(Sumber: badanbahasa.kemdikbud.go.id)
Reporter: Tarida Simanjuntak
Suara USU, Medan. Raja Usu Sitor Situmorang atau dikenal sebagai Sitor Situmorang lahir pada tanggal 2 Oktober 1924 di Harianboho, salah satu desa di kaki gunung Pusuk Buhit, Samosir, Sumatera Utara. Pria keturunan suku batak ini merupakan seorang sastrawan dan wartawan Indonesia dengan sejumlah karya berupa sajak, cerita pendek, esai, naskah drama, naskah film, telaah sejarah lembaga pemerintahan Batak Toba, dan menerjemahkan karya sastra mancanegara.
Sitor Situmorang menempuh pendidikan sekolah dasar selama 5 tahun di Balige lalu pindah ke Sibolga. Sitor kemudian masuk ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Oderwijs) di Tarutung pada tahun 1938. Pada pertengahan tahun 1941, Sitor melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas di CMS (Christelijke Middelbare Scholen) di Batavia (kini Jakarta). Sitor memiliki cita-cita menjadi seorang ahli hukum dan masuk perguruan tinggi jurusan hukum setelah tamat SMA. Tetapi, cita-cita Sitor untuk menjadi ahli hukum kandas karena kedatangan kolonialis Jepang.
Setelah kejatuhan Jepang dan seiring dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia, Sitor mulai terlibat dalam badan perjuangan politik Sumatera Utara sebagai redaktur surat kabar Suara Nasional terbitan Komite Nasional Daerah Tapanuli (1945-1946). Padahal sebelumnya Sitor belum pernah bersentuhan dengan profesi jurnalistik. Kemudian Sitor memasuki Harian Waspada. Saat itu, Sitor menjadi koresponden di Yogyakarta (1947-1948).
Dilansir dari website badan bahasa kemendikbud, persepsi diri Sitor Situmorang identik sebagai satrawan Angkatan ’45 yang kritis, sulit memilah-milah apakah ia seorang sastrawan, wartawan, atau politisi. Tahun 1950 Sitor menuntut ilmu selama tiga tahun di Eropa. Kemudian pada tahun 1950-an, Sitor pulang dari Eropa sebagai wartawan, lalu memutuskan berhenti dan bergiat sebagai sastrawan. Beragam karya sastra Sitor yang sudah diterbitkan diantaranya, Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), drama Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris ( 1956), dan terjemahan karya dari John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol, M Nijhoff. Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen Pangeran (1963), esai Sastra Revolusioner (1965), sejarah lokal Toba na Sae (1993), dan karya lainnya.
Esai Sastra Revolusioner mengakibatkan Sitor Situmorang harus mendekam di penjara Gang Tengah Salemba (1967-1975), Jakarta tanpa proses peradilan dengan tuduhan terlibat pemberontakan. Saat ia menjadi tahanan, Sitor tidak diizinkan membawa alat tulis. Namun, Sitor tetap berkarya dengan meluncurkan yaitu Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977) ketika belum bebas sepenuhnya. Setelah keluar dari penjara Sitor memilih menetap di luar negeri, terutama di kota Paris.
Pada tahun 1981, Sitor diangkat menjadi dosen di Universitas Leiden, Belanda. Sepuluh tahun kemudian, Sitor pensiun pada tahun 1991 namun masih tetap produktif berkarya dalam penggembaraanya. Sejak tahun 2001, Sitor Situmorang kembali ke Indonesia. Walau dua pertiga dari usianya dihabiskan di negeri orang, Sitor tidak pernah dianggap sebagai anak yang hilang. Sitor mempunyai pergaulan yang sangat luas di manca negara seluas pengenalan masyarakat Indonesia terhadapnya.
Di usianya yang ke-80 tahun 2004, Sitor menunjukkan eksistensinya lewat buku Toba Na Sae. Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX dan kumpulan sajak Biksu Tak Berjubah (2004). Sebagai sastrawan Angkatan 45, mungkin Sitor Situmorang adalah satu-satunya sastrawan yang sampai akhir hayatnya pada 20 Desember 2014 masih terus menulis sajak.
Redaktur: Fatih Fathan Mubina
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.