Reporter: M. Wirayudha
SUARA USU, Medan. 22 Desember 2020 lalu, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, mengumumkan beberapa pergantian menteri dalam kabinet Indonesia Maju. Sejumlah menteri dicopot dan digeser posisinya. Perombakan ini merupakan kali pertama Jokowi melakukan reshuffle dalam periode keduanya.
Menurut salah satu pengamat kebijakan politik yang juga merupakan Dosen Senior di Ilmu Komunikasi FISIP USU, Sakhyan Asmara mengatakan bahwa pergantian menteri yang dilakukan pada saat baru setahun lebih bekerja adalah sesuatu yang memalukan.
“Hal itu menunjukkan bahwa presiden tidak mampu melihat rekam jejak dan kualifikasi menteri yang dipilihnya. Atau bisa juga karena presiden tidak mampu melawan arus kencang dari orang-orang yang ada di sekitar kekuasaan, yang mendesak presiden melakukan reshuffle.“ ujar Sakhyan.
Lanjut Sakhyan, reshufle tersebut juga bukan
semata-mata karena adanya kelemahan menteri, tetapi juga menunjukkan adanya kelemahan Presiden sendiri.
6 Nama pengganti muncul sebagai pengganti beberapa menteri. Nama-nama tersebut antara lain; Tri Rismaharini sebagai Menteri Sosial menggantikan Juliari Peter Batubara; Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan menggantikan Edhy Prabowo; Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama menggantikan Fachrul Razi; Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menggantikan Wishnutama; Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan menggantikan Terawan Agus; dan M Luthfi sebagai Menteri Perdagangan
menggantikan Agus Suparmanto.
Dari beberapa nama di atas, ada satu nama yang dianggap publik cukup menarik, yaitu munculnya nama Sandiaga Salahuddin Uno di jajaran kabinet Indonesia Maju.
Menurut Sakhyan, hal tersebut sebenarnya lumrah terjadi di dalam iklim perpolitikan kita. “Dilihat dari rekam jejaknya yang sudah pernah menjabat sebagai ketua umum organisasi tingkat nasional, Sandiaga juga memang sudah kelasnya menjadi
menteri,” paparnya yang juga pengamat politik itu.
Lebih lanjut kata Sakhyan, sebenarnya tidak ada masalah dengan bergabungnya Sandiaga di dalam barisan kabinet Presiden Jokowi, hanya saja yang kurang dapat menerima adalah para pendukung di akar rumput yang selama ini sudah berdarah-darah
melakukan upaya untuk memenangkan pertandingan. Namun ketika kalah, malah masuk dalam barisan lawan politiknya.
“Ini hanya masalah perasaan. Tapi kalau
dilihat dari perspektif kepentingan bersama dan semangat persatuan, hal ini menurut saya menjadi penting dan strategis.” ungkapnya kepada SUARA USU.
Dari 6 nama menteri baru tadi, ada juga yang saat ini sedang memegang dua
jabatan. Adalah Tri Rismaharini yang sedang menjabat sebagai Walikota Surabaya. Harusnya jabatannya akan berakhir hingga dilantiknya Walikota Surabaya yang baru saja terpilih. Hal tersebut tentu bertabrakan dengan beberapa aturan. Di antaranya Pasal 23 UU No.38 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara serta aturan tentang pelayanan publik lainnya.
Menurut Sakhyan, yang juga Ketua STIKP Medan itu menyebutkan bahwa ia memiliki penilaian sendiri terhadap Risma. Ia mengutarakan bahwa tidak melihat ada keistimewaan pada Risma untuk diangkat sebagai seorang menteri. Ia
melihat cara pandang dan perilaku Risma belum sekelas menteri. “Lihat saja perilakunya sewaktu menjabat Walikota, terkadang seperti anak kecil menangis, berlutut dan sebagainya. Itu sesungguhnya bukan perilaku orang yang memiliki cara pandang yang luas, wibawa yang tinggi dan rasa percaya diri yang tinggi yang diperlukan bagi seorang menteri,” ungkap Sakhyan”
Sakhyan juga menilai apa yang dilakukan oleh Risma seperti menemui gelandangan dan sebagainya adalah hal yang kurang tepar. “Tidak bisa dicerminkan dari gelandangan dan gorong-gorong. Masalah sosial di Indonesia adalah masalah yang sangat rumit. Menyangkut kesejahteraan rakyat, hubungan-hubungan sosial, pelaksanaan kehidupan masyarakat sehari-hari, adat istiadat dan sopan santun, serta masih banyak lagi masalah sosial lainnya,” lanjutnya.
Dalam penjelasannya, ia pun menyarankan agar Presiden, jangan lagi mengangkat menteri yang sebenarnya belum kelasnya jadi menteri sehingga menimbulkan keterkejutan mental.” Akibatnya sang Menteri melakukan sesuatu yang justru menjadi bahan tertawaan masyarakat,” tambahnya.
Selain dua nama menteri di atas, Sakhyan juga berpendapat mengenai memiliki dua menteri lainnya. Yakni Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Menteri Agama Yaqut Cholil.
Berdasarkan Prinsip “the right man on the rightjob”, Sakhyan menilai pengangkatan Budi Gunadi Sadikin adalah langkah yang salah. Pasalnynya Budi tidak memiliki latar belakang di bidang kesehatan.
“Jika kita menginginkan profesionalisme dan penguasaan bidang tugasnya, maka menjadi aneh mengangkat Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri kesehatan. Entah apa yang menjadi pertimbangan Presiden, kita sendiri tidak paham, ” Ujar Sakhyan.
Mengenai pengangkatan Gus Yaqut, Sakhyan menilik bahwa dalam banyak terpaan sosial
media justru menunjukkan tampilan Gus Yaqut yang tidak cocok menjadi seorang
Menteri Agama. “Terlebih lagi setelah diangkat menjadi Menteri, beliau mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang kontroversial terutama bagi umat Islam. Tentu hal ini dapat menimbulkan masalah besar.”
Menuturut amatan Sakhyan, gaya Gus Yaqut sebagai Ketua Umum Ormas tidak boleh terbawa-bawa dalam gayanya sebagai Menteri Agama.” Menteri Agama itu harus
mengayomi, merangkul, bijaksana dan membuat “adem” semua orang. Bukan gaya agresif konfrontatif. Itu kontraproduktif dengan jabatan sebagai Menteri Agama,” Ucap Dosen Fisip itu,”
Selanjutnya, Sakhyan juga menilai reshuffle ini juga punya pengaruh terhadap kandidat Calon Presiden periode 2024-2029. Pasalnya, Politik itu muaranya adalah kekuasaan. “Setiap orang atau kelompok yang terjun kedalam politik, maka orientasinya pasti merebut kekuasaan,” tuturnya.
Di akhir wawancaranya, Sakhyan mengatakan bahwa pengikut politik itu bersifat interchangeable, yakni berkemampuan untuk berpindah-pindah. Sebentar di sini, sebentar di situ.
Penyunting: Kurniadi Syahputra
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.