SUARA USU
Featured Kabar SUMUT

Sudah Puluhan Tahun Berdiri, Berikut Sejarah Museum Simalungun

Oleh : Anna Fauziah Pane

Suara USU, MEDAN. Saat mendengar kata museum, apa yang pertama kali terlintas di pikiran Anda? Apakah kuno? Bersejarah? Zaman dahulu? Atau bahkan kenangan? Dari beberapa kata di atas  mungkin salah satunya adalah apa yang kita pikirkan saat mendengar kata museum. Karena pada kenyataannya kata – kata tersebut memang melekat dengan museum, termasuk Museum Simalungun. Museum Simalungun berdiri kokoh di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 20, Pematangsiantar. Museum tersebut juga tidak luput dari sejarah dan budaya Simalungun sesuai dengan namanya.

Pada tahun 1932, muncul disertasi karya Dr. ANJ Th. a Th. van der Hoop dengan judul “Megalitich Remains in South Sumatera” yang memberikan motivasi untuk menyelidiki makna dari batu – batu atau patung kuno di Sumatera Selatan. Kemudian disertasi tersebut dibaca oleh G.L. Tichelman yang saat itu menjabat sebagai kontelir di Simalungun. Tichelman kemudian termotivasi untuk mengadakan penyelidikan yang sama di daerah tugasnya, yaitu daerah Simalungun. Hal inilah yang kemudian menjadi cikal bakal didirikannya Museum Simalungun.

Setelah melakukan penyelidikan sementara, Tichelman meminta kepada 7 Raja Simalungun (Marpitu Simalungun : Kerajaan Siantar, Kerajaan Tanah Jawa, Kerajaan Dolok Silou, Kerajaan Raya, Kerajaan Panei, Kerajaan Purba dan Kerajaan Silimakuta) untuk melakukan pencatatan patung – patung yang ada di daerah masing – masing pada saat sidang rutin di Kerapatan Nabolon 5 September 1935. Dua hari kemudian, Madja Purba (kepala menteri Algemene Dienst) mengutus anggotanya yang bernama Benjamin Damanik untuk terjun langsung mengunjungi daerah – daerah untuk memperlancar proses pencatatan. Dalam waktu yang relatif singkat, puluhan patung material batu dan kayu dengan beragam bentuk berhasil tercatat. Salah satu yang paling menarik dari temuan puluhan patung tersebut adalah Patung Silapalapa yang kemudian dipindahkan dari Pematangsiantar ke Amsterdam, tepatnya di Museum Rijks pada tahun 1938.

Kelanjutan dari latar belakang terbentuknya Museum Simalungun adalah usulan masyarakat untuk mendirikan museum. Usulan ini mendapat perhatian dari para petinggi saat itu hingga akhirnya usulan ini dibicarakan pada sidang rutin di Kerapatan Nabolon. Para Raja Simalungun yang memiliki pemikiran berorientasi pada masa depan akhirnya menyetujui usulan tersebut. Setelah pemerintah daerah menyetujui usul tersebut, maka disiarkanlah berita bahwa akan dibangun Museum Simalungun atau yang saat itu disebut Rumah Pusaka Simalungun. Tujuan didirikannya Museum Simalungun adalah untuk menjaga wajah asli kebudayaan Simalungun, untuk kemudian diwariskan kepada generasi yang akan datang.

Selain dengan sistem birokrasi dari pemerintah daerah sampai kepada masyarakat desa, penyebaran berita mengenai pendirian Museum Simalungun juga dilakukan melalui media massa, contohnya seperti Sinar Simalungun, Warta Baru, Sinalnal, dan lain sebagainya. Penyiaran berita ini kepada masyarakat sangatlah penting dikarenakan selain dari kerajaan dan pemerintah Belanda, biaya untuk pembuatan museum juga dipungut dari masyarakat. Salah satu bantuan biaya dari masyarakat adalah melalui retribusi karet. Pemerintah menaikkan penjualan karet sebanyak 2 sen per kilogramnya. Kemudian jumlah kenaikan tersebut dikumpulkan menjadi bantuan biaya dari mayarakat untuk membangun museum.

