SUARA USU
Opini

Indonesia, Negara Agraris yang Defisit Pangan

Penulis: Kurniadi Syahputra

SUARA USU, MEDAN. Layaknya sebuah dongeng, sejak kecil tentu kita sudah dikisahkan oleh orangtua dan guru-guru kita bahwa Indonesia merupakan sebuah negara agraris. Negara hijau yang apabila tanahnya dilempar tongkat kayu dan batu niscaya menjadi tanaman. Namun, benarkah demikian?

Perkebunan dan persawahan hijau saat ini memang masih dengan mudah kita temui di sekitar kita. Atau setidaknya, sejauh mata memandang, perkebunan dan persawahan masih sangat dominan terlihat. Khususnya untuk orang-orang yang masih tinggal di pedesaan.

Untuk kita kalangan mahasiswa yang kurang mengerti dan malas menelisik lebih jauh urusan “dapur”, tentu masih merasa “Ah, di negara kita masih gampang cari beras dan kebutuhan pangan lainnya kok”. Tetapi, pernahkah terbesit di fikiran kita,dari mana semua kebutuhan pangan yang biasa kita beli ini berasal? Apakah memang negara kita masih bisa memenuhi semua kebutuhan pangan yang bersumber dari negara yang katanya agraris ini? Lantas, kenapa cangkul dan beras yang kita beli seringkali tertulis produksi luar negeri?

Beberapa hari yang lalu, pemerintah mengumumkan bahwa semasa pandemi covid-19 ini, ada 7 provinsi yang defisit pangan. Dan 27 provinsi lainnya masih surplus dan aman. Sebagai orang awam, tentu kita hanya mengamini apa yang dikatakan pemerintah. Tetapi yang seringkali jadi pertanyaan, jika neracanya surplus, seharusnya persediaan komoditas pertanian bisa terjaga sehingga tidak ada kelangkaan dan tidak perlu adanya impor bukan? Menelisik jawaban pertanyaan yang sebelumnya, mari kita lihat data mengenai surplusnya neraca perdagangan pertanian.

Mengacu pada data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), volume dan nilai ekspor produk pertanian Indonesia selama periode Oktober-Desember 2019 mengalami peningkatan yang signifikan, yakni sebesar 8,66 persen dan 10,9 persen. Pada periode tersebut, surplus neraca perdagangan produk pertanian Indonesia juga mengalami peningkatan sebesar 34,72 persen, dibandingkan tahun 2018. Tetapi ketika kita lihat melalui masing-masing sub sektor, barulah akan kita temui permasalahannya. Data tersebut menunjukkan bahwa sub sektor pertanian yang mengalami surplus sebenarnya adalah sub sektor perkebunan saja. Lebih rinci, perkebunan sawit mendominasi ekspor terbesar dari negara kita. Sementara sub sektor yang menjadi juru kunci ketahanan pangan masyarakat; tanaman pangan seperti beras, kedelai dan holtikultura serta sub sektor peternakan, justru mengalami defisit.

Defisit neraca perdagangan pertanian yang terjadi pada sub sektor tanaman pangan, holtikultura, dan peternakan yang merupakan bagian terpenting dari unsur ketahanan pangan tentu menjadi polemik. Karena kebutuhan pangan merupakan kebutuhan mendasar yanng tidak dapat ditekan begitu saja, sehingga ketika angka produksi terbatas, lagi-lagi impor jadi pilihan yang wajib dilakukan. Tetapi, jika hal seperti ini terus dibiarkan, tentu tiadalah ujungnya permasalahan ini.

Meningkatnya produksi sub sektor perkebunan tentu tidaklah dapat disalahkan, asal pula dapat bersamaan dengan meningkatnya sub sektor tanaman pangan, holtikultura, dan peternakan yang defisit tersebut. Namun, lagi-lagi yang menjadi pertanyaan dan kenyataan, dapatkah sub sektor yang defisit tersebut dapat diatasi segera dengan kondisi wabah yang terjadi sekarang ini? Karena pada realita dan data yang terjadi di lapangan, luas sawah dan lahan untuk beternak kian hari kian berkurang.

Berdasarkan data BPS, luas lahan baku sawah dan pertanian justru terus menurun. Pada 2018, luasnya sekitar 7,1 juta hektare. Luas itu turun dibandingkan 2017 yang masih 7,75 juta hektare. Tentu ini merupakan berita buruk mengingat wabah dan defisit pangan yang terjadi saat ini.

Patut diduga dan berdasarkan berita yang sering muncul belakangan ini, bahwa konflik lahan antara petani dan pihak industri yang pada akhirnya dimenangkan pihak industri, menjadi salah satu penyebab terus menyusutnya lahan pertani dan peternakan kita.

Belakangan, pemerintah pun mulai menyadari bahwa lahan pertanian memang sangat dibutuhkan untuk mengatasi krisis pangan dan pandemi corona yang belakangan ini terjadi. Melalui BUMN, pemerintah mulai mencanangkan untuk mencetak sawah baru. Kemungkinan besar di lahan basah, seperti rawa dan gambut.

Namun, mengutip Mongabay.co.id masih banyak problematika yang harus diselesaikan seperti membuka lahan sawah di lahan gambut rentan gagal, dan proses pembuatan sawah baru juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Perlu waktu setidaknya 3 tahun agar sawah benar-benar siap untuk produksi.

Selama pandemi corona ini, tentu kebutuhan akan pangan terus meningkat. Oleh sebabnya, sudah menjadi tanggung jawab pemerintah dan kita bersama untuk menjaga dan melestarikan petani dan peternak yang ada di Indonesia. Agar kelak sebutan “Negara Agraris” tersebut tidak hanya ucapan belaka, melainkan dibuktikan dengan swasembada pangan yang meliputi semua sub sektor. Mulai dari perkebunan, tanaman pangan, holtikultura, dan juga peternakan.



Redaktur: Yulia Putri Hadi

Related posts

Jangan Sampai Rasa Insecure Membuatmu Merendahkan Diri Sendiri

redaksi

Penerapan E-Tilang dalam Lalu Lintas, Apakah Efektif?

redaksi

Ayo, Ubah Gaya Hidup untuk Menjaga Bumi!

redaksi