Oleh: Fatimah Roudatul Jannah
Suara USU, Medan. Ruangan ini tidak luas. Apabila seseorang berada di dalamnya, maka tidak ada ruang gerak yang cukup untuk orang lain. Ini tempat yang paling kugemari sejak usiaku dua belas tahun dan Ibu menjelma koki handal yang sabar mendengarku berceloteh atau menyanyi sesuka hati. Ruangan ini hanya seukuran tiga orang dewasa yang berdiri sejajar dipersempit barang-barang memasak seperti kompor dan rak piring di sekelilingnya. Aku suka sekali berdendang sembari memerhatikan tangan ibu lihai mengolah bahan makanan di sini, di dapur ibu.
Bagiku dapur bukanlah hal yang mengerdilkan wanita manapun, buktinya ibu mengajarkanku perihal dunia di sana. Ibu tidak pernah melarangku absen menemaninya memasak, ia tidak pernah mewajibkanku menata piring ke atas meja sebelum makan atau mencuci seluruh piring sehabis makan. Tetapi, aku akan dengan senang hati tetap mengerjakannya. Tidak. Ini bukan karena perempuan harus begini, lalu lelaki harus begitu. Justru aku dan kakak laki-lakiku paling senang berada di sekitar dapur ibu, sebab di sana kami menjelma pencerita handal yang mendapat ruang didengarkan.
Aku masih ingat perbincanganku dengan Ibu di dapur kala usiaku masih tujuh belas, ia memberiku apresiasi setelah aku berhasil menceritakan sebuah kejadian yang terbilang sangat menyakitkan untuk diingat kembali saat ini.
“Itu berarti kamu hebat.”
Sebuah kalimat pembuka yang membuatku kebingungan atas jawaban Ibu kala itu. Apa hebatnya menjadi menyedihkan dan hanya mampu menangis tanpa menolak atau melawan hal tidak menyenangkan yang kurasakan? Aku tetap tidak mengerti. Usiaku tujuh belas kala itu, apa yang ibu sampaikan bagaikan segumpal tanya yang menggelayuti hariku hingga tahun-tahun berikutnya. Meskipun setelahnya Ibu tetap memberiku wejangan seperti biasa, tanggapan Ibu di awal masih terus membuatku bertanya-tanya. Sampai tahun membawaku pada usia ke dua puluh lima dan dapur ibu meredup tanpa kepulan asap tipis disertai harum masakan yang tidak lagi menetap di sana.
Dapur rumah kami sepi sejak Bapak sakit dan Ibu tidak lagi memasak segala menu sedap andalannya serajin dulu. Usiaku dua puluh lima saat ini, tinggal jauh dari Ibu dan Bapak atas tuntutan pekerjaan. Meski aku dan kakak laki-lakiku sesekali bergantian mampir ke rumah untuk menginap, selalu terselip resah sebab semakin sempit ruang kami dengan Ibu untuk berbincang seperti dulu. Apalagi jika melihat lembut dan lihainya Ibu mengurus segala kebutuhan Bapak sehari-hari. Rasanya aku ingin menetap saja di rumah agar Ibu tidak kesepian dan tetap memasak serajin saat aku kecil.
“Bapak kelihatan cukup bugar yah bu, udah bisa makan kayak biasa gak?”
Aku tengah berbincang dengan Ibu melalui videocall malam ini, mendengar Ibu menceritakan banyak hal tentang kondisi Bapak yang menurutnya semakin membaik. Aku menimpali beberapa penjelasannya dan memberi saran-saran tertentu yang kudapat melalui internet atau perbincangan dengan kenalan di kantor terkait kondisi Bapak. Selalu saja seperti ini, setiap perbincangan berlangsung Ibu sibuk membahas Bapak sedangkan ia tidak banyak menceritakan keadaannya, sekalipun aku berusaha memancingnya untuk bercerita. Aku resah, Seperti ada ruang yang membatasi Ibu dan aku untuk saling mengerti seperti dulu.
