Oleh: Josephine C.L Siahaan
Suara USU, Medan. Berbicara tentang wanita tidak akan jauh dari kata “tuntutan” seperti tuntutan pekerjaan dan tuntutan kedudukan. Perempuan diharapkan mampu melakukan pekerjaan domestik seperti memasak, menyuci, dan membereskan rumah. Lalu apa kabar dengan ‘mereka’ yang tidak lihai dengan pekerjaan domestik? Mereka pasti akan dicibir di masyarakat bahkan dikeluarga. Lantas apakah paradigma ini menjadi benar? Jika tidak, kenapa hingga saat ini masih tertanam dalam pikiran masyarakat?
Perempuan kerap menjadi objek dalam masyarakat, bahkan untuk melakukan ini dan itu pun semua ada syaratnya. Berpakaian misalnya, mereka dituntut harus berpakaian tertutup agar tak mengundang nafsu dari pria-pria nakal. Padahal pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi bahkan pada mereka yang selalu berpakaian sopan.
Standart bahwa wanita harus patuh dan turut perintah semakin mempersempit ruang mereka untuk berkembang. Bahkan sering kali wanita sukses tidak disukai oleh orang-orang di sekitarnya. Artinya saat seorang pria berhasil, biasanya akan dipuji oleh masyarakat karena mampu mendapat impiannya. Sebaliknya, wanita yang sukses sering kali dicibir karena anggapan bahwa ia pasti memiliki sifat yang ambisius, egois, dan lainnya.
Bukan hanya itu, kondisi fisik pun sering sekali dijadikan alasan untuk menekankan bahwa perempuan lebih lemah daripada laki-laki. Sedangkan dari sisi psikologis, alasan bahwa laki-laki lebih condong menggunakan logika dan perempuan lebih condong menggunakan perasaan selalu dijadikan sebagai lampu kuning terutama dalam hal politik.
Di negara kita tercinta ini, negara Indonesia, perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama. Setiap orang dilindungi dengan hak asasi manusia. Lalu kenapa kesetaraan gender tak pernah bisa terealisasi sesuai harapan? Jawabannya tentu saja karena stigma dan paradigma yang ada di masyarakat.
Sebenarnya dimasa kontemporer ini perempuan sudah sedikit lebih bebas memilih dan berekspresi. Tetapi yang menjadi permasalahan ialah standart yang diciptakan oleh masyarakat kepada perempuan. Standart inilah yang membuat perempuan seakan sudah benar-benar bebas, padahal masih terkekang.
Perempuan memang sudah bebas memilih pekerjaan yang mereka inginkan, tetapi syarat kecantikan sering sekali menjadi kendala. Saya misalkan syarat untuk melamar kerja di toko kosmetik atau bahkan di toko toko biasa seperti swalayan. Ada kalimat yang sering digunakan yang sebenarnya sangat menyayat hati dalam merekrut pekerja wanita “berpenampilan menarik”. Kalimat singkat ini seakan-akan mempertegas bahwa benar adanya keberadaan perempuan yang cantik dan perempuan yang jelek.
Berbeda lagi dengan posisi wanita yang bekerja dibidang periklanan televisi atau media lainnya. Selain tuntutan berwajah cantik dan menarik, mereka juga dituntut memberikan acting terbaik sesuai permintaan produser. Inilah alasan kenapa kita bisa menyaksikan gambaran perempuan yang bahagia di TV. Tak jarang juga mereka digambarkan sebagai perempuan-perempuan yang bisa membereskan sekaligus merawat anak-anaknya tetapi tetap dapat menjaga penampilannya, baik di tempat kerja maupun dimana saja.
Belum lagi perihal tata krama. Memang benar bahwa tata krama dan sopan santun harus dijunjung tinggi di negara kita ini. Tetapi kenapa hanya perempuan saja yang dituntut bersuara lembut? Kenapa perempuan langsung dikatakan pecicilan saat ia ingin berekspresi dengan tawa indahnya? Kenapa harus perempuan yang menyajikan minuman untuk para tamu? Kenapa laki-laki seakan- akan bebas melakukan apapun sesuai keinginannya, tanpa aturan, dan tanpa hukuman.
Lagi-lagi semua karna stigma dan paradigma yang ada di masyarakat. Baru-baru ini Majalah Time merilis 100 orang paling berpengaruh di tahun 2020, salah satu kategorinya adalah pionir. Pionir merupakan seorang pelopor atau perintis jalan, artinya dialah orang pertama dalam pembangunan pendidikan tertentu. Tidak mungkin menjadi seorang pelopor jika tidak bisa menggunakan metodologi berpikir yang berkenaan dengan struktur atau bentuk logika berpikir.
Dalam skala internasional, Majalah Time merilis kurang lebih 13 dari 21 orang (kategori pionir) adalah perempuan. Buah pikiran dari para pionir ini tentu akan membawa dampak positif di masyarakat, maka seharusnya tidak ada lagi pandangan negatif terhadap wanita yang sukses. Pun tidak seharusnya paradigama wanita lebih menonjolkan perasaan daripada logika digunakan sebagai pembenaran untuk menempatkan wanita lebih rendah dari pria.
Dalam dewasa ini kita harus lebih bisa memaknai dan menempatkan kesetaraan gender sebagai sesuatu yang urgent untuk membebaskan perempuan dari belenggu ketidakadilan. Selain kewajiban laki-laki untuk membantu, kesadaran dan keinginan perempuan lah yang akan menjadi api pendorong terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender yang diharapkan itu.
Selamat Hari Perempuan Internasional!
Redaktur: Yessica Irene
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.