadi salah satu faktor yang mendorong masyarakat Batak menjadi sosok ambisius dan pekerja keras. Bekerja dari matahari terbit hingga terbenam sering dilakukan karena mereka percaya bahwa kerja keras akan membawa banyak kekayaan, baik dalam bentuk material maupun pengetahuan. Hagabeon, yang berarti memiliki keturunan dan beranak cucu, juga diartikan sebagai “diberkati karena keturunan.” Masyarakat Batak memaknai bahwa memiliki banyak anak akan membawa banyak keberuntungan dan rezeki. Hasangapon, yang berarti memiliki kehormatan dan kewibawaan, diperoleh melalui pendidikan yang tinggi. Itulah sebabnya orang tua Batak selalu bekerja keras untuk memberi pendidikan setinggi-tingginya kepada anak-anak mereka. Mereka percaya bahwa semakin tinggi pendidikan anak, semakin besar peluang mereka untuk mendapatkan status sosial yang tinggi di tengah masyarakat.
Ketiga nilai ini selalu sejalan dan berkaitan. Untuk mencapai hasangapon, seseorang harus mencapai hamoraon dan hagabeon terlebih dahulu. Jika dipahami lebih mendalam, nilai-nilai dalam filsafah ini tidak hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah bekerja atau berkeluarga. Pemahaman dan penerapan konsep 3H dalam kehidupan sehari-hari juga sangat berpengaruh terhadap motivasi mahasiswa dalam perkuliahan. Nilai-nilai ini mendorong mahasiswa untuk rajin, tekun, mandiri, kritis, dan pekerja keras dalam mengejar pendidikan dan cita-cita mereka. Dengan begitu, mahasiswa akan memiliki motivasi tinggi untuk menyelesaikan pendidikan sebagai bentuk penghormatan kepada orang tua dan bekal awal untuk meraih 3H tersebut.
Pendidikan membuat kita lebih berkembang dan lebih bijak dalam berpikir dan bertindak. Mahasiswa tidak hanya berkembang secara intelektual, tetapi juga harus mampu menyeimbangkan antara akademik, harta, sosial, dan spiritual. Seperti salah satu umpama Batak yang menyebutkan “Mata guru, roha sisean,” yang artinya jadikan mata sebagai guru kemanapun kita melangkah dan hati nurani sebagai pedoman hidup. Umpama ini juga dapat diterapkan oleh mahasiswa untuk selalu menggunakan hati, akal sehat, dan emosional positif dalam mengambil keputusan yang menyangkut diri sendiri maupun orang lain. Hal ini sejalan dengan nilai yang terkandung dalam “Pantun hangoluan, tois hamagoan,” yang artinya sopan santun membawa kehidupan, kesombongan membawa malapetaka.
Redaktur: Feby Simarmata
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.