“Ibu gak masalah loh ya tinggal berdua sama Bapak di sini, toh kamu bakal sering pulang. Kita masih bisa cerita-cerita kayak biasa Nad,”. Aku mengamini perkataan Ibu saat itu sebagai alasan untuk yakin jauh dari Ibu selama masa kerjaku kali ini. Kupikir dengan jarak yang semakin jauh, kepulanganku akan disambut Ibu dengan cerita-cerita ceriwis nan hebohnya yang pasti telah menumpuk. Namun nyatanya, Ibu berhenti bercerita banyak hal, ia seumpama karang yang gersang dan tidak mampu dirobohkan. Tidak ada satu pun upayaku yang mampu menaklukkan benteng Ibu yang besar itu. Oleh sebab itu, aku pun berhenti bercerita tentang apa saja. Kepulanganku tidak lagi dihiasi kebisingan suaraku dan Ibu di ruang tengah seperti dulu.
***
Ada banyak hal yang terjadi di luar kendali, sebagian besar kurengkuh lalu kumintakan hasil terbaik dari yang Maha Kuasa. Kepergian Bapak salah satunya. Tidak ada aba-aba yang menyuruh kami bersiap untuk membuka payung duka. Hari itu, di kamis sore yang sendu dan sepi kabar kepergian Bapak kudapat dari kakak laki-lakiku yang mengirim sebaris pesan singkat. Pasrah. Aku tidak mampu menangis saat itu juga, hidupku sedang ditimpa banyak beban pekerjaan dan perasaan, ruang duka di hatiku layu.
Hari pemakaman tiba esok harinya. Ucapan duka dapat terdengar sedingin itu di hari diselenggarakannya pemakaman Bapak pada Jum’at siang penuh syahdu. Sanak saudara, teman, serta relasiku semasa bekerja di kota kelahiran menyempatkan hadir menyelipkan kalimat duka citanya. Bagiku ini adalah momentum untuk hidup kembali, menelusuri lorong waktu melalui wajah-wajah lama yang mampir membawa kenangan masa lalu masing-masing. Menyirami dukaku dengan kenangan dimana ada Bapak di setiap momennya.
Hari ini kesedihanku pecah setelah Bapak dikuburkan, tidak ada wajah menyenangkannya yang dapat kuamati dalam-dalam demi secercah kenangan masa kecil. Tidak ada Bapak yang menengahi perdebatan aku dan Ibu di dapur lagi. Tidak ada lelaki tangguh yang selama ini menggelayuti keresahan hatiku. Bapak pergi, membawa duka dan resahku. Bapak pergi dengan tenang seakan memberiku ruang untuk membujuk Ibu keluar dari sangkar kesendiriannya. Aku menyadari bahwa sayangku seimbang untuk keduanya, maka keras kepalaku meminta Ibu bercerita sejatinya adalah usahaku menutupi pilu hatiku melihat Bapak tidak dapat masuk dalam perbincanganku dengan Ibu seperti biasa.
Aku dan Ibu menjadi keras kepala seiring kondisi Bapak yang semakin parah. Kami tidak jujur dalam setiap perbincangan yang kami lakukan. Ternyata tawa dan cerita yang ramai setiap kepulanganku adalah bentuk kami melewatkan rasa sedih dan resah yang sebenarnya subur tumbuh dalam hati masing-masing. Semakin besar bentengku dan Ibu terbangun, semakin kusadari makna ucapannya kala usiaku tujuh belas. Aku memahami seperti apa kalimat itu memiliki magisnya sendiri bagi siapa saja yang akhirnya mampu membuka hati dan berani bercerita. Ibu menjadi sosok yang abu-abu di mataku, sebagian kisahnya tidak lagi ada pada genggamanku sehingga kami seakan terlepas dari tali pengikat yang selama ini menghangatkanku sejauh apapun jarak membentang.
