SUARA USU
Opini

Jalani Tes Kepribadian di Internet, Self-Diagnosis Berujung Penyakit Mental

sumber: gensindo.sindonews.com

Oleh: Valeshia Trevana

Suara USU, Medan. Istilah self-diagnosis bagi beberapa orang sudah tidak asing lagi, bahkan beberapa dari kita juga pernah melakukan self-diagnosis ini. Self-diagnosis adalah mendiagnosis diri sendiri mengidap sebuah gangguan atau penyakit berdasarkan pengetahuan diri sendiri atau informasi yang didapatkan secara mandiri.

Banyak kita jumpai remaja yang mendiagnosa dirinya terkena penyakit gangguan mental hanya dari tes kepribadian yang tersebar di internet. Hal ini disebabkan oleh tekanan-tekanan di sekeliling remaja ini yang membuatnya berpikir bahwa mereka memiliki gangguan mental yang sebenarnya tidak ada. Self-diagnosis dapat memperparah kondisi yang mereka alami melebihi kondisi sebenarnya. Mental illness dapat berkembang akibat seorang terlalu khawatir dan dapat berlanjut, menyebabkan kondisi lain yaitu overthingking. Seseorang yang awalnya tidak mengidap penyakit mental pun dapat merasa bahwa ia mengidap penyakit mental apabila terlalu melebih-lebihkan perasaan khawatir.

Self-diagnosis ini bisa terjadi akibat kurangnya inisiatif dari si penderita untuk menelaah informasi dengan benar, karena sebenarnya tidak semua informasi yang disajikan di internet adalah fakta dan valid. Sering kali kita sebagai pengguna dengan mudahnya tersugesti dan mencocokkan gejala yang ada dengan keadaan diri sendiri, padahal hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Untuk menghindarinya, kita harus pandai memilah dan menelaah informasi yang kita dapat.

Gejala yang sering juga disalahartikan oleh banayak orang adalah mood swing  yang mana dianggap oleh banyak orang sebagai gelajala manic depressive atau bipolar disorder sedangkan para psikolog menjelaskan mood swing merupakan salah satu dari banyaknya gejala penyakit klinis  seperti borderline personality disorder dan depresi lainya.

Sebagian masyarakat enggan untuk berkonsultasi dengan psikolog dikarenakan adanya stigma yang beredar  di masyarakat menyebut orang yang berkonsultasi dengan psikolog adalah orang gila. Istilah ini kurang tepat untuk digunakan, halusnya adalah “orang dengan gangguan kejiwaan”. Akan tetapi, tidak semudah itu mengubah stigma yang sudah melekat dalam diri masyarakat. Untuk menghindari hal ini, perlu dihilangkan stigma yang telah melekat di dalam pemikiran orang zaman sekarang yang masih berpikir bahwa hanya ‘orang gila’ yang menemui psikolog.

Self-diagnosis sebenarnya dapat membantu memberikan gambaran mengenai diri seorang, namun jika tidak ada tindak lanjut dari orang yang profesional di bidang ini, maka self-diagnosis itu bisa berbahaya dan berdampak pada kesehatan seorang.

Dampak pertama dari self-diagnosis adalah terganggunya kesehatan mental penderita, yang membuat si penderita mengalami kecemasan yang berlebihan. Misalnya nafsu makan penderita mulai menurun, kemudian si penderita mencari alasan mengapa nafsu makannya mulai menurun di internet dan mendapatkan informasi bahwa nafsu makan menurun merupakan gejala awal dari penyakit Liver. Setelah membaca infomasi tersebut, penderita mengalami stres karena cemas ia mengidap penyakit Liver, padahal sebenarnya ia tidak mengidap penyakit tersebut.

Self-diagnosis juga bisa membuat masalah kesehatan mental tertentu menjadi tidak terdiagnosis. Gangguan mental biasanya tidak muncul sendirian, melainkan juga disertai oleh gangguan mental lainnya. Misalnya penderita merasa cemas dan berasumsi bahwa mereka mengalami gangguan kecemasan, kemudian gangguan kecemasan itu menutupi gangguan depresi yang dimilikinya.

Selain itu, kesalahan dari penanganannya bisa terdapat kesalahan. Misalnya, kamu berisiko mengonsumsi obat ilegal. Obat-obatan tersebut selain ilegal, juga barangkali menimbulkan efek samping, interaksi obat, kesalahan dalam cara konsumsi, hingga kesalahan dosis.

Mencari informasi di internet ketika sedang merasakan gejala dari penyakit tertentu memang diperbolehkan, tetapi jangan sampai informasi yang ditemui di internet tersebut tidak valid sehingga kita mengalami kecemasan berlebihan. Bahkan, bukan tak mungkin terjadi kesalahan penanganan yang bisa membuat gejala semakin buruk atau berakibat fatal. Tetapi gunakanlah informasi tersebut sebagai bekal ketika kita memeriksakan penyakit yang sedang di alami ke dokter untuk mendapat penanganan yang tepat.

Redaktur: Yessica Irene


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

Filosofi 3H, Pilar-Pilar Kekuatan dalam Hidup Orang Batak

redaksi

Linus: Transportasi Penolong Mahasiswa, Sudah Layakkah?

redaksi

Mengikis Budaya Keterlambatan, Sebuah Tuntutan untuk Kehidupan yang Lebih Produktif

redaksi