Penulis : Muhammad Naufal Adly
Sebelumnya di bagian kedua…
…
“Ad, kau tau? Adalah sebuah kesalahan, ketika kau bilang kalo istrimu dalam keadaan hamil.”
“Kesalahan? Ahh..!” aku mengingat sesuatu.
“Wah, iya juga ya. Gak terasa ya dia udah hamil sembilan bulan. Kau sih, jarang kasi kabar tentang dia.”
“Kau hampir tidak pernah menceritakan orang orang yang kau sayangi kepada kami, termasuk istrimu. Karena itulah, ketika aku tau istrimu hamil, aku sedikit merasa senang.”
“Senang? Kenapa?”
“Karena aku bisa membunuh dua nyawa dalam sekali cetus. Alamsyah, bawa dia kemari..!!”
Kulihat kemana Alamsyah berjalan. Ia berjalan ke sebuah pohon besar. Di batang pohon itu ada selilit tali tambang. Di sisi pohon yang berbeda terlihat seperti ada seseorang yang terikat oleh tali itu, tapi aku tidak bisa melihat siapa dia. Lalu, Alamsyah melepaskan ikatan itu dan menarik seeorang yang tadi terikat disitu.
“Syahnaz..?!”
—
Yang Harus Dilindungi
—
Chapter 3
“Abang…?” rintih Syahnaz. Alamsyah melepaskannya dan saat ini ia dipegang erat erat oleh dua orang tentara lain.
Alamsyah mengeluarkan sebuah benda dari kantongnya. Sebuah pistol. Ia todongkan perlahan-lahan pistol itu ke kepala Syahnaz.
“Alamsyah, tolong jatuhkan pistol itu..!!” aku mulai panik.
Alamsyah hanya diam saja. Ia memperlihatkan isi pistolnya padaku, terlihat dari kejauhan masih ada satu peluru di dalamnya. Ia menutupnya kembali dan lagi lagi ia menodongkan pistol itu ke kepala Syahnaz. Aku pun mulai panik lagi.
“Sejauh ini aku sudah mengamatimu. Kau adalah orang yang penuh perhitungan, punya analisis yang bagus dan intuisi yang tajam. Lalu ada peribahasa bahwa ‘buah jatuh tak jauh dari pohonnya’. Aku pikir pikir kalau aku membiarkan calon bayimu hidup, dia akan menjadi ancaman bagi kami dan akan lebih berbahaya darimu. Lebih baik kami habisi anakmu sekarang,” Alamsyah mendorong kepala Syahnaz pelan dengan pistolnya.
“Tunggu, tunggu Alamsyah..!!” aku berteriak.
“Alamsyah, tunggu dulu. Ada cara yang lebih seru,” Fathur angkat bicara. Fathur kemudian mengeluarkan sebuah alat dari kantongnya. Sebuah pemicu bom.
“Kau lihat mereka terikat oleh tali baja kan? Kau lihat tali baja itu tersambung dengan apa,” Fathur menunjukkan dengan tangannya. Aku melihat ke arah yang ia tunjukkan. Betapa terkejutnya aku ketika aku mengetahui ada banyak bom siap ledak bertumpuk disana.
“Kuledakkan bom ini untuk membunuh seluruh warga lokal atau Alamsyah yang akan menembuskan padatan timah itu ke kepala istrimu,” kata Fathur.
Aku bingung. Aku bimbang. Tak pernah aku dihadapkan pada pilihan pilihan seperti ini dan saat ini aku harus memilihnya, Istriku atau warga lokal. Sekarang, aku lebih panik dari yang tadi.
“Kau seorang tentara yang bertugas melindungi rakyat Indonesia secara keseluruhan. Tak pernah ada kata pilih kasih bagi seorang tentara. Apakah kau akan bertindak profesional kali ini?” kata Fathur.
Aku semakin panik dan kebingungan.
“Mereka warga lokal. Aku sangat ingat bahwa mereka sering membantu kita untuk menjaga kedamaian di daerah perbatasan ini. Mereka tunjukkan keramahtamahan mereka kepada kita. Mereka sering membantuku dan begitu juga kau. Kau sendiri juga tau, pasti ada ikatan yang terjalin antara kau dengan mereka sebagai tentara ataupun sebagai masyarakat Indonesia biasa. Dan kau sebagai tentara juga tidak ingin menodai harga dirimu, kan?” gertak Fathur sambil mengangkat pemicu bom itu.