Kepergian Bapak menjadi juru kunci yang menyambut kehadiranku sebagai teman Ibu persis seperti saat aku kecil. Setelah habis dengan rangkaian berduka yang ada, seminggu setelahnya kuhabiskan menemani Ibu di rumah saja. Kami tidak kemana-mana, tidak pula berusaha pergi kemana-mana. Aku kembali ke rumah. Meski sebelah sayap rumah ini pergi lebih dulu, hangatnya lekat di setiap sudut rumah. Aku tidak memaksakan hubunganku segera membaik dengan Ibu, kami menjalani hari dengan tidak tergesa. Dapur Ibu kembali sibuk, tanaman di pekarangan bertambah dua jenis baru, gorden di ruang tengah telah berganti warna. Ibu jelas masih berduka. Ia tidak melupa, segala kegiatan yang ia lakukan seminggu belakangan adalah usahanya untuk melupa. Bukan pada Bapak, tapi pada kesunyian yang mengungkung rumah selama Bapak sakit.
Aku seringkali mempertanyakan, apakah Ibu tidak lelah? Apa Ibu tidak ingin bercerita? Apa Ibu sudah cukup hanya dengan dua panggilan telepon setiap minggu denganku? Maka dengan kesungguhan hati kupersiapkan malam nanti istimewa untuk aku dan Ibu. Sejak sore aku diam-diam mempersiapkan kudapan manis kesukaannya, pun memetik beberapa bunga yang biasa kusajikan bersama teh untuknya. Aku akan membawa Ibu hidup lagi di masa ini.
Tibalah malam ditemani gerimis tipis bermanja pada awan tanpa bulan atau bintang menghias. Teras rumah kami membawa suasana tenang di saat seperti ini dan bagian terpentingnya, Ibu telah duduk di sampingku sejak setengah jam lalu sambil menyantap kudapan buatanku dengan lahap meski perlahan-lahan. Ia belum banyak mengeluarkan suara, hanya sesekali membahas kenalan yang hadir di pemakaman Bapak beberapa hari lalu. Selebihnya hanya kekosongan yang mengisi ruang teras kami sejak tadi. Aku tidak memburunya mengungkapkan apapun, aku akan membiarkannya kembali tanpa tergesa. Aku rindu Ibu yang dulu, maka kesabaranku mesti diperluas saat ini.
“Maaf ya, Ibu enggak biarin kamu tau apapun yang Ibu rasain beberapa tahun terakhir,” suara Ibu sampai ke telingaku, menggantung di sana dan terjun ke kedalaman hatiku yang kerontang atas rindu padanya. Kusingkap air mata yang hampir terjun, kupandangi Ibu yang telah tersenyum lembut padaku tanpa kata. “Ibu udah buat aku khawatir bertahun-tahun, aku juga mulai kesulitan mengungkapkan perasaan setelah kita berhenti cerita-cerita kayak dulu,”. Kali ini aku membuka diri, membiarkan Ibu menjelajahi perasaan anak perempuannya ini tanpa perlu kujelaskan apa-apa. Aku hanya rindu Ibu dan kalimat-kalimatnya. Ibu mengangguk, tangan kanannya meraih kedua tanganku sembari mengusapnya pelan. Hangatnya menjalari tubuhku tanpa ampun, tangan kanan Ibu meraih kepalaku dan mengusapnya lembut. Bentengku runtuh. Ini Ibu yang kucari sejak beberapa tahun lalu, jiwa yang lama Ibu sembunyikan dari seluruh anggota keluarga, pun pada dirinya sendiri.