Pada tahun 1937, pemerintah mengangkat Dr. P. Voorhoeve yang merupakan seorang ahli bahasa menjadi Taal-ambtenaar untuk mempelajari budaya Simalungun, mulai dari bahasa, adat, kepercayaan, dan lain sebagainya. Di samping itu, Voorhoeve juga diangkat menjadi penasehat dalam kepengurusan museum.

Pada 14 Januari 1937 diadakan sidang atau harungguan di kantor Kerapatan Nabolon untuk menentukan lokasi museum. Dari sidang ini ditetapkan bahwa Museum Simalungun akan dibangun di Pematangsiantar. Penetapan Pematangsiantar sebagai lokasi museum bukan tanpa alasan, Pematangsiantar sendiri adalah kota perniagaan, kota pelajar, selain itu kota Pematangsiantar juga perlintasan menuju daerah lain seperti Medan, Tapanuli, Asahan, Dairi, dan daerah – daerah lainnya. Karena perlintasan tersebut, maka Pematangsiantar banyak disinggahi oleh para saudagar dan juga turis. Sehingga, Pematangsiantar dinilai sebagai tempat yang strategis untuk membangun Museum Simalungun dan diharapkan dapat menarik banyak orang untuk berkunjung ke Museum Simalungun ketika sudah berdiri. Selanjutnya diadakan pengangkatan pengurus Museum Simalungun, yang terdiri dari A. H. Doornik sebagai ketua, Madja Purba sebagai sekretaris, Mogang Purba, Djaudin Saragih, R. H. Volbeda sebagai anggota, dan Dr. P. Voorhoeve sebagai penasehat.

Tanah untuk tempat pembangunan museum adalah hasil hibah Wali Kota Pematangsiantar saat itu. Letaknya sama dengan letak museum sekarang, Jalan Jenderal Sudirman Nomor 20, dekat dengan kantor pos yang banyak dilalui orang, tetapi tidak begitu dekat dengan hiruk pikuk lalu lintas kota.

Selesai dengan urusan tanah, hal yang harus diurus selanjutnya adalah bentuk dari museum. Museum akan dibuat dengan bentuk Rumah Bolon yang merupakan rumah adat suku batak. Rumah Bolon umumnya terdiri dari dua bagian, yaitu lopou dan rumah.

Pada rencana awal akan dilakukan pemindahan Rumah Bolon dari Buluh Raya yang merupakan daerah Kerajaan Raya pada saat itu. Namun, usia Rumah Bolon tersebut sudah tua dan akan sangat menguras biaya untuk pemindahannya, sehingga rencana ini pun gagal. Beranjak dari kegagalan rencana sebelumnya, museum akan tetap dibangun dengan bentuk Rumah Bolon tetapi pembangunannya akan dilakukan secara bertahap. Hal ini dikarenakan biaya yang tidak mencukupi. Bagian lopou akan lebih dulu dibangun, kemudian akan dilanjut membangun bagian rumah ketika biayanya sudah ada.

Untuk contoh lopou-nya sendiri dibuat oleh Yan Kaduk Saragih (Kepala Distrik Raya Kahean) bersama Voorhoeve. Selanjutnya pada 2 Januari 1939 contoh tersebut diterima oleh Residen Sumatera Timur. Setelah gambar konstruksi museum dibuat oleh Locale Water Staat (sekarang PU), akhirnya  pada 10 April 1939 dimulailah pembangunan Museum Simalungun dengan biaya sebesar 1.650 gulden.

Perlu diketahui, bahwa pembangunan museum dipimpin oleh Locale Water Staat (sekarang PU). Para tukang atau pekerja yang mambangun museum berasal dari pribumi yang mampu mengikuti gambar konstruksi yang sudah dibuat. Kemudian pada 18 Oktober 1939 pembangunan museum akhirnya selesai. Tugas selanjutnya diserahkan kepada pengurus museum yang sudah diangkat sebelumnya untuk mengisi museum dengan benda – benda warisan budaya daerah Simalungun.

Setelah proses panjang, akhirnya diadakan upacara peresmian Museum Simalungun pada 30 April 1940. Upacara peresmian dilakukan sesuai adat Simalungun kemudian dilanjut dengan kata sambutan dari para pengurus dan petinggi Simalungun saat itu.

Pada saat Museum Simalungun dibangun dan diresmikan, sebenarnya di Eropa telah pecah Perang Dunia II. Satu bulan setelah peresmian Museum Simalungun, NAZI Jerman menyerbu dan menduduki Belanda, kondisi ini sangat berpengaruh pada kondisi pemerintahan Belanda di Indonesia, sehingga perhatian terhadap pengembangan museum menjadi terbatas. Perawatan museum hanya dilakukan dengan seadanya saja. Kemunduran terus berlanjut hingga Jepang menduduki Indonesia pada 1942. Situasi semakin sulit karena Indonesia secara langsung juga tengah berperang melawan penjajah.

Kemudian setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, kepemilikan Museum Simalungun resmi menjadi milik Indonesia. Kendati demikian, perawatan museum masih terlihat memprihatikan. Hingga akhirnya pada 1954, setelah kunjungan Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, disempurnakanlah kepengurusan museum dengan diebentuknya Yayasan Museum Simalungun yang diketuai oleh Farel Pasaribu yang saat itu menjabat menjadi bupati Simalungun. Yayasan ini berlaku hingga sekarang dengan ketua yayasan bapak Drs. Djomen Purba.

Sedikit cerita tentang koleksi yang ada pada Museum Simalungun. Jumlah koleksi Museum Simalungun saat ini adalah 866 buah. Koleksi benda – benda di dalam museum ini berasal dari berbagai sumber. Sumber pertama adalah dari masyarakat daerah. Selain menyumbang untuk biaya pembangunan museum, masyarakat juga turut menyumbang alat – alat / benda – benda kuno yang dimiliki untuk kemudian dijadikan koleksi Museum Simalungun sampai sekarang. Contohnya pustaha laklak, alat – alat perang, alat – alat berburu, sampai dengan peralatan rumah tangga.

Sumber kedua adalah sumbangan dari para petinggi Simalungu, seperti Raja, Tungkat, dan juga pejabat pada masa itu. Adapun barang yang disumbangkan oleh para petinggi ini adalah patung – patung yang tersebar di halaman museum dan perhiasan baik emas maupun perak. Namun pada saat Jepang mulai menduduki Indonesia dan keadaan mulai sulit karena Indonesia sedang berperang melawan penjajah, barang yang disumbangkan oleh para petinggi dikembalikan  kepada pemiliknya karena cara ini dinilai sebagai cara terbaik yang bisa dilakukan untuk menjaga barang tersebut tetap aman.

Sumber ketiga koleksi Museum Simalungun adalah dibeli langsung oleh pihak yayasan museum. Dan sumber terakhir adalah pemberian dari tentara (saat itu TKR, sekarang TNI). Pada saat Revolusi Sosial tahun 1946 di Sumatera Timur, banyak barang – barang kerjaan yang diselamatkan oleh para tentara. Barang – barang yang sekiranya memiliki nilai budaya diserahkan kepada pihak museum untuk dijaga.

Museum Simalungun adalah wujud nyata dari tradisi gotong – royong. Pasalnya, dalam proses pembangunannya benar – benar dilakukan dengan kerja sama dan hibah. Mulai dari tanah hingga isi dari Museum Simalungun adalah hasil hibah. Mungkin Museum Simalungun hanyalah tempat kecil dari banyaknya tempay – tempat lain yang juga menyimpan sejarah dari bangsa ini. Tetapi sekecil apapun sejarah itu, namanya tetaplah sejarah. Masa yang pernah dilewati pendahulu kita yang membuat kita sampai di masa sekarang. Begitu gigihnya perjuangan para pendahulu kita dalam membangun dan mempertahankan Museum Simalungun di tengah kondisi negara yang kurang baik. Perjuangan ini sudah sepatutnya kita lanjutkan dengan terus menjaga dan melestarikan budaya yang sudah dipertahankan dan dijaga dengan baik oleh generasi sebelum kita.

Redaktur: Agus Nurbillah

Related posts

Mengenal Istilah Person In Charge dalam Kepemimpinan

redaksi

Gagas Ruang Temu, Aldho: Ruang Ini Milik Aku, Kamu, dan Kita!

redaksi

Mengenal HAKI, Hak Kekayaan Intelektual dan Prosedur Pendaftarannya

redaksi