Penulis : Annissa Kamila M.
SUARAUSU,Medan. Libur lebaran kamu mau dapat kado apa? Untuk seluruh rakyat Indonesia, pemerintah siapkan 4 kado istimewa sebagai kado lebaran yaitu 4 rancangan undang-undang (RUU) akan disiapkan menjadi produk undang-undang sebelum Idul Fitri tahun 2020. Salah satu RUU tersebut adalah Cipta Lapangan Kerja atau sering di dengar dengan Cilaka, dimana diganti menjadi RUU Cipta Kerja (Cika). Sebenarnya apasih Omnibus Law itu?
Merujuk pada Duhaime Law Dictionary, Omnibus Law adalah untuk semua, yaitu sebuah metode yang bertujuan untuk memberikan harmonisasi dan menjadikan satu kesatuan agar terhindar dari ketidaknyamanan. Pemerintah optimis bahwa penerapan Omnibus Law RUU Cilaka akan mendorong hasil positif bagi laju ekonomi Indonesia, membuka lapangan pekerjaan untuk 7 juta masyarakat di Indonesia. Draf RUU ini berisi 1028 halaman membahas beberapa hal mulai dari investasi, ketenagakerjaan hingga jaminan sosial
Istilah omnibus law sendiri cukup asing di Indonesia yang menganut konsep civillaw system yang jelas lebih mengenal kodifikasi dibandingkan omnibus law. Disamping itu, substansi ini pertama kali dibawakan oleh Presiden Jokowi untuk memperlancar investasi di Indonesia. Pembahasan RUU ini dinilai tergesa-gesa dalam mempublikasi hasil penyusunan naskah akademik dan draf serta diskusi yang dilakukan hanya melibatkan satu sumber daya manusia (sdm) yaitu pengusaha. Padahal ada beberapa sdm yang mendukung berkembangnya sektor investasi di Indonesia.
Menurut Menteri Koordinator Publik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD ada kesalahan dalam pengetikan naskah dalam salah satu pasal dari RUU Cilaka tersebut. Pernyataan tersebut menuai polemik, salah satu substansi yang menjadi sorotan adalah Pasal 170 berada dalam BAB XIII. Apabila dibahas mulai dari ayat (1) yang berbunyi “Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan undang-undang ini, pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang ini dan atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam undang-undang ini.”. Hal ini menimbulkan kontroversi, yaitu pemerintah pusat dapat mengubah ketentuan yang berlaku dalam UU. Apabila ayat ini di implementasikan, maka trias politika memiliki potensi melanggar regulasi yang berjalan dalam sebuah prinsip demokrasi.
Pada ayat (2) dari pasal yang sama, yaitu berbunyi “Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”. Bila dilihat melalui UU Nomor 12 Tahun 2011 pasal 7 ayat (2), yang menyatakan bahwa hirarki PP dibawah UU. Jelas ayat ini menimbulkan dualisme bagi masyarakat yang membaca. Dalam hirarki perundang-undangan, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi adalah menjadi sebuah acuan dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyalahi yang lebih tinggi.
Pada ayat (3) yang berbunyi, “Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia.”. Bila digaris bawahi pada ayat ini, kata ‘dapat’ merujuk pada sesuatu yang bersifat alternatif. Namun yang menjadi polemik adalah dua sisi yang sama-sama didukung oleh petahanan dan tidak ada oposisi dalam perundingan tersebut sehingga mampu menghadirkan keseimbangan. Hal ini jelas tidak paripurna.
Pemerintah memiliki cita-cita serta niat baik dalam merumuskan draf RUU ini. Tujuan omnibus law yang tertulis dalam rancangan undang-undang cipta kerja (Cika) ini didasari atas asas pemerataan hak, kepastian hukum, kemudahan berusaha, kebersamaan, dan kemandirian. Namun, dibalik itu semua masih banyak hal yang perlu dikaji secara mendalam, melakukan pendekatan-pendekatan yang lebih objektif dan tidak melahirkan sebuah draf yang terburu-buru untuk menjadi sebuah hadiah bagi Idul Fitri masyarakat tahun ini.
Dalam perancangan omnibus law butuh waktu bertahun-tahun dalam pembahasannya. Omnibus law adalah langkah yang baik, namun isi dan substansinya harus dikaji ulang dan mempertimbangkan kesejahteraan rakyat. Sebelum adanya perundang-undangan baru, harus ada naskah akademik yang menerangkan latar belakang dibentuknya peraturan tersebut dan harus diberitahukan kepada masyarakat agar tidak timbul persepsi ketidakterbukaan pemerintah pada masyarakat. *) Di sarikan dari artikel Tirto.id
Redaktur Tulisan : Putri Narsila
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.