“Ibu berusaha menjelajahi perasaan Bapak beberapa tahun belakangan, Nad. Bapak yang tidak lagi mampu berbicara dengan normal dan bergerak leluasa, membuat Ibu mengungkung diri dalam kesepian. Bagi Ibu kondisi itu asing sekali, Ibu nangis, kali pertama kondisi memburuk Ibu hancur, Nad. Rasanya ini semua gak nyata, orang yang sangat Ibu sayangi, lelaki yang selalu membersamai Ibu dengan ceria dan lembut hatinya, lelaki yang membersamai Ibu selama tumbuh kembang kamu dan abangmu itu seperti gak punya gairah seperti dulu. Maafin Ibu jadi gak selues dulu ngobrol sama kamu yah, cantiknya Ibu. Bertahun-tahun belakangan Ibu seakan dipaksa masuk lorong yang gelap sekali, tanpa penerangan, tanpa jalan keluar. Yang ada pada saat itu hanya genggaman tangan Bapak yang tidak kuat tapi seakan meminta tidak ditinggalkan. Siapa juga yang akan meninggalkan manusia kesayangan Ibu itu, haha dasar Bapak. Keluarga ini ‘kan ruh buat Ibu, gak ada yang bisa merubah peran kalian semua di hati Ibu.”
Ibu menghela napas panjang, sedikit air mata mengitari pelupuk matanya. Hatiku hangat, meski seperti ada yang patah di dalamnya, kucoba rengkuh tubuh Ibu yang semakin ringkih. Aku merasa melewatkan kewajibanku untuk menjaga Ibu tetap stabil selama masa sulit sejak tahun pertama kondisi merunyam.
Baru kusadari, pada akhirnya seorang Ibu akan tetap menjiwai dirinya selama peran itu sudah sampai padanya. Ibu tidak ingin melibatkanku dalam duka panjangnya, ia tidak ingin aku menatapnya seperti kaca jernih yang terbuka mendikte keadaan sebenarnya. Ibu melibatkan kami dalam setiap rinci kehidupannya, meski sempat mengajar di sekolah selama bertahun-tahun, aku dan abangku adalah murid tanpa batas waktunya. Ibu menghabiskan lebih banyak waktunya dengan kami, ia adalah gudang penyimpan cerita hingga derai air mata kami. Maka kondisi Bapak adalah ujian terberat baginya, seperti dipasung kebebasan berceritanya. Kasih hatinya terbaring sakit, membutuhkan dukungannya, membutuhkan kehangatannya, maka Ibu simpan semuanya sendiri. Menjaga keadaan stabil, begitu mungkin pikirnya. Ibu lupa anak-anaknya telah tumbuh menjadi manusia dewasa, Ibu lupa dua anaknya tanggap membaca situasi seperti halnya ia dan Bapak setiap kali kami terlihat berbeda. Ibu memaksakan dirinya hidup meski perasaannya kerontang, hatinya menumpuk setiap rasa, dirinya tidak berekspresi.
Tangisku pecah di pelukan Ibu, hatiku merasakan sesuatu yang campur aduk di sana. Ada kelegaan ditemani rasa bersalah, kesal sekali rasanya aku tidak berusaha memahami bungkamnya Ibu sebagai upayanya mengurai pilu dan kebingungannya beberapa tahun belakangan. Tidak mampu kusadari sepenuhnya kala itu bahwa Ibu mengurus semuanya sendiri, mempelajari bagaimana meracik makanan yang bisa Bapak konsumsi, mencari tahu pengobatan yang bisa Bapak dapatkan, memastikan semuanya baik-baik saja. Tapi rengkuh hangat Ibu menyadarkanku, setidaknya kini aku mengetahuinya, setidaknya aku masih dianugerahi waktu untuk membersamai Ibu, masih ada kesempatan untuk menghidupkan kembali hidup Ibu. Mewarnai dengan ceita yang selama ini kami kumpulkan di setiap sudut rumah, menghangatkannya dengan kasih sayang selayaknya hubungan ini kami ramu dan jaga sejak dulu. Aku dan Ibu akan menghidupkan yang selama ini redup dan tak berani kami jamah, bersama.
Redaktur: Fatih Fathan Mubina
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.