SUARA USU
Kabar Kampus

Kebiri Kimia: Bentuk Kemunduran Hukum atau Langkah Awal Menggapai Kepastian Hukum?

Penulis: Josephine C.L. Siahaan

Ilustrasi: Marhaenis Clara

Suara USU, MEDAN. Hukuman Kebiri bagi Pelaku Kejahatan Seksual dewasa ini banyak menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Beberapa pihak tidak setuju dengan hukuman ini dengan alasan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran kode etik dokter, dan lainnya. Sebaliknya beberapa pihak setuju dengan alasan melindungi generasi bangsa dan memberikan efek jera bagi mereka kaum yang menolak hukuman kebiri.

Mundur beberapa waktu kebelakang, di zaman ketika banyak wilayah menganut sistem kerajaan, ada beberapa kerajaan yang memakai sistem hukuman ini. Tetapi pada akhirnya penghukuman ini harus diganti dengan hukuman kurungan karena dianggap tidak menimbulkan efek jera. Jadi dengan diterapkannya hukuman ini apa artinya kita kembali ke zaman baheula?

Tentu tidak, karena pada konteksnya, hukum harus berkembang sesuai kebutuhan dan perkembangan dengan zamannya. Kita tidak bisa mematok bahwa hukum yang satu lebih buruk dan yang lain lebih baik dengan perbandingan sekarang dan dulu.

Banyak perbedaan yang tidak kita ketahui dan temui di masa lampau. Akan tetapi, kita semua pasti tahu betul situasi dan kondisi masa kini. Sangat miris ketika mendengar berita pria bernama Muhammad Aris memperkosa 9 anak dibawah umur atau bahkan berita pemerkosaan anak di Sikka sejak ia berada di bangku SD sampai SMA.

Hal ini menjadi suatu kegelisahan ditengah masyarakat. Tetapi masih saja ada pihak-pihak yang menolak hukuman kebiri dengan alasan melanggar HAM. Berbicara tentang pelanggaran HAM, seharusnya pihak-pihak yang menolak hukuman ini sadar bahwa hak dari anak-anak yang dilecehkan atau diperkosa itu juga sudah dilanggar HAM-nya.

Bukan hanya melanggar hak dari korban, para predator anak ini juga merusak generasi penurus bangsa, menciptakan trauma sejak kecil, menghancurkan rasa percaya, dan merusak mental. Memang benar telah ada payung hukum yang mengatur hukuman terhadap tindak kekerasan seksual, namun penerapannya masih belum maksimal.

Bahkan tetap saja tidak sebanding jika negara mengharuskan memberi kompensasi dana kepada korban untuk melakukan pengobatan fisik dan rehabilitasi secara psikologis, karena kejadian tersebut akan terus berbekas di ingatan korban. Jadi, sudah sepantasnya jika predator anak menjadi momok dan musuh yang harus kita semua perangi.

Langkah yang dipilih Presiden Joko Widodo untuk menengahi keresahan masyarakat pun patut diapresiasikan. Dengan dikeluarkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, semakin memperjelas kehadiran hukum dalam melindungi anak-anak dari kekerasan seksual.

Sebagai langkah awal kepastian hukum dan efek jera bagi predator anak, Presiden Joko Widodo juga menandatangani Peraturan Pemerintah No.70 Tahun 2020 tentang tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan pendeteksi elektronik dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Dititik ini, pemerintah memberikan kepastian mengenai langkah konkret terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Keputusan yang diambil memang kelihatan sangat radikal sekaligus dapat dijadikan sebagai tonggak dan langkah kepeloporan dalam perlindungan anak.

Redaktur: Muhammad Fadhlan Amri


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

WEVOLVE: Webinar ke-2 Pema Fakultas Psikologi USU Bahas Tentang Gender Inequality

redaksi

Berkolaborasi dengan BEM FISIP USU, BNB Campus Roadshow Gelar Seminar Personal Branding

redaksi

Plt Gubernur PEMA FEB Adakan Sosialisasi Pembentukan KPUM FEB

redaksi