“Jangan ledakkan mereka, Fath.. Fath..!!” bentakku ketika ia memain mainkan pemicu bom itu.
Aku memandangi mereka, warga lokal. Tampak mereka sendiri juga tak bisa berbuat apa-apa. Kepasrahan terlihat dari wajah mereka.
“Syahnaz. Istrimu. Saat ini sedang mengandung anak pertamamu. Istri yang tentunya sangat kau sayangi dan menjadi motivasi dalam keseharianmu sebagai tentara. Dia orang yang membuatmu bisa tersenyum, tertawa lepas dan bahagia dimana orang lain tidak bisa membuatnya, menunjukkan bahwa istimewanya ia bagimu. Dan sebentar lagi ia akan persembahkan buah hati yang tentunya sangat ingin kau lindungi, kan..???” kata Fathur. Alamsyah mengelus-eluskan pistol yang ia pegang ke pipi Syahnaz dan perlahan-lahan menuju ke bawah dan memutari perutnya.
“Alamsyah. Jangan tembak dia..!!”
“Kau pilih antara mereka berdua. Kalau tidak, tiga tentara yang ada di belakangmu sudah siap untuk menembakmu,” kata Fathur sambil melirik ke arah tiga tentara tadi. Aku juga menoleh ke arah mereka.
KRECEK…… Alamsyah mengangkat pelatuk pistolnya.
“Jangan, jangan..!! Alamsyah, jangann..!!!”
“Atau kuledakkan mereka semuaa hiyaahh..!!!” Fathur berteriak, berpura-pura ingin meledakkan.
“Tunggu dulu, tunggu Fath..!!! Aku belum menjawab, kan?!! Tolonglah, tunggu dulu..!!” aku sangat panik, bingung, semua bercampur aduk.
“Hahaha. Lucu sekali memang melihatmu kebingungan begini,” ejek Alamsyah.
“Itulah, kan aku udah bilang. Lebih seru ngeliat yang kayak gini.”
Aku tak bisa berbuat apapun. Aku benar-benar seperti mati rasa. Pikiranku sudah buntu. Keringat menghiasi sekujur tubuhku dan jatuhnya keringatku begitu cepat karna seluruh tubuhku bergetar untuk membuat sebuah keputusan yang sangat pelik ini.
Aku memejamkan mata. Berpikir sejenak. Tapi nihil. Aku tak mendapatkan jawaban apapun.
Kubuka kembali mataku. Kulihat Fathur sudah bersiap menggunakan alat pemicu bomnya. Kemudian, kulihat Alamsyah juga sudah memegang pistol dan mengarahkannya ke Syahnaz. Tiba-tiba…
SREK. SREK..SREK..
Muncul suara semak semak yang bergoyang. Semua perhatian mengarah ke semak-semak yang bergoyang itu. Alamsyah perlahan menjauh dari Syahnaz dan berjalan ke arah semak-semak itu.
Tak lama kemudian aku melirik ke arah tiga tentara tadi.
Aku melihat sinar laser pembidik di bagian jantung dari tiga tentara yang ada di belakang.
“Baiklah, sudah saatnya..”
Dengan cepat ku bidikkan pistolku ke arah tangan kanan dari Fathur yang memegang pemicu bom.
DUARRRR. Tiga tentara tadi sudah tertembak.
DUAR. Aku menembak tangan Fathur dengan tepat. Karna tangannya terluka, pemicu bom itu dilepaskannya.
DUAAR DUAARR. Dua orang yang memegang Syahnaz juga sudah tertembak. Syahnaz masih dalam keadaan terduduk tak berdaya.
Namun masih tersisa satu orang, Alamsyah. Aku pun melirik ke arahnya.
Terlihat ia sudah membidikkan pistol ke arah Syahnaz. Spontan aku langsung berlari ke arah Syahnaz tanpa berpikir lagi.
Aku merasa bahwa aku tak akan menjangkaunya bila tetap berlari seperti ini. Aku melompat sejauh mungkin. Langsung aku menutup daerah kepalaku dengan tanganku.
DUARR.
“Abaaangg..!!!” sebuah teriakan berdengung di telingaku.
– Akan disambung di bagian terakhir –